Aksara. Muara. Retorika.

“Kamu. Aksara tanpa muara. Retorika tak ada jeda. Dan aku tergila-gila.”

Ini hanya tulisan iseng karena kreativitas saya sedang ngadat. Saya nemuin kutipan itu di sebuah search engine. Satu yang terlintas di kepala saya. Keren.
Ternyata cinta bisa dilisankan dengan begitu banyak kiasan. Bahkan dengan kata-kata intelek. Aksara, muara, retorika. Goddamn. Saya nyerah untuk bisa mendefiniskannya. Saya nyerah. Sumpah.
Saya terbius oleh kutipan tersebut. Dan sekarang sedang tidak sadarkan diri.

Balada Pengendara Motor

“Ngobrol sih ngobrol, tapi enggak di tikungan juga kaleeeee….”
Nggak ada yang ngelarang kamu untuk PDKT dengan pujaan hatimu. Pun sekalipun di jalan. Yak. Di jalan raya. Jalanan beraspal yang kerap dilalui kendaraan bermotor. Nggak salah sama sekali.  Selama jalan itu punya nenek moyang kamu.
Ngobrol di tengah jalan, sudah biasa saya jumpai di jalan seputaran Banda Aceh ini. Saya pun sudah enggak ngambil pusing lagi. Bunyiin klakson untuk orang yang sedang berada di awang-awang seperti itu hanya akan membuat mood saya tambah kacau. Jadi saya diamkan saja. Saya lebih milih melaju dan menyalip jalan mereka.
Itu kalau di jalan rata dan lurus. Tapi kalau di tikungan? Tikungannya nanjak lagi!
Pengen saya tendang. Kali-kali aja nyungsep ke sungai.

“Nelpon sih nelpon, tapi jangan nyiput gini juga kaleeee….”
Nyetir mobil sambil nelpon lalu mengambil jalur kiri jalan dengan kecepatan nggak lebih dari siput ngesot bikin kamu jengah gak sebagai pengendara motor? Mau nyalip ngambil kanan, banyak mobil-mobil lain yang berlaga dengan kecepatan tinggi. Jam kuliah sudah lewat dari jadwal. Diklakson? Bah. Berharap aja dia bakal ngerti. Kalau udah gini? Doain aja dia masuk surga setelah kamu.
Punya mobil. Punya bensin. Punya hape. Punya pulsa. Tapi jalan bukan punya kamu.

“Dikit lagi sih dikit lagi, tapi enggak seheboh itu juga kaleeeee….”
Kamu ngetem di lampu merah. Kenapa kamu ngetem? Ya karena lampunya sedang merah. Kamu ada di garis depan. Artinya orang-orang di belakang baru bisa jalan kalau kamu sudah jalan. Nggak sabaran atau mulai menghargai waktu, saya juga belum jelas soal ini. Ketika lampu merah tinggal 5 detik lagi, mulailah orang-orang di belakang kamu membunyikan klakson seperti kesurupan. Membabi-buta. Kenapa enggak ngepet aja sekalian? Lumayan, dapet duit. Semuanya pada nglaksonin kamu. Maksudnya sih nyuruh kamu siap-siap, jangan bengong karena lampu sebentar lagi hijau. Kamu malah murka. “Memangnya saya buta warna?!”, menghujat dalam hati.
Lalu lampu berganti hijau dan lenguhan klakson semakin panjang.

“Bengong sih bengong, tapi jangan nyangak gitu juga kaleeeee…”
Ini kebalikan dari case di atas. Kali ini kamu berada di baris yang bukan pertama pokoknya.  Di depan kamu ada nangkring seorang ibu-ibu berseragam Visit Aceh 2011 itu. Dia ngetem dengan jumawanya. Asik aja sendiri. Ketika lampu merah berganti menjadi hijau, dia masih juga ngetem dengan segala kenikmatan dunia. Sudah berlalu 5 detik, masih juga ngetem dengan innocent-nya. Mau kamu klakson, emak-emak. Nggak kamu klakson, ikutan keliatan bodoh.
Dilema.
Akhirnya kamu klakson juga. Emak-emak juga manusia. Sama kayak kamu. Pukul rata aja.

“Belok sih belok, tapi enggak dadakan gitu juga kaleeee….”
Kamu lagi santai-santainya menikmati perjalanan singkat kamu, ngambil jalur sebelah kiri lagi. Memang bermaksud berleha-leha. Tapi tiba-tiba ada yang nyalip jalan kamu, tanpa aba-aba, tanpa lampu sen, dia main belok aja, menukik lagi beloknya. Persis Valentino Rossi nyalip. Bujug buset daaaaah…. Ngerem dadakan + makian dengan suara yang enggak gede-gede amat. Kamu melengos. Dan ngelanjutin perjalanan kamu yang udah kehilangan esensinya.
Nasib.

“Ngeludah sih ngeludah, tapi liat tempat juga kaleeee…”
Ngeeeeeng….kamu ngebut ni ceritanya. Ngeeeeeeng….di depan kamu ada seorang bapak yang melaju dengan kecepatan standar. Ngeeeeeeeng…dikit lagi kamu mau lewatin dia. Ngeeeeeng…pas ngelewatin dia, ngeeeeeng….cuih! Kamu diludahin. Bapak itu ngeludah sembarangan. Nyangkut di tangan kamu. Bah. Merinding jijay kamu. Geli. Tapi yang lebih nelangsanya lagi, si Bapak ngelirik sebentar ke kamu. Dan….you know what? Dia melengos pergi. Feeling no guilty at all. Ouwemjeeeeeh….ludahnya masih nangkring di tangan kamu.
Ngenes.

“Ngebut sih ngebut, tapi liat jatah siapa juga kaleeeee…..”
Sudah 92 detik kamu menunggu lampu berganti hijau. Matahari teriknya na’udzubillah. Laper juga karena sudah waktunya makan siang. Haus juga karena panas yang membara. Tapi kamu tetap sabar menunggu lampu hingga berganti hijau. Akhirnya detik-detik itu datang juga. Kamu bernafas lega. Dengan semangat berkobar-kobar dan rasa syukur yang tumpah-ruah, kamu melajukan motor kamu. Namun, tiba-tiba, apa? Sebuah kendaraan dari jalur lain yang jatah lampu hijaunya baru saja habis memotong jalan kamu sehingga kamu mengerem mendadak. Kaget. Jantung kamu cekat-cekot nyaris copot. Rasa-rasanya tadi kamu udah nggak selamat lagi. Tarikan gas selanjutnya, tangan kamu gemetaran.

“Buru-buru sih buru-buru, tapi jangan egois juga kaleeee….”
Wah, tinggal 6 detik lagi! Kamu liat dari kejauhan. Kamu tancap gas. Berharap sempet ketiban lampu ijo yang bentar lagi berganti jadi kuning terus jadi merah. Namun apa hendak dikata, saat sedikiiiiit lagi mau berhasil, lampu sudah berganti menjadi merah. Mendadak kamu ngerem. Soalnya kamu tahu itu sudah bukan hak kamu lagi untuk jalan. Tapi sepertinya cuma kamu yang ngerti tentang hak dan kewajiban demi terciptanya perdamaian dan keselarasan antarumat manusia. Nyatanya, pria bermobil sedan di belakang kamu membunyikan klaksonnya segede sirine buka puasa. Dia kesel karena kamu berhenti. Seharusnya kamu masih melaju dan mempertaruhkan nyawa kamu demi dia bisa lewat juga. Dia mah enak di dalam mobil, palingan kalo nabrak, mobilnya yang bocel-bocel. Nah, ane? Naik motor. Dihantam dari sono, berceceran ane kemana-mana.
Di lain situasi, kamu direpetin sama seorang ibu atau bapak karena ngetem tepat waktu. WDF kan?
Atau pas kamu ngetem, kamu ditabrak dari belakang oleh seorang gadis yang ngebut karena ngejer lampu hijau yang mau abis. Ciiiit….dug! Spakbor belakangan kamu patah. Iyalah, WDF aja. Lain bisa apa?



Itulah balada saya sebagai pengendaran motor dan pemakai jalan di Banda Aceh selama ini. Gimana dengan kamu?  

P.S: Keinget balado...jadi laper.

