Sajak Gerbang Matahari

Pernahkah kamu mendengar tentang Gerbang Matahari? Sebuah bangunan kokoh dari batu berusia ratusan tahun. Bangunan asli peninggalan suku Inca.

Aku pernah mendengarnya sekali, tatkala malam mulai beranjak sepi dan kegelapan mulai menguasai. Dalam diam dan hening, aku mendengar Bulan berbisik dalam ceritanya. Mengenai Gerbang Matahari. Aku terkesima. Sajak yang dilantunkannya sungguh indah. Sesekali di sela sajaknya ia menghela nafas, mengatur ritma, dan menggumam doa.

Masih dalam diamku Ia terus bergumam. Bahwa Gerbang Matahari ada untuk siapa saja yang percaya bahwa alam punya ruang tersendiri untuk saling terkoneksi. Sebuah ruang yang mengarah pada sebuah lorong sempit dimana teleportasi diyakini terjadi. Lorong sempit itu dinamai Lubang Cacing. Lorong penghubung antara bumi dengan dimensi lain.

“Jika kamu merasa bumi sudah tidak lagi bersahabat untukmu, maka pergilah ke Gerbang Matahari.”, bisik Bulan pelan.

“Kemana ia akan membawaku?”, sebersit tanya mencuat tanpa aba-aba.

“Venus.”

Hening.

Aku masih mengulum ujung bibir. Namun Bulan tampaknya sudah bosan. Mungkin Ia merasa lelah harus setiap malam mendendangkan syair sebelum tidur kepada orang-orang yang putus asa. Orang-orang yang berharap akan ada keajaiban di ujung sana, sekali saja, untuk hidup mereka. Orang-orang yang berharap bumi bukanlah persinggahan terakhir sebelum mereka mati dan dilupakan. Hanya orang-orang ini yang dapat mendengar sayup-sayup bisikan Bulan.

Maka, kukatakan kepada Bulan, “Beristirahatlah dari sajakmu.”

Kuberikan selimut usangku padanya. “Terlelaplah.”

“Biarkan aku yang melanjutkannya. Agar orang-orang yang kesepian itu tidak pernah kehilangan harapan.”


Bukan Tidak Pernah

Merinduimu bukan perkara gampang. Aku perlu mengorbankan logika juga harga diri. Serta ego yang selama ini merajai. Rentang waktu yang panjang di hidupku dimana kamu tidak ada benar-benar terasa kosong dan melompong. Seharusnya kamu bisa ada disana, di sepersekian rentang waktu itu, walau hanya sebentuk pesan singkat menanyakan kabar. Tidak perlu wujud nyata dengan senyum seringan flu di kala dingin. Begitu sepele namun mengganggu.

Mengharapkan secara ajaib kehadiranmu di depan pintu rumahku sudah berulang kali coba kudemolisi. Bukannya apa, hanya saja asa itu semakin membunuhku nyata-nyata. Aku tidak berharap sebuket mawar dan sekotak coklat, juga kartu ucapan “I Do Miss You” terselip di antara kuntum mawar. Cukuplah jaket jersey klub favoritmu dan wangi cologne-mu menyeruak masuk ketika pertama kali aku membuka pintu. Begitu kamu dan menyusahkan tidurku.

Bukannya tidak merinduimu. Hanya saja tidak pernah terucap. Masih terlalu malu mengucap “Aku merinduimu”. Dan rindu ini belum pernah sehebat rindumu. Hanya cukup sederet pesan saling berbalas melalui ponsel. Cukup dengan itu. Maka, rinduku sudah terbebas. Hilang. Tidak berbekas.

Hanya Bosan

I don't wanna say even a single word.
I'm just bored.

Ini bukan foto saya waktu kecil. Wah, sumpah. Saya nggak seimut ini waktu kecil dulu.
Suweeeeeer.....

Senjamu yang Bukan Milikku


Untukmu yang senjanya selalu menjadi milik orang lain. Tidak ada satupun alasan yang bisa kujadikan senjata untuk tetap menahanmu disini saat sore berganti menjadi senja. Walau sejuta rindu kugumamkan, tetap saja senjamu tidak pernah menjadi milikku.  Kesepian ini membuncah. Senjaku tanpa kamu, hampa.

Untukmu yang senjanya selalu kamu habiskan bersama orang lain. Tidak tahukan kamu, bahwa aku meminta matahari menghapus senja dari sistem hariku? Untuk apa senja jika kamu tidak ada untuk kulewatkan bersama? Untuk apa kuperlukan senja jika yang tertawa bersamamu adalah dirinya? Senjaku tanpa kamu, absurd.

Untukmu yang senjanya belum juga bisa kumiliki. Aku selalu berharap, di suatu saat nanti, bukan hanya pagimu yang kamu berikan untukku. Bukan hanya kecupan selamat pagi setelah terlelap yang kuimpikan akan menjadi milikku, namun juga kecupan selamat malam, menghantarkanku ke alam mimpi. Senjaku dengan kamu, berwarna.

Untukmu yang senjanya telah kamu gantung di pundaknya. Tidak mengapa jika senjamu itu tidak akan pernah menjadi milikku. Masih ada pagimu yang bekunya akan kamu hangatkan. Juga siangmu yang teriknya akan kamu ademkan. Dan soremu yang senjanya telah kuhapus dengan sengaja.

Untukmu yang mencintaiku setelah kamu mencintainya. Terima kasih. Meski senja itu tidak akan pernah ada di hariku.

Menunggu

Aku hanya ingin menunggumu. Tanpa pernah sekalipun memberitahumu bahwa aku menunggumu. Aku hanya ingin tahu, seberapa sering kamu mengingatku. Seberapa hebat aku di ingatanmu. Dan seberapa menganggunya aku di pikiranmu. Hanya itu.

Maka, aku hanya ingin menunggumu. Sembari berharap, kamu akan mengingatku. Lalu sebuah pesan masuk ke ponselku. Darimu, menanyakan aku :)


Midnight-Suicide-Message

15/10/2011
03:31:32 AM
Mau bikin ini lebih buruk?

<No Reply>

15/10/2011
03:49:40 AM
Udah 3 kali aku mencoba bunuh diri.
Makasih, aku nggak tau untuk kali ini.
I Love You...

<No Reply>

Bunuhlah dirimu jika kamu merasa itu perlu. Aku tidak akan menahanmu. Kamu tahu kenapa? Bukan. Bukan karena aku tidak peduli padamu atau rasa ini sudah berkurang separuhnya. Tapi lebih karena aku tidak membutuhkan sosok sepertimu, yang selalu berdalih bunuh diri adalah jalan atas segalanya.

Bunuhlah dirimu dan tinggalkan aku disini dengan sejuta penyesalan. Tidak mengapa. Aku akan menelan mentah-mentah semua penyesalan itu. Tidak mengapa. Muntah pun jauh lebih baik. Lebih baik seperti itu. Karena kepengecutanmu memuakkanku. Merangkak mengais tanah untuk bisa keluar dari mimpi buruk itu pun aku rela. Lebih baik seperti itu.

Jika mengatakan rasa itu nyata untukku. Jika menyatakan kamu mencintaiku. Jadilah seorang pria. Bukan seorang ababil yang selalu menyalahkan keadaan.

Ini Cemburu

Well, inilah cemburu.

Mungkin kamu percaya hatinya milikmu. Mungkin sudah berjuta kali dia ungkapkan bahwa kamu adalah satu-satunya. Namun, ragu itu masih saja ada. Khawatir itu masih saja tersemat. Di balik semua rasa yang kamu pertaruhkan. Inilah cemburu. Untuk setiap cerita mengenai ia dan orang lain. Untuk setiap tawa renyah yang ia perdengarkan padamu karena orang lain. Sekali lagi, inilah cemburu.

Rasanya seperti sakit gigi. Dicabut sakit, nggak dicabut cenat-cenut sendiri. Ingin mengatakannya, kau hanya takut semua berakhir runyam. Tidak dikatakan, perih ini nyelekit sampai ke rongga terkecil. 

Well, inilah cemburu.


Hujan Dan Senja

"Akan selalu ada aku di senjamu. Walaupun kamu tidak akan pernah bisa ada di hujanku."

Ketika hujan reda. Hanya tersisa sepotong cerita. Ya, sepotong cerita sebelum hari menjelang senja. Hujan reda saat senja menyapa. Selalu seperti itu adanya. Tidak pernah bersama. Hujan tidak pernah sempat mengenal senja. Dan senja tidak pernah sudi datang lebih awal untuk sekedar tahu, bahwa hujan kesepian.

Di dalam rintiknya dimana senja belum tiba, aku selalu menerka seperti apa dirimu. Hanya ada aksara mengisi imaji kadang terasa semu. Dan sepenggal suara untuk meyakinkan segalanya. Bahwa kau nyata. Bukan hanya sederet huruf berbaris rapi terangkai sempurna. Kau ada. Bukan hanya beragam intonasi suara menjelma di seberang sana. Terdengar menyenangkan, namun tetap saja…..secuil hampa selalu terselip di antaranya.

Sepotong cerita untuk dua cangkir teh berjarak seperti tak nyata. Akhirnya hujan reda dan kini senja telah tiba. Mengisi hari dimana semuanya akan berbeda. Obrolan kita mungkin tidak lagi hanya sepotong cerita. Sudah beda. Menjelma menjadi sepotong cerita baru, yang di dalamnya hanya ada aku. Dan kamu.

Kita.  

Ketika hujan reda dan akhirnya ada senja, aku tahu kamu menunggu. Untuk jeda yang terlalu lama hari ini, kamu menunggu. Masih disitu. Tanpa dua cangkir teh berjarak tak nyata. Karena ini bukanlah hujan. Namun senja. Senjamu menungguku untuk ada. 


Hening

Untukmu yang baru seperlima waktu menemaniku. Ada kala dimana aku hanya menginginkan hening di antara kita. Memang masih begitu banyak penggalan cerita tersisa. Masih begitu banyak tawa yang belum terurai sempurna. Dan juga luapan emosi yang mungkin berwarna jingga.  Namun, kali ini, aku hanya menginginkan hening. Ada, menelusup di antara kamu. Juga aku. Mengisi jarak sepersekian senti di antara kita.

Dunia sudah terlalu bingar