Skeptis Absurd

Tiga hari ini saya berpikir lebih banyak dari hari-hari biasanya.

Mendapati ada yang peduli memang menyenangkan. Tapi saya ya ini. Manusia dengan keskeptisan yang absurd. Dan sekarang semakin absurd. Saya enggak tahu lagi dengan cara apa saya harus mulai bisa percaya pada seseorang. Lagi. Sendirian saja memang menyakitkan. Tapi resiko untuk terluka sangat kecil. Setidaknya, jika saya terluka, maka itu salah diri saya sendiri dan saya bisa dengan mudah memaafkan diri saya sendiri. Jika bukan saya yang memaafkan diri saya sendiri, lalu siapa? Saya hanya punya saya.

Mendapati kehilangan orang yang peduli memang jauh dari rasa menyenangkan. Tapi saya bisa apa? Merasa disakiti hanyalah sebuah kompromisasi luka. Tinggal dibalut dengan kain kasa. Tidak usah diobati. Saya hanya ingin lihat apa dia akan membusuk atau sembuh dengan sendirinya. Jika dia membusuk, maka amputasi saja. Jika dia sembuh sendiri, maka bolehlah saya mencoba lagi.

Saya merasa lebih skeptis dari yang sudah-sudah. Saya berjalan, tidak lagi menunduk, namun memandang sinis ke setiap orang yang saya temui. Dan saat mereka akan buka mulut, saya akan nyolot duluan. Menyuruh mereka diam detik itu juga. Hidup saya sudah terlalu banyak diumbar ke dunia. Sudah cukuplah. Saya sudah begitu malu. Jika setiap saya punya seseorang baru, saya harus selalu berbagi rahasia. Lalu mereka pergi, hilang, lagi. Bersama rahasia saya. Bilang ke saya, apa yang harus saya perbuat? Nggak ada. Selain gigit jari.

“You say that your proud of me. And you take something out of me. So predictable. Why do I have to see this through? Why do I have to take this? Isn’t there something I can do? To make myself finally say this?
You start with apologies then take another shot at me. So pretendable. Why do I have to see this through? Why do I have to take this? Isn’t there something I can do? To make myself finally say this?”
Pretend To Be – Linkin Park


Ganjil Itu Enggak Genap

"People do have their own pain, their own scar. They do get hurt. But I don't wanna talk about mine."


Luka. Siapa yang enggak punya itu? Everyone does. Semua pasti tunjuk jari.

Kebijakan Tuhan membuat kita mempunyai luka dengan perih berbeda. Tapi membandingkan luka yang kita punya dengan punya orang lain sama sekali enggak etis. Enggak bijak. Tuhan tahu benar kepada siapa luka terberat akan diberikan. Tuhan tahu benar kepada siapa luka paling ringan akan disematkan. Maka, tidak perlu begitu khawatir untuk tidak bisa terlepas darinya. Pun mesti merangkak-terseok-menangis darah.

Saya, seperti orang lain, juga punya luka. Luka dari masa lalu yang begitu perih, untuk ukuran saya. Tapi saya tahu benar luka ini enggak untuk diceritakan kepada setiap orang. Enggak untuk dipergunakan membentuk sebuah koloni yang memiliki luka serupa. Luka ini ada untuk saya ikhlaskan dia terbengkalai disana. Enggak perlu buru-buru sembuh. Tapi seenggaknya saya enggak mempergunakannya untuk mendapat begitu banyak empati dari individu yang memiliki luka sejenis. Lalu mulai saling membicarakan luka masing-masing. Kapan hidup saya bisa lebih baik?

Saya sudah lama enggak melagukan luka karena saya tahu semakin saya mendendangkan luka saya dengan irama dan lirik syahdu, semakin saya enggak bisa keluar hidup-hidup. Luka itu memang enggak saya tuntut untuk sembuh total. Tapi seenggaknya saya ingin dia merasakan bagaimana perihnya sendirian diabaikan disana, berhenti dipuja dan diagungkan. Saya ingin dia tahu siksaan yang sudah ia berikan kepada saya bertahun-tahun itu sungguh perih. Saya ingin balas dendam. Lalu dia hanyalah sebuah label bertuliskan “luka” dari masa lalu. Perihnya berkurang.

Enggak ada luka yang sama. Percaya saya. Yang ada hanya prolog yang sama, namun coba teliti baik-baik, cerita setelahnya enggak pernah sama dan perihnya juga enggak terasa sama. Kita hanya mendeskripsikannya dengan rasa perih. Namun enggak pernah benar-benar berhasil membuktikan bahwa kadarnya sama besar. Saat orang bilang, “Ya, aku tahu rasanya.”, mereka sebenarnya hanya tahu sebatas yang pernah mereka rasa. Siapa yang bisa menjamin perasaan mereka benar-benar tepat sama seperti yang kita rasakan? Enggak ada yang bisa.

Maka, sudah lama sekali saya berhenti mencari orang yang mempunyai luka yang serupa. Berharap dia mengerti dan memahami. Berharap dia merasa senasib. Hingga saya dan dia bisa terus saling bertukar cerita, tentang luka ini, tentang perih ini. Saling mengiyakan. Saling menimpali. Saling menyumpahi. Kapan ini semua habis? Karena tidak ada luka yang sama. Yang ada hanyalah sama-sama merasa perih.

Karena ganjil itu enggak genap. Ganjil dan genap memang sama-sama kelompok angka. Tapi mereka berbeda.

Jatuh Cinta Jilat Ketek. Kecut.

Jatuh cinta. Ya. Saya tahu. Hampir semua orang pernah jatuh cinta. Termasuk saya. Indah yak rasanya pas jatuh cinta? Iiih, mood baiiiik selaluuuu. Ngapa-ngapain aja enak. Dan semua kesulitan enggak berasa sama sekali. Karena apa? Karena fokus hidup kita tidak sedang di kita, tapi di orang lain.

Saya jadi inget sepenggal lirik lagu Titiek Puspa.
Jatuh cinta berjuta rasanya
Biar siang biar malam terbayang wajahnya
Jatuh cinta berjuta indahnya
Biar hitam biar putih manislah tampaknya

Jatuh cinta itu bikin kita loveable. Apa-apa ditanggepin positif. Bunga akasia, bunga temlek ayam, bunga melati, dan beberapa bunga lainnya yang ditanam Ibumu di halaman depan rumah serasa mekar semua dan mengeluarkan aroma harum. Kamu mendadak menjadi seperti di iklan pengharum ruangan. Dengan slow motion, kamu berputar-putar menikmati kesejukan dan harumnya bunga. Rambutmu yang tergerai melambai-lambai diterpa angin sepoi. Pokoknya duniamu mutlak indah.

Tapi pernah enggak sih kamu jilat ketek sendiri pas lagi jatuh cinta? Coba deh sekali-sekali. Kalau enggak bisa jilat punya sendiri, pinjem punya temen atau saudara sendiri. Disarankan yang belum mandi 2 hari. Supaya lebih nendang sensasinya.

Apa rasanya? Kecutkah? Iyak. Kecut. Oke. Saya ngaku, saya udah pernah. Udah pernah jatuh cinta dan udah pernah jilat ketek sendiri. Rasanya beneran enggak enak. Tapi mungkin yang enggak enak itu yang bisa sadarin kamu kalau kamu sedang enggak berada di iklan pengharum ruangan.

Jatuh cinta memang indah. Tapi seringnya kita lupa kalau bumi semakin memanas dan illegal logging semakin meraja-lela. Kita lupa kita makhluk sosial yang tinggal di tengah-tengah kehidupan orang lain yang perlu kita akui dan perhatikan juga keberadaannya. Kita lupa kalau bumi ini milik bersama. Bahkan kita lupa betapa menyedihkannya kita saat enggak punya cinta dulunya dan ada mereka-mereka yang melipur lara kita. Kita seakan buta.

Jatuh cinta membodohi kita. Kita mulai merasa sok nggak butuh sama yang namanya manusia lain selain dia. Orang-orang yang masih mencoba meraihmu kembali berpijak di bumi kamu anggap penganggu yang hanya sirik karena sekarang, akhirnya, kamu punya cinta yang diidam-idamkan sejak dulu. Perkataan-perkataan mereka hanyalah bisikan angin yang hanya terasa sebentar lalu hilang begitu saja. Kamu seakan lupa kalau kamu bukan bidadari yang sedang berkunjung sebentar ke bumi lalu melayang, kembali lagi ke kahyangan.

Kalau kamu sedang berada di fase ini, kamu sudah enggak tertolong.

Maka, kalau kamu enggak pengen kehilangan orang-orang terbaik di hidupmu hanya karena seorang yang sedang bikin kamu klepek-klepek kayak ikan terdampar, kamu bisa lakuin ini:
Jilat ketekmu sendiri. Kecut memang. Tapi itu akan segera menyadarkanmu. Bahwa rasa jatuh cinta itu bukan hanya manis, tapi juga kecut. Manis untukmu, tapi kecut untuk orang-orang di sekitarmu.

Dunia serasa milik berdua. Yang lain? Pada ngontrak.

Saya yang Sedang GeJe

Mungkin sudah seabad rasanya saya tidak menulis. Sudah selama itu terasa. Saya tahu saya berlebihan. Lalu saya bisa bilang apa lagi? Itu nyata yang saya rasa. Ah, jangan tanyakan sedang ada apa dengan saya. Cukuplah saya dan Tuhan saya yang tahu. Ini murni urusan pribadi.

Saya terbangun pagi ini dengan mood yang biasa-biasa saja. Saya senyum-senyum seperti biasa. Gangguin keponakan saya seperti biasa. Buka tudung saji ketika masih kucek-kucek mata seperti biasa. Tapi pikiran saya yang amburadulnya luar biasa.

Suara Katy Perry terus terngiang-ngiang di telinga saya.
You’re so gay and you don’t even like boys
No, you don’t even like, no you don’t even like, no you don’t even like boys

Nggak jelas juga kenapa lagu ini yang terus-terusan ada di benak saya. Pengalaman pribadi? Enggak. Jelas bukan. Absolutely not.

Saya bingung mau nulis apa. Saya punya beberapa hal sebenarnya. Bolehkah saya tidak usah menuliskannya? Karena saya rasa saya sedang enggak jelas. Bukan. saya bukan sedang mengalami gender-confusion lagi. *chuckle

Sampai jumpa kapan-kapan :)

"Dengan kekuatan bulan aku akan menghukummu!"
Lagi geje gini saya jadi pengen lagi nonton Sailormoon

Patah Hati Rasa Taik Kucing

Nah, anak-anak, siapa yang pernah rasain taik kucing?
Hayooo…hayooo…ngakuuu…
Yang belum pernah silahkan keluar. Yang sudah pernah, silahkan tinggal.

Saya bercanda :)
Ih, gitu aja sewot iiih…

Maksud saya, siapa yang sudah pernah ngerasain nginjek taik kucing? Siapa? Kamu? Kamu juga? Yang dibelakang juga? Kamu yang jilbab coklat juga? Kamu yang berciput juga? Kamu yang pake kemeja juga? Baiklah, rupanya lumayan banyak. Kalo gitu bolehlah saya lanjutin.
Saya mau bahas patah hati nih. Patah hati yang rasanya sama kayak nginjek taik kucing. Lah, kenapa bisa? Sini, saya certain filosofinya.

Saya baik yak? Heheee…sudah dari orok begitu.

Patah hati itu enggak enak. Sumpah. Buat kamu-kamu yang ngakunya belum pernah ngerasain yang namanya patah hati, saya saranin gembok segera hati kamu di ruang kedap romansa. Buat kamu-kamu yang sudah pernah (apa? Sering?) ngerasain patah hati, saya turut berduka cita sedalam-dalamnya. Saya tahu rasa pizza pun jadinya seperti gigit sandal jepit saat patah hati.
*saya udah pernah loh….nggak maksud nyombong
*gigit sandal jepit, maksudnya

Well, patah hati. Kenapa saya bisa bilang rasanya sama kayak nginjek taik kucing? Karena taik kucing itu bau. Tapi lebih bau taik unta sih. Nah, kenapa bukan Patah Hati Rasa Taik Unta judulnya? Taik unta enggak ada di Indonesia. Apa perlu saya nunggu sampe ada taik unta yang diimpor khusus ke Indonesia baru saya publish tulisan ini? Enggak kan? Good. Saya juga sependapat. Maka, saya memutuskan menggunakan taik kucing saja.

Pas kamu nginjek taik kucing, gimana rasanya? Bukaaaaaan…saya enggak bilang mesti kamu jilat. Tuhan… saya cuma pengen menyamakan persepsi mengenai sensasi ketika kamu nginjek taik kucing. Sama enggak sensasinya sama yang saya rasain. Itu doang kok!
Ini apaan lagi si?! Kenapa malah bawa sambel terasi kesini?!
*deep sigh

Oke. Oke. Buang itu sambel dan cepat injakkan sandal kamu ke atasnya! CEPAT!
Udah? Gimana rasanya?
*manggut-manggut
*ngangguk-ngangguk

Nah, berarti persepsi kita sama mengenai sensasi rasa ketika menginjakkan tapak alas kaki ke atas taik kucing.
Terasa empuk-empuk benyek gitu kan? Sama kayak jatuh cinta. Dunia serasa kasur air semua. Berasa pengen nangkring di atasnya terus-terusan dan ngayal tentang kamu dan dia. Tapi ketika patah hati, kasur air seukuran dunia itu pecah. Dan apa yang kamu rasakan selanjutnya? Duniamu tenggelam. Semua romansa indah lenyap seketika. Kemudian yang tersisa adalah perih dan insomnia semata. Semua yang berbau dia dan perasaanmu menjadi hal yang sensitif buatmu. Kamu ingin melupakan, tapi enggak bisa. Karena dia selalu hadir membayang-bayangi langkahmu. Perasaanmu menguasai pikiranmu.

Begitu juga rasanya setelah kamu mengangkat kaki dari taik kucing yang sudah kamu injak. Baunya akan segera menyeruak menusuk hidung. Kamu kebauan. Baunya nyaris bikin kamu muntah. Tapi kamu enggak tahu apa yang mesti kamu lakuin. Karena kamu sedang di jalan dan tidak ada keran air.

Maka, ini satu-satunya yang bisa kamu lakuin. Teruslah berjalan. Jangan hiraukan bau taik kucing itu. Kamu harus bisa fokus pada langkah-langkah di hidupmu agar kamu segera tiba di tempat tujuanmu. Seiring langkah kakimu akan semakin banyak gesekan sol alas kakimu ke tanah sehingga mengikis sedikit demi sedikit taik kucing yang menempel di solmu. Lalu, perlahan namun pasti, taik kucing itu akan terkikis habis. Dan bau menyengat yang menganggu hidung dan konsentrasimu akan hilang. Di saat itu, kamu tahu patah hati itu hanyalah perkara taik kucing.

Saat kamu patah hati, teruslah berjalan walau berat rasanya. Perlahan, bayangan tentangnya akan memudar sedikit demi sedikit. Dan saat kamu sadar, ternyata dunia bukanlah kasur air. Namun sebuah kaleidoskop. Berwarna-warni.

P.S: Kalau kamu penasaran gimana rasanya nginjek taik kucing tapi enggak berhasil nemuin taik kucing, bisa diganti sama taik ayam kok.



Lupakan Ini


tidurlah malam ini
biar bulan yang terangi mimpi

isitirahatlah
biarkan ini hilang sendiri

cerita ini sudah tua
pergilah kesana
temui mereka
temui mereka

masih ada pagi yang membangunkan ku dari ini
masih ada matahari yang terangi disini
masih ada bulan untuk ku bercerita
masih ada disana cinta untuk kita berdua

berjalanlah kedepan, biarkan cerita dibelakang



Komitmen dan Taik Kucing

"I’m Desrian Harleni. 23 years old. And still single."
Seberapa takut kamu sama komitmen?
Kalo saya mah takut banget. Beneran. Takut. Banget. Kebangetan takutnya.

Seberapa takut saya sama komitmen?
Kalo diukur dengan cara diurutkan, komitmen itu ada di urutan kedua. Yang pertama adalah sudah pasti sayur. Yang ketiga? Kalimat sakti mandraguna milik Ibu saya yang sering ia keluarkan setiap saya menolak makan nasi. Dan akhirnya saya makan nasi juga T___T

Jadi, kenapa judul tulisan ini mesti jorok gitu? Bawa-bawa taik kucing segala?
Saya juga kurang jelas sih. Supaya keren saja. Ecek-eceknya saya pernah dikhianati oleh sebuah komitmen penting dalam hidup saya sehingga menyebabkan saya trauma dan menganggap bahwa semua komitmen itu sama dengan taik kucing. Gimana? Sudah cukup kerenkah saya?

Terima kasih :)

Padahal enggak ada yang salah sama komitmen. Yang salah itu ada pada saya. Di diri saya. Sangking takutnya saya sama komitmen, saya rela mengasingkan diri selama 23 tahun saya hidup di bumi ini. Pathetic? Jangan. Cukup saya seorang saja yang mengasihani diri saya sendiri.

Jangan nuduh saya enggak pernah nyoba. Pernah kok. Sama orang yang saya jatuhkan hati saya pula. Saya mulai membiasakan diri, maksud saya, mempersiapkan diri kalau-kalau nanti kami akan berkomitmen. Saya jawab semua pertanyaan yang ia ajukan ke saya, termasuk pertanyaan yang cuma butuh satu kata sebagai jawaban dan selalu diulang-ulang, sehari bisa sampe 3 kali, seminggu bisa sampe 21 kali dan sebulan bisa sampe 84 kali. Saya jabanin. Awalnya dengan suka cita dan ikhlas. Namun, di tengah-tengah mulai jengah dan kehilangan gairah.

Komitmen taik kucing. Hmm…sekarang saya jadi ngerti kenapa saya mesti nambahin embel-embel “taik kucing” di belakangnya. Karena saya takut untuk deket-deket sama komitmen. Sama kayak takut kalo nginjek taik kucing. Relevan kan?

Aih, saya makin ngerasa keren saja.

"I’m Desrian Harleni. 23 years old. Still single. And unavailable."

Ulee Lheu Di Kala Fajar








"Ini pagi saya sekarang. Pagi yang dulunya sangat-amat coba saya hindari. Pagi yang penuh lenguhan. Pagi yang penuh ketidakrelaan. Berubah menjadi pagi yang selalu saya nanti. Terlebih saat sunrise :) "

Di-dubbing

Well, inilah yang mungkin terjadi saat kamu mesti ke bandara di siang bolong dan mendapati bahwa pesawat akan landing setengah jam lagi. Kamu enggak tahu mau ngapain. Ngeliat ke sekeliling, banyak yang duduk-duduk di café. Tapi harga makanan dan minuman di bandara bisa 3 kali lipat lebih mahal dari di kaki lima. Dan kamu cukup sadar diri, gembel kayak kamu mana punya uang sebanyak itu?

Maka,inilah yang akan terjadi saat bosan melanda. Improvisasi.

Si Abang: “Wah, ada artis Korea, Len. Won Bin.”
*pas ngeliat ada seorang Bapak keturunan Tionghoa berkacamata hitam.

Saya: “Mana? Mana?”
*pura-pura heboh sendiri.

Saya: “Itu mah bukan Won Bin. Andy Lau.”

Lalu Si Bapak meninggalkan kerumunan dan tampaklah dia menjinjing sebuah kotak. Di salah satu sisi kotak itu bertuliskan Bolu Merantau.

Si Abang: “Ternyata dia bukan artis. Mana ada artis nenteng-nenteng kotak bolu gitu?”

Saya: “Mungkin dia kelar syuting iklan Bolu Merantau. Dikasih sekotak de.”

Si Bapak berjalan mendekat ke arah saya dan Abang saya duduk. Dia lalu meletakkan tas dan kotak yang dijinjingnya ke salah satu kursi. Dia mulai bicara di telpon. Wah, jangan tanya saya berapa nomer hapenya! Sumpah saya enggak tau! PIN ATM-nya saya tahu :p
Dan Soekotjo tidak kunjung tampak.

Saya: “Bukan artis Korea atau Cina, Bang. Itu, ngomongnya aja pake bahasa Indonesia.”

Si Abang: “Itu kan udah didubbing.”

Saya: *ngakak guling-guling sampe rumah trus balik lagi trus Soekotjo rupanya udah nongol trus saya pulang de.

Live happily-ever-after

The End

Saya meringis sendiri kalo ngeliat foto ini trus inget Si Bapak tadi. Enggak ada mirip-miripnya T.T

Bayangan Putih yang Bisa Bicara

Semalem, sekitar jam setengah 1, saya turun dari kamar Soekotjo di lantai atas. Niatnya sih mau balik ke kamar sendiri. Karena udah jam segitu, lampu-lampu udah pada dimatiin. Jadi keadaan bener-bener gelap. Dengan menggendong si Leno, saya berhati-hati turun dari tangga. Satu per satu. Saya pastiin langkah saya tepat di setiap anak tangga. Lalu saat saya sampai di anak tangga paling akhir dan akan menuju kamar saya, saya menangkap sesosok bayangan di kegelapan. Bayangan itu bergerak menjauhi saya.

Deg. Jantung saya langsung memompa darah lebih kenceng dari tadi. Kaki saya enggak bisa digerakin. Mata saya terpaku pada sesosok bayangan itu. Enggak bisa lepas. Dalam hati saya bertanya, “Apa ini saatnya? Apa ini saatnya?”

Saya dieeeeem aja. Enggak beranjak seinci pun. Enggak ngucap satu ayat pun. Sumpah, jantung saya cekat-cekot. Pasalnya bayangan itu enggak jelas bentuknya. Hanya seperti sesosok manusia. Ketika saya menyipitkan mata, ingin lebih jelas melihat sosoknya, saya pandangin terus. Saya enggak berhasil ngedapetin dimana ujung kepalanya.

Apa ini hantu tanpa kepala?

Shit…

Saya enggak mikirin apa-apa lagi. Udah pasrah. Saya anggap mungkin ini karma dari hobi saya nonton film horor dan suka nakut-nakutin Ika. Mungkin para hantu udah jengah liat tingkah saya yang belagu, sok enggak takut nonton film-film serem. Mungkin ini udah saatnya saya dikasih lihat salah satu dari sosok mereka.

Saya nunggu. Diem. Enggak bergeming. Tapi enggak sampe pipis di celana kok. Sumpah. Saya cuma ngerasa blank. Don’t know what to do. Mau lari juga enggak kepikiran. Yang jelas otak saya nyuruh saya ngeliatin terus itu bayangan putih. Saya keinget kata abang sepupu yang dulu tinggal di rumah, hantu itu malah takut dengan kita. Jadi enggak perlu lari, pasti dia yang ngilang duluan. So, saya tungguin bayangan putih itu memudar. Kok dia malah enggak pergi-pergi juga? Malahan dia enggak gerak sekarang.

Gaddeeem…

Namun, yang terjadi kemudian nyaris membuat jantung saya yang cekat-cekot itu copot saat saya mendengar dia bersuara.
“Sayur enggak dimasukin ke kulkas?”

Sepersekian detik otak saya mencerna kalimat itu. Hantu kok ngomongin sayur dan kulkas sih?

Yaelah…rupanya itu Ibu saya yang baru saja keluar dari kamar saya dan mau balik ke kamarnya.
Ini udah kali kedua, Ma...
T.T

Yak. Gini yang saya liat semalem. Karena minimnya cahaya dan warna baju Ibu saya yang pink muda, keliatannya jadi kayak bayangan putih.

Absurd

Kadang saya enggak pengen tahu cerita hidup kamu. Sekelam apapun itu. Dan alasan-alasan kamu untuk keluar dari dunia kamu yang dulu. Seburuk apapun kamu dulu. Sehina apapun. Karena cukuplah bagi saya untuk tahu kamu yang sekarang. Cerita hidup kamu yang alurnya mulai teratur. Cukup bagi saya, saat saya mengenal kamu, untuk tahu kamu orang baik.

Maaf. Tapi untuk kali ini saya beneran pengen enggak bersusah-susah mencoba ikut merasakan kepedihan masa lalu seseorang. Karena kamu bukanlah siapa. Hanya sebentuk layar berderet huruf yang bisa saya ajak komunikasi. Atau kadang kamu menjelma menjadi sebuah suara yang menggema di hape saya. Selain itu, kamu kelabu. Absurd.

Karena saya cukup tahu, mengerti. Kamu, bisa jadi, akan terus menjelma sebagai sepetak layar dengan deret huruf yang bisa dikombinasikan atau terkadang beberapa intonasi nada dengan mengorbankan pulsa. Tinggal menunggu kapan deret huruf itu tidak lagi muncul dan gumaman suara itu tidak lagi terdengar.

Saya bukannnya skeptis. Tapi mencoba realistis.


Stagnansi Ini Membunuh Saya

"Dan saya merasa ingin bunuh diri saja saat saya membuka blog ini dan jumlah tulisan saya masih saja sama seperti kemarin-kemarin." 



Saya merasa kerdil belakangan ini. Saat saya tidak bisa menulis karena jemari saya mogok kerja, saya merasa saya bukanlah apa. Hanya seonggok daging yang berisikan tulang-belulang. Otak hanya sebagai aksesoris pemanis agar dapat disebut manusia. Itulah yang saya rasakan beberapa hari ini.

Saya merasa begitu menyedihkan ketika membuka folder khusus berisikan tulisan saya dan tidak ada file terbaru yang saya simpan. Itu berarti tidak ada tulisan baru yang saya bikin. Saya pengen teriak rasanya. Sumpah. Saya enggak melebih-lebihkannya. Menulis adalah satu-satunya hal terbaik di hidup saya yang bisa saya lakukan. Walaupun tulisan saya kacau-balau, enggak keruan, enggak begitu enak buat dibaca. But overall, saya cinta mati dengan menulis. Ini yang namanya passion.

Saya merasa begitu tidak berharga saat ide saya stuck hanya sampai di otak. Saya berjuang keras untuk menahan otak saya berimaji, sedangkan jari-jari saya tidak mau berkompromi. Mereka tetap saja ogah untuk diajak bekerja sama. Ini merupakan kiamat kecil buat saya. Saya enggak sedang melebih-lebihkannya agar terkesan betapa menyedihkannya saya saat saya tidak mampu menulis. Ini dunia saya. Dunia kecil saya yang berharga.

Saya merasa begitu teramat bodoh saat saya melewatkan begitu banyak peristiwa di hidup yang bisa saya tuliskan. Saya menyesalinya. Padahal banyak hal terjadi belakangan ini. Namun saat saya membuka laptop saya dan siap-siap akan menulis, rasanya semua menguap begitu saja. Lalu pikiran saya blank. Saya mati.

Tuhan, dua-tiga kata saja. Saya mohon…

Patah Hati (Part II)

"Lebih baik sakit di gigi, daripada sakit di hatiiiii…i…i…"

Tapi menurut saya lebih baik sakit akibat jempol kaki yang cantengan ketimbang sakit hati.
Apa itu cantengan? Cemekam.
Sakit gigi dan sakit hati hanya beda tipis.
Sakit gigi membuat nafsu makan hilang. Begitu juga sakit hati.
Sakit gigi membuat tidak bisa tidur. Begitu juga sakit hati.
Sakit gigi membuat kita uring-uringan. Begitu juga sakit hati.
Maka percayalah sejatinya sakit gigi itu sama tidak enaknya seperti sakit hati.


Apa yang tersisa ketika kau patah hati?
Tidak ada. Selain logika.
Tidak mungkin juga untuk terus-menerus mengikuti kata hati. Karena yang ada malah mood yang tidak menentu, juga semangat hidup yang menurun. Meratapi nasib.
Untuk saat-saat kritis seperti ini, hanya logika yang bisa kau andalkan.
Berpikir logis untuk semua yang telah terjadi. Ambil sisi positifnya. Mulai tutup mata dan telinga. Jangan hiraukan lagi apapun yang berhubungan dengannya. Kau hebat. Kau kuat. Dan kau hanya kelebihan pantas untuknya.


Maka, saat kau mengetahui bahwa pacar barunya adalah seorang janda dengan usia lebih tua 7 tahun darinya, kelihatan jelas melakukan operasi plastik di bagian hidung dan dagu, juga senang berpakaian terbuka, kau hanya perlu berkata dalam hati: “Ternyata hanya segitu seleramu.” Dan lanjutkan hidupmu.


Senang sekali dapat menuliskannya!
Ngahahahaaa…

 And my life must go on

Patah Hati (Part I)

Apa itu patah hati?

Patah hati merupakan kata kiasan yang terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki arti sendiri, yaitu: Patah dan Hati.

Patah: Putus (biasanya tidak sampai tercerai-berai atau lepas sama sekali)

Hati:
1. Alat organ badan yg berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dl darah dan menghasilkan empedu
2. sesuatu yg ada di dl tubuh manusia yg dianggap sbg tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb)
(Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Tidak jelas sampai sekarang kenapa saat menyebutkan hati, kita menunjuk ke dada. Padahal jelas-jelas hati terletak di bagian bawah perut. Mungkin hati ditunjuk sebagai wakil pengganti perasaan. Mungkin saja.

Patah hati sering disinonimkan dengan sakit hati. Namun patah hati atau sakit hati disini bukan dalam artian harfiah. Saat seseorang mengalami patah hati, bukan berarti hatinya benar-benar patah. Atau saat seseorang mengalami sakit hati, bukan berarti ia menderita lever.
Tapi, patah hati disini merujuk pada perasaan seseorang yang sedang amat-sangat terluka.

Patah hati biasanya menyebabkan penderita mengalami penurunan semangat dan gangguan mood yang mengkhawatirkan. Penderita juga mungkin mengalami peningkatan nafsu makan drastis, terutama untuk makanan-makanan manis. Intensitas untuk bengong dan tiba-tiba menangis juga meningkat cukup tragis. Dan perlu diingat bahwa patah hati dapat menyebabkan gangguan jiwa dan kematian.

Penderita dapat ditolong dengan menyediakan berkotak-kotak tisu dan letakkan di tempat yang mudah dijangkau olehnya. Ditambah dengan kesabaran untuk mendengarkan keluh-kesahnya. Disini, juga dibutuhkan ketrampilan khusus, yaitu: dapat membaca gerakan bibir penderita saat ia berbicara tentang hatinya yang patah yang biasanya dicampur dengan isak tangis yang berujung pada ketidakjelasan artikulasi setiap pengucapan kata. Atau dapat menggunakan keahlian lain, yaitu kemampuan menebak kata saat pendengar hanya mampu menangkap suku kata awal saja.

Penderita patah hati harus dihindarkan dari tontonan sinetron ataupun film yang ber-genre romantic atau romantic-comedy. Juga lagu-lagu yang bertemakan cinta. Ajaklah ia menonton pertandingan tinju dan mintalah ia berkhayal bahwa yang ada di dalam pertandingan itu adalah dirinya dan individu yang sudah mematahkan hatinya. Insya Allah, biasanya ini manjur. Apalagi jika lawannya itu K.O.

Namun, jika penderita mengalami patah hati akut, atau biasa disebut dengan patah hati stadium akhir yang tinggal menunggu hari untuk mati, jangan gegabah dalam bertindak. Pastikan dulu di sekitarnya tidak terdapat benda-benda tajam yang dapat mengancam keselamatan nyawanya. Benda-benda tajam ini juga berlaku untuk cairan yang mengandung zat-zat beracun/keras. Lalu pastikan juga disekitar tempat tinggalnya tidak ada kios yang menjual tali rafia atau yang biasa kita kenal sebagai tali plastik. Jika sudah, bawalah ke pondok pesantren terdekat untuk dirukiyah dan diberi siraman rohani.

Banyak hal yang dapat memicu terjadinya patah hati.
Di antara hal-hal tersebut, yaitu:
- Melihat individu yang disuka ternyata telah memiliki kekasih.
- Dikhianati oleh individu yang telah berjanji seiya-sekata.
- Didepak padahal hati masih memerah-jambu.
- Mendapati kenyataan bahwa cinta hanya bertepuk sebelah tangan.
- Digantung tidak jelas lalu ditinggalkan.
- Dibohongi mentah-mentah.

Dan ini yang mungkin paling menyakitkan secara tidak langsung:
- Membuka akun facebook-nya dan membaca info: In A Relationship with…
Sungguh tragis…

Dan sepertinya sekarang saya juga membutuhkan pondok pesantren terdekat.


Everything's Changed

Baru aja saya ngobrol dengan seorang temen lama via facebook. Well, padahal kami masih tinggal di satu kota dan kuliah di kampus yang sama, namun enggak tahu gimana bisa kami sudah lama enggak bertemu. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kami bertemu.
Singkat cerita, temen saya itu ngajak reunian. Tapi hanya bertiga, yaitu dia, saya, dan temen sebangku saya dulu. Dia meminta saya yang mengatur jadwal ketemuannya.

Lalu dia berceloteh: “Nanti suruh Givo jeput aku yak?”

Saya balas: “Aku aja yang jeput kamu. Sekalian nostalgia.”

Ya. Jaman SMU dulu saya sering antar-jeput dia. Kemana aja. Kalau tujuan kami sama. It’s not a big deal buat saya. Dan it’s not a big deal juga buat dia. Disangkain pacaran itu cuma bonus obrolan untuk orang-orang.

“Jangan. Nanti orang bergosip. Maklum, aku kan udah ada yang punya.”

Oke. Sekarang it’s a big deal buat dia.

Ternyata punya pacar mengubah dia menjadi sesosok pribadi berbeda. Menjadikan seseorang yang lebih bijak dalam melakukan sesuatu. Ada perasaan seseorang yang harus dia jaga dengan hati-hati sekarang. Ada ketakutan baru yang harus diantisipasi sebelum kejadian.


Well, detik itu juga saya merasa kasian sama dia.


Padahal niat saya murni cuma pengen ngulang rutinitas waktu SMU.

Tapi tahu apa saya soal itu? Saya masih belum ngerti hal-hal kecil semacam itu karena saya enggak punya pacar. Saya masih saja egois sendiri. Suka-suka saya sendiri. Tanpa ada satu orang yang mesti khusus saya jagain perasaannya.






"Life has changed. And so did people." 




Tapi saya enggak pengen ada yang berubah antara saya dan temen saya ini. So, saya paksa aja dia untuk mau saya jeput. Dan akhirnya dia setuju.

Lagian hanya perempuan berpikiran dangkal yang mau cemburu sama saya. Dan saya yakin pacar temen saya ini adalah seorang perempuan cerdas yang mampu berpikir logis.

Menghatikan Logika

"When I woke up this morning, I know, I can't hold it any longer."


Saya rasa sudah saatnya saya berhenti. Ini semakin di luar kendali. Sebenarnya apa yang saya cari? Saya juga enggak tahu pasti. Saya hanya ingin menghatikan logika saya sedikit saja. Belajar untuk lebih peka dengan orang-orang di sekeliling saya. Mereduksi sifat apatis. Kecenderungan autis ini semakin menjad-jadi.

Namun, mencoba menghatikan logika dengan orang yang tidak berhati sama saja bunuh diri dengan cara yang paling mengenaskan. Well, dalam pikiran saya, cara yang paling mengenaskan untuk bunuh diri adalah gantung diri saat kamu benar-benar sesak boker stadium akhir.

Dan orang-orang tidak berhati di sekeliling saya ini malah berharap hal yang lain pada saya. Mereka berharap saya bisa menjadi panutan untuk melogikakan hati mereka. Sarap kan? Hah, saya enggak ngerti jadinya. Kenapa di saat saya butuh sedikit sentuhan hati di setiap pikiran logis saya, orang-orang ini malah datang dan mengagungkan kegilaan logika saya yang egois ini. Berharap bisa segila saya, senekat saya, sesadis saya, membunuh hati dan menaikkan logika di tahta abadi. Abadi, itu berarti selama-lamanya.

Saya pikir saya sudah harus mengakhiri. Segala yang pernah saya mulai. Saya akan berhenti mencari. Jawaban itu sudah saya temukan. Walaupun bukan jawaban yang saya inginkan. Walaupun akhirnya hati saya bisa menang, hanya untuk 3 hari saja. Pathetic, isn’t it? Saya enggak bisa terus gini. Saya enggak bisa membiarkan otak, ide, dan jemari saya mengalami stagnansi. Karena hati dan otak berperang hebat. Saya perlu diri saya yang biasanya. Yang mengegokan logika. Yang menjagokan logika. Walaupun dengan segala konsekuensi yang ada. Saya tahu, ada beberapa hal yang terpaksa saya singkirkan. Dari hidup saya. Untuk itu, saya minta maaf untuk hati saya. Untuk itu, saya sangat menyesal untuk hati saya. Untuk itu, saya merasa amat bersalah untuk hati saya. Mungkin lain waktu saya akan coba kembali. Untuk saat ini, silahkan kamu hibernasi. Lagi.


Dan suara Ryan Tedder terngiang-ngiang di kuping saya. 
Stop and stare
I think I'm moving, but I go nowhere
Oh, I know that everyone get scared
But I've become what I can't be
Stop and stare
You start to wonder why you're here not there
And you'd give anything to get what's fair
But fair ain't what you really need
Oh, can you see what I see?
Rasanya menohok, tertohok, ditohok.

Nggak ngerti dengan yang saya tulis? Nggak apa-apa. Karena memang itu tujuan saya.

Selamat menikmati malam minggu yang kelabu untuk saya. Malam ini akan terasa sangat panjang dan amat menyiksa. Bukan karena enggak punya pacar. Namun karena lagi dan lagi harus menggigit lidah sendiri.

Well, that's pretty suck...



My Wishes List #1

Someday, saya harap saya bisa pake sepatu itu di momen spesial di hidup saya.

Nikahkan Saja Aku, Mak

Untuk Mamakku tercinta,

Sepucuk surat ini kutulis untuk mewakilkan gemuruh perasaanku sebagai seorang anak bungsumu. Putri semata wayangmu.

Aku tahu zaman tidak lagi seperti dulu. Keadaan ekonomi tidak lagi sekondusif dulu. Hidup semakin dihimpit oleh keadaan yang sulit. Jikalau memang Engkau mulai merasa kesulitan untuk mengurusiku, membiayai hidupku, aku ajukan diriku untuk dinikahkan. Tidak mengapa, Mak. Aku rela. Pasrah. Asalkan beban hidupmu sedikit terangkat, sedikit meringan.

Aku tahu uang saat ini tidaklah seperti dulu. Dua-tiga lembar seratus ribu dapat habis hanya dengan sekali menghempaskan pantat di sebuah tempat makan mahal. Mungkin Engkau sudah mulai kewalahan menuruti nafsu makanku yang semakin tidak terkontrol. Tidak mengapa, Mak. Nikahkan saja aku. Tapi tolong jangan meminta calon dariku. Karena aku tidak punya sesiapapun untuk dicalonkan.

Maka, dengan sampainya surat ini, aku ingin meminta kebijaksanaan dan kemurahan hatimu untuk mencarikan calon yang pantas untukku. Calon yang menurutmu dapat mengikuti nafsu makanku yang membabi-buta. Siapa saja. Bahkan yang sekampung denganmu pun aku bersedia. Tak mengapa, Mak. Aku benar-benar ikhlas. Jikalau nantinya anak bungsumu ini harus mengikuti suaminya pindah ke pucuk gunung dan bekerja di ladang. Asalkan Engkau bahagia dan kesehatanmu bisa lebih terjaga. Tidak lagi syok melihat deret angka di buku saldomu yang semakin berkurang.

Mak, aku tahu, mempunyai seorang anak perempuan tidaklah semudah membesarkan dua orang anak laki-laki sekaligus. Jika anak lelaki, di umur 17 tahun mereka telah bisa Engkau bebaskan untuk mencari uang sendiri. Sedangkan anak perempuan tidak, Engkau menjaganya dengan sangat hati-hati. Terlebih jikalau anak perempuan itu seperti diriku. Aku memang tidak butuh emas bermayam-mayam, tapi aku perlu banyak makan setiap harinya. Dan itu menghabiskan uang lebih banyak daripada membelikanku sebatang-dua batang emas. Maka, nikahkan saja aku, Mak.

Jikalau Engkau merasa kesusahan mencarikan jodoh yang tepat untukku. Jodoh yang berasal dari kampung yang sama denganmu, cobalah berkoalisi dengan Mak Wo. Aku tahu dia mempunyai cukup stok untuk dipilih. Cobalah, Mak. Pakai saja hapeku untuk menelpon Mak Wo. Tapi pulsanya tinggal 10 ribu. Jikalau sekiranya di tengah-tengah percakapan terputus, sudilah kiranya Engkau mengisi sendiri pulsanya. Tapi jika Engkau tidak bersedia, cukuplah dengan menulis sepucuk surat kepada Mak Wo, lalu belilah merpati pos di toko hewan di seputaran Setui. Niscaya suratmu akan segera sampai ke Darussalam dalam hitungan hari. 

Namun, ingatkan Mak Wo untuk tidak membalasnya karena aku yakin burung malang itu langsung mati terkapar saat ia tiba. Perjalanan dari rumah kita ke Darussalam memang tidak jauh, tapi kawat listrik yang bersangkutan berantakan aku yakin ada dua-tiga yang karet pembungkusnya sudah gundul. Jika saat pergi ia masih selamat, pasti saat perjalanan balik nasib baik tidak akan lagi memihaknya.

Mak, sudah nyaris habis kata-kata yang ada di sanubariku untuk kutuangkan di surat ini. Aku terlalu galau. Maka, aku akan menutup surat ini sampai disini saja. Semoga Engkau dapat segera menemukan jodoh yang memenuhi kriteriamu untuk dijadikan menantu sekaligus suamiku. Jangan menantu berbeda, suami juga berbeda. Anak perempuanmu hanya satu, Mak.
Sekian surat ini kutulis dengan jiwa yang gelisah dan raga yang lelah.


Salam sayang selalu dan kecup manis-manja-grup hanya untukmu

Putri semata wayangmu