Jodohkan Aku, Tapi

Silahkan jodohkan aku, tapi jangan memakai trik-trik jaman baheula seperti mengenalkanku saat Hari Raya tiba atau di acara sunatan seorang sepupu. Alih-alih silaturrahmi, malah menyodorkan sebuah wajah asing sambil berkata: “Kenalkan, ini Saipul, anaknya Wawak yang tinggal di sebelah rumah Bibi. Sudah mapan lho…PNS lagi.”
JANGAN

Silahkan jodohkan aku, tapi jangan menggunakan cara-cara licik seperti menyuruh membuat minuman untuk tamu yang sedang bersilaturrahmi. Harus aku yang menyuguhkan. Alih-alih supaya tahu cara membuat teh dan bertata krama, sebelum aku minta undur diri setelah meletakkan gelas-gelas di atas meja, malah berkata: “Duduk sini dulu, ini sahabatnya Tante lho, namanya Tante Margareth. Ini anak laki-lakinya, semata wayang, namanya Jamal. Shaleh, kalem, trus berbakti pada orang tua. Juga penyayang binatang.”
JANGAN

Silahkan jodohkan aku, tapi jangan ngejeg alias ngebet alias maksa dengan menelpon sehari entah berapa kali hanya untuk meyakinkan bahwa calon yang dicalonkan untuk menjadi calon adalah pria terbaik hasil seleksi ketat dan pria final yang paling pantas untuk dicalonkan sebagai calon yang layak menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Alih-alih tertarik, aku malah semakin muak dan bosan mendengar hal yang itu-itu saja. Jangan salahkan aku jika besok nomorku sudah tidak aktif karena ponsel sudah kujual.
JANGAN

Silahkan jodohkan aku, tapi jangan memakai cara-cara kuno seperti langsung memperlihatkan fotoku kepadanya dan Ibundanya. Lalu melakukan hal sebaliknya, memperlihatkan fotonya kepadaku dengan maksud aku akan tertarik karena ya, dia memang rupawan. Tinggi, putih, ganteng, dan mapan. Alih-alih berharap aku mengucapkan “Ya, aku mau.”, yang ada malah aku semakin memproteksi diri agar tidak lagi mendengar apapun tentangnya.
JANGAN

Silahkan jodohkan aku, tapi jangan memakai trik-trik licik seperti menghubungkan segala macam obrolan ke arah sana. Bermaksud agar tuli kuping ini mendengarnya sehingga aku pasrah. “Belajar masak dari sekarang. Taun depan sudah jadi istri orang.” Alih-alih aku menurut, yang ada malah semakin ketakutan dan mati rasa.
JANGAN

Silahkan jodohkan aku, tapi kumohon gunakan cara-cara pintar nan keren seperti mengatur ketidaksengajaan yang sebenarnya disengajakan. Tabrakan kecil itu bukanlah apa selain awal pertemuan yang tidak diduga, perkenalan itu bukanlah apa selain hanya sekedar bertegur sapa walau mulai ada sedikit asa, dan obrolan yang mulai seru dan sering itu bukanlah apa selain ketertarikan antara aku dan dia, dan percikan-percikan kecil itu bukanlah apa selain sadar bahwa telah ada rasa di dada. Lalu secara disengaja namun seperti tidak disengaja, terbongkarlah bahwa ternyata dia anaknya tetangga tante yang sudah mapan nan rupawan. Alih-alih mengatakan bahwa ini sebenarnya telah diatur, ucapan syukur pasti akan terlantun dari banyak mulut bijak para orang-orang tua.
Kalau sudah begini, maka, silahkan jodohkan aku.
SEGERA


Alone Is A Choice

Malam yang larut. Saya sedang mengobrol via facebook chat dengan salah seorang teman. Awal obrolan kami adalah saya yang ingin menyampaikan bahwa sore kemarin saya bermimpi teman saya itu akhirnya punya pacar lagi. Pacarnya cantik. Ya. Saya tahu ketidakpentingan mimpi saya itu untuk diceritakan. Hanya ingin membuka obrolan dengan orang lama yang sudah sangat-amat lama tidak saya dengar kabarnya langsung, kecuali dari status-statusnya.

Well, tanpa disadari, obrolan kami berlanjut ke topik yang lebih serius. Yaitu tentang kesendirian. Teman saya itu sudah lumayan lama menjomblo. Dia berkata hidupnya jauh lebih mudah sekarang saat ia sendirian. Setidaknya dia tidak perlu memikirkan pihak lain jika ingin mengambil sebuah keputusan. Cukup melibatkan dirinya saja. Dan dia menikmati itu.

Namun, setiap orang butuh partner. Dia berujar. Tidak menampik bahwa sebenarnya ia ingin punya seseorang. Hanya saja waktu belum memungkinkan dan Tuhan belum mengizinkan. Saya masih ingat saat kuliah dulu, sebelum ia bekerja, tidak pernah sekalipun ia membahas mengenai rencana dan masa depannya. Just let the life flows to where it has to. Tapi sekarang ia punya rencana, punya keinginan untuk hidupnya di masa depan. Maka, ia butuh seseorang yang bisa mengikuti jalannya, menyejajarkan langkahnya.

Hanya saja, sosok itu belum ia temukan. Maka, ia mencoba bertahan dalam kesendirian. Sembari terus berharap, somewhere, somewhen sosok itu akan muncul dan kesendirian itu akan segera berakhir.

“Hanya itu alasan yang kupunya untuk bertahan seperti ini.”

Saya tersenyum membaca sederet pernyataannya itu. Senyum simpul. Hanya saja dia tidak mungkin bisa melihat.

“Kamu?”

Saat ia bertanya itu, saya tahu sudah waktunya pembahasan mengenai kesendirian ini ditujukan ke saya.

Saya tersenyum. Sekali lagi.

Motif untuk tetap mempertahankan kesendirian berbeda-beda bagi setiap orang. Namun lupakan soal motif yang beragam itu. Toh, konklusi akhirnya tetaplah sebuah kesendirian. Mau beralibi sedemikian rupapun tetap saja sendirian. Itu nyata. Memangnya siapa yang peduli dengan alasan kenapa kesendirian menjadi sebuah pilihan saat melihat kamu sendirian saja di tengah keramaian? Tidak ada. Mereka cenderung tidak peduli dan melempar pandangan kasihan penuh keibaan. Seakan orang yang sendirian saja itu memang tidak punya pilihan lain di hidupnya. Seakan kamu memang dikutuk untuk selalu sendirian. Seakan  mereka sudah hebat karena selalu berkoloni.

Alasan saya sendirian? Cukup simple saja sebenarnya. This loneliness makes me addicted. Percaya atau tidak, itu terserah kalian. Tapi kesendirian itu memang candu. Dan saya belum bisa lepas.

Saya selalu makan bakso di warung bakso yang sama dan di setiap saya datang, si Abang bakso selalu menanyakan satu pertanyaan yang sama:
“Temennya mana?”

For God sake, segitu hinanyakah menikmati semangkuk bakso sendirian? Saya punya uang, punya waktu, punya kesempatan untuk makan bakso. Maka, saya makan. Ada atau tanpa teman, semangkuk bakso itu tetaplah terasa bakso. Hanya saja minus obrolan. Hanya itu. Mungkin orang-orang di sekitar akan menatap heran dan nanar melihat seorang perempuan makan bakso sendirian saja. Namun, jika untuk hal sesepele makan bakso pun harus bersama teman, sedangkan waktu yang ia punya belum tentu sama dengan yang saya punya, apa iya harus mengorbankan keinginan saya untuk makan bakso lantaran tidak ada teman yang bisa menemani saya?

Manusia memang diciptakan untuk berpasang-pasangan. Saya tidak sedang mencoba mematahkan teori itu. Saya belum butuh, mungkin itu alasan bodohnya. Memang nyata hidup saya baik-baik saja tidak bisa saya pungkiri menjadi salah satu alasan kuat kenapa kesendirian ini belum siap untuk saya akhiri. Dan keinginan untuk punya seseorang? Saya tidak munafik, kadang rasa itu memang muncul. Namun, saya berpikir logis. Butuh seseorang, hanya di saat-saat tertentu, sangatlah tidak bijak untuk mulai menjalin hubungan dengan orang lain. Menurut saya.

Bukannya saya tidak pernah mencoba untuk lepas dari candu ini. Pernah. Namun dalam hitungan hari saya sudah bosan dan menginginkan kesendirian saya kembali. Nyata bahwa saya hanya belum rela melepaskan apa yang saya miliki sekarang. Yaitu kebebasan.
Itu alasan saya. Terkesan naif? Silahkan berpikir demikian. Namun yang jelas, saya memilih kesendirian bukan karena tidak tersedia pilihan lain.

Belum menemukan sosok yang bisa menjadikan alasan untuk mengakhiri kesendirian membuat teman saya terus mempertahankan kesendiriannya. Itu pilihan hidupnya.

Belum merasa perlu untuk mengakhiri kesendirian ini membuat saya terus mempertahankan kesendirian saya. Ini pilihan hidup saya.

Somewhere and somewhen, saya yakin saya akan membutuhkan, menemukan, orang yang bisa membuat saya merasa bahwa kesendirian adalah sebuah aib. Nanti. Bukan sekarang. Untuk sekarang biarlah saya menikmati kesendirian ini sendirian saja.
"Deciding to be alone is a choice that you have to choose among so many options in your life. Not the last option you have."

Can I Leave You Now?

“Aku mau kamu. Cuma kamu yang selalu ada saat aku butuh. Egoiskah?”
Saya diam di tengah hiruk-pikuk manusia. Menelan ludah. Namun berusaha terlihat seolah it’s not a big deal. Ya. Saya berusaha ucapannya barusan bukanlah hal spektakuler yang butuh eskpresi terkejut sebagai sebuah respon.
“Namun ini bukan cinta.”, dia melanjutkan, dengan tatapan nanar menusuk saya.
Lagi-lagi saya menelan ludah.
“Cinta itu bukan aku. Dan aku tidak yakin ada cinta di diriku.”
Sebuah garpu yang tadinya saya pakai untuk menciduk omelet daging saya tergeletak tidak berdaya di atas piring. Jika saja, jika saja melepas emosi dengan cara sadis dilegalkan secara agama dan hukum, saya yakin saya sudah menusuk mata kirinya dengan garpu itu. Garpu berlumuran saos cabai. Lalu dengan tenang saya akan menjawab:
Okay, let’s do this.
Namun nyata saya merasa diperdaya juga tidak bisa menahan saya untuk mengulurkan tangan, menyapu air matanya, membiarkan ia bertumpu pada pundak saya. Nyata saya sedang di-gambling dengan perempuan lain juga tidak bisa membuat saya benar-benar pergi darinya.
“Tapi jangan gambling saya!”, I wish I could say that. Tapi itu semua tercekat di tenggorokan. Saya tidak punya cukup kekuatan untuk mengatakannya. Saya tahu dia. Cukup tahu dia. Cukup tahu seberapa hebat lukanya dan seberapa mengerikan perihnya. Terus dihantui bayang-bayang masa lalu dan tidak pernah bisa lepas bukanlah pilihan hidup yang diinginkannya.
Will you?
Promise me you’ll never leave me. Again.
Dalam tarikan nafas, saya mengangguk pelan.

4 Hari Lalu
You’re avoiding me!”, suara di seberang telpon menjerit, memekakkan telinga saya. Saat itu saya tengah menonton bagaimana cara berang-berang Amazon menangkap ikan untuk santapan makan siang.
After all, after all, you abandoned me!
Saya tidak menyangka responnya akan sebegini cepat. Padahal baru lima hari saya mengacuhkannya. Membatasi komunikasi kami. Namun, dalam lima hari dia sudah bisa mengetahui bahwa saya sedang berancang-ancang untuk hengkang dari hidupnya.
“Saya enggak pergi. Enggak ninggalin kamu. I just need some time alone.”, berdalih adalah satu-satunya cara untuk mengontrol keadaan saat itu, menurut saya.
“Sejak kapan kamu mulai enggak bisa membagi fokus kamu untuk masalah kamu dan masalah orang lain?”
Sejak saya tahu kamu meng-gambling-kan saya. Sejak saat itu saya muak dan ingin pergi segera. Namun apa daya saya? Katakanlah saya bodoh. Tertawalah karena saya begitu naïf. Pun saya benar-benar ingin pergi, saya tetap tidak bisa pergi. No, I just can’t leave you alone like this. Karena saya sangat tahu gimana rasanya benar-benar butuh seseorang.
“Kamu kenapa? Nightmare lagi kah?”, saya mencoba membelokkan pembicaraan. Lagi pula suaranya memang terdengar mengenaskan.
Need you right now.
Okay, just hold on. Kamu dimana?”
Setengah jam kemudian saya sudah duduk berhadapan dengannya. Tidak saling bicara. Bisu di tengah keramaian. Yang biasanya kami lakukan adalah saya memasukkan berlembar-lembar tisu pada gelas minuman saya yang tinggal setengah, mengaduknya hingga bercampur menjadi seperti bubur. Terus saja seperti itu. Sedangkan yang dilakukannya adalah memutar-mutar kotak rokoknya.
Karena tidak ada yang tersisa untuk dibicarakan. Mimpi itu selalu menghantuinya hampir setiap malam. Mimpi yang sama yang berulang terus-menerus. Dia sudah begitu lelah untuk terus menceritakannya dan saya sudah begitu bosan untuk terus mendengarkannya. Maka yang terjadi ya seperti ini. Duduk dan tidak saling bicara. Bukan lagi kata-kata yang menjadi sebuah ketenangan, tapi sebuah kehadiran. Mendapati ada satu orang yang peduli benar-benar dapat menenangkan. Dan itulah yang sedang saya lakukan untuknya.

12 Hari Lalu
Seharusnya itu menjadi pagi yang biasa saja untuk saya. Pagi dimana kantuk masih kadang terasa. Pagi dimana saya tidak terbiasa sarapan. Pagi dimana saya sendirian saja.
Namun pagi itu tiba-tiba menjadi tidak biasa terasa saat dua gadis yang satu berjilbab pink dan satunya berjilbab abu-abu duduk di samping saya. Mereka kelihatan lebih muda dari saya. Mungkin junior. Entahlah. Saya tidak pernah benar-benar menggubris hal-hal semacam itu. Saya adalah salah satu orang yang akan tidak nyambung jika diajak bergosip soal kejadian-kejadian di kampus yang objeknya adalah mahasiswa dan mahasiswi sejurusan.
“Dia punya luka yang sama dengan saya.”, ujar seorang gadis berjilbab pink yang duduk tepat di sebelah saya.
“Seenggaknya kita sama-sama dibenci oleh orang tua masing-masing.”
“Dia punya mimpi buruk hampir setiap malam karena adiknya yang meninggal.”
Saya mulai tergelitik. Mulai merasa familiar dengan orang yang sedang dibicarakan gadis berjilbab pink itu.
“Dia bercerita banyak tentang hidup dan lukanya dua hari ini. Dan saya ngerasa kita punya kesamaan. Mungkin kita bisa cocok. Sama-sama terluka. Jadi sama-sama bisa menyembuhkan.”
“Bla…bla…bla…bla…”, she talked a lot.
Dan detik itu juga komik Monika di genggaman saya menjadi seperti sederet huruf Yunani yang tidak bisa saya mengerti. Blank. Otak saya tiba-tiba tidak bisa mencerna apapun. Nafas saya tercekat. Jantung saya berpacu cepat. Dan darah saya menderu hebat.
Lalu muncul semburat perih menjalar ke seluruh nadi dan detik itu saya sadar saya sedang di-gambling-kan. Orang yang gadis itu bicarakan adalah orang yang selalu menelpon saya di tengah malam saat mimpi buruk itu menyergap tidurnya. Orang yang pagi-pagi buta bisa nongol di depan rumah saya dengan muka kuyu dan lingkar mata hitam karena belum tidur hanya untuk berujar dia begitu takut untuk terlelap, begitu takut mimpi itu kembali menghantui. Orang yang selama ini coba saya terima kehadirannya dengan tangan terbuka. Orang yang hampir setahun ini selalu meminta pundak saya untuk menjadi sandaran dan meminta kaki saya untuk menjadi tumpuan.
Dan mendapati orang yang sama sedang dibicarakan oleh gadis yang duduk di sebelah saya, bukanlah sesuatu yang indah. Saya selama ini mencoba menjaga kehadirannya agar tidak diketahui, agar tidak ada satu orang pun yang akan menatap nanar padanya, namun di bibir gadis itu, lukanya dijadikan bahan diskusi untuk pantas atau tidaknya ia masuk ke kehidupan gadis berjilbab pink itu.
Saya memperlakukannya secara special selama ini. Tapi dia memperlakukan dirinya sendiri seperti pelacur. Mengumbar luka terbusuk yang ia punya hanya untuk mendapat empati orang lain.
Saya lunglai. Melangkah gontai meninggalkan jurusan. Menuju parkiran. Sepertinya saya butuh tempat tidur sekarang. Sekaleng kopi instan. Juga kegelapan.

Hari Ini
Butuh kamu.
Sederet huruf tertera di layar hp saya pada jam 6.15 pagi.
Katakan saya bodoh. Katakana saya naïf. Apa saja. Tapi saya hanya tidak ingin ada orang lain yang merasa ingin mati karena begitu kesepiannya. Karena saya tahu seperti apa rasanya.
Maka, saya mengambil jaket dan sepeda. Lalu mulai mendayung menuju Blang Padang. Dengan hidung perih, mata bengkak, dan kepala berat.
Cinta atau tidak. Bukan itu fokusnya.
Saya tidak tahu kapan saya benar-benar bisa pergi. Dari kamu.

Carut-Marut Emosi

Saya lagi masuk-masukin data untuk penelitian tesis abang saya saat si Leno muter lagu perdana D’Massiv yang judulnya Cinta Ini Membunuhku. Ouwsyeeeeeet….setelah lama enggak denger dan akhirnya terdengar lagi, lagu ini tetep aja mewakilkan satu kata: MENOHOK. Saya enggak tau si Leno sedang kerasukan iblis dari neraka tingkat berapa. Bisa-bisanya dia muter lagu itu malem ini setelah sekian lama lagu itu selalu terlewati dengan shuffle mode.

Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku

Sepenggal lirik bagian chorus-nya. Tapi buat saya yang paling menohok adalah lirik di awal dan setelah chorus.

Kau membuatku berantakan/Kau membuatku tak karuan/Kau membuatku tak berdaya/Kau menolakku, acuhkan diriku/
Bla…bla…bla…

Pun saya belum pernah ngerasain ditolak sedemikian rupa dan sedemikian getirnya, saya masih bisa merasakan emosi si empunya cerita ini. Mungkin karena saya perempuan, maka biasanya saya hanya menunggu. Merasakan ditolak pun saat masih dalam proses naksir. Jadi enggaklah begitu gimana-gimananya. Sedangkan laki-laki mempunyai momok yang lebih menakutkan, yaitu menyatakan perasaan yang berujung pada dua kemungkinan, diterima atau ditolak. Ditolak itu takdirnya cowok, Mamen! Saya jadi inget slogan itu. Slogan dari salah seorang teman. Ditolak itu sakit, Jendral!

Lagu ciptaan si Rian itu praktis bisa bikin hidung saya kembang-kempis nahan emosi yang mau meledak. Sumpah. Padahal saya enggak kenal siapa itu si Rian. Cuma tau dia vokalis sebuah band bernama D’Massiv dan kalo nyanyi less of expression. Mukanya lempeng aja kayak orang nahan boker 2 hari. That’s it. Saya bahkan enggak tau berapa jumlah bulu idungnya.

Tapi itulah kehebatan sebuah lagu, pun pendengarnya belum pernah ngalamin hal seperti itu, tapi tetep aja ada sebersit getir yang terasa nusuk pas dengerinnya. Lalu kita jadi bisa bayangin gimana terpuruknya si empunya cerita di lagu itu saat ngalamin hal menakjubkan tersebut.

Eniwei, si Leno bener-bener dah malem ini. Abis lagu itu, dia malah muter lagunya Peterpan. Yang Terdalam. My most favorite song of Peterpan. Goddamn! Haruskah saya mutilasi si Leno menjadi 46 bagian terpisah? Janganlah, ntar saya update ini blog pake apaan? Mesin tik nggak bisa disambungin ke internet.

Kulepas semua yang kuinginkan/Tak akan kuulangi/Maafkan jika kau kusayangi/Dan bila kumenanti/Pernahkah engkau coba mengerti/Lihatlah aku disini/Mungkinkah jika aku bermimpi/Salahkah tuk menanti/
Tak kan lelah aku menanti/Tak kan hilang cintaku ini/Hingga saat kau tak kembali/Kan kukenang di hati saja/
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam/Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa/

Bujug dah… Bener-bener, emosi saya enggak karu-karuan malem ini. Saya belum pernah ngerasain apa yang si Ariel tulis di lagunya itu. Tapi tetep aja, saya bisa ngerasain getir itu nohok saya.

It’s a goddamn good! Kalo kata Chef Juna di Masterchef Indonesia yang acaranya kadang saya nonton kalo kebetulan dan enggak saya nonton kalo enggak kebetulan.

Getir, pahit, sakit, bahagia, senang, sedih, dan bla-bla lainnya bisa dibagi, ditransfer dengan berbagai cara, salah satunya dengan lagu. Dan saya sedang coba mentransfernya lewat tulisan ini. Bahwa mengusir orang pergi dari hidup saya adalah semudah membalikkan telapak tangan dan menutup mata. Tapi mendapati bahwa saya enggak pernah bisa benar-benar mengusir mereka pergi adalah kenyataan yang harus saya hadapi setiap mereka datang kembali, meminta kesempatan kedua.

Hari ini saya menyuruh satu orang pergi. Dan menerima satu orang kembali walau tidak lagi dengan rasa yang sama.

Saya harap dia tidak membuka blog ini, membacanya, dan tidak tahu saya sangat menyesal. Bukan karena telah mengenalnya dan mengusirnya pergi. Namun karena saya memperlakukan dia dengan buruk. He deserves more. A good man.

Malam kian larut. Saya seharusnya kembali mengerjakan tesis abang saya. Supaya kami bisa wisuda bersama di bulan November.

Seiring tulisan ini saya putuskan untuk selesai, Semua Tentang Kita mengalun pelan. Bayangan Daniel yang telah pergi kembali ke benak saya. Merasa benar-benar sendirian seperti ini adalah pilihan, sekaligus kutukan.

P.S: Ditulis dengan emosi yang benar-benar absurd dan meledak-meletup. 


Terima Kasih

Sudah hampir sewindu rasanya kita tidak saling bicara. Ternyata sudah banyak cerita yang kamu lewatkan di hidupku. Maaf. Hanya saja belakangan ini hidupku memang sedang tidak berada di puncaknya. Dan aku sedang tidak ingin berbagi cerita. Karena hanya akan berisi lenguhan dan umpatan, sedangkan aku tahu bebanmu bahkan jauh lebih berat dari yang terlihat.

Tapi terima kasih kuucapkan untuk malam ini, karena nyata aku menghilang pun hampir sewindu terasa, kamu masih saja di sana, masih duduk di tempat yang sama, masih dengan senyum yang sama, dan masih dengan sabar yang sama, mendengarku bercerita. Tidak ada yang berubah. Kamu masihlah sama.

Terima kasih. Karena masih dan akan selalu ada untukku.
Terima kasih. Untuk malam ini. Semua terasa jauh lebih ringan sekarang.


Menohok-Tertohok-Ditohok

“Dan saya enggak pernah minta mereka hadir di hidup saya. Mereka nongol sendiri dengan suka cita dan keikhlasan hati. Enggak seperti kamu, yang selalu meminta orang-orang hadir di hidup kamu. That’s our different part.

Saya sedang marah. Tepatnya merasa dikhianati. Nggak enak memang rasanya. Pun terbiasa juga masih sakit kok rasanya. Pun saya udah pro, tetep aja nohok kok rasanya. Trus saya mesti gimana? Yah, selain marah dan marah dan marah dalam diam, saya bisa apa lagi?

Dia memanfaatkan sisi lemah saya, yaitu enggak tegaan. Ya, muka saya memang sangar, tapi saya orangnya enggak tegaan. Terlebih kalo ngeliat orang yang punya banyak masalah. Saya notabene-otomatis-pasti-pas akan ngiyain apapun yang dia mau, apapun yang dia minta. Walaupun harus ngorbanin waktu dan fokus saya. That’s fine buat saya. Karena saya cukup tahu gimana rasanya butuh seseorang. Sangat butuh seseorang. Maka, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu ada kapanpun dia butuh saya. KAPANPUN.

Tapi sangat-amat tertohok rasanya ketika mendapati kenyataan bahwa dia cuma menggunakan kamu karena merasa bosan dengan hidupnya yang monoton. Dan dia melakukannya enggak cuma sama kamu, tapi sama siapa saja yang berpotensi jadi kayak kamu.

Saya jadi teringat kalimat teman saya.
“Menyakitkan ketika seseorang tidak bisa melepasmu, bukan karena dia cinta. Tapi karena dia tahu kamu akan selalu ada saat ia butuh.”

Well, sepertinya, lagi dan lagi, saya harus menggigit lidah sendiri :)
Selamat untuk saya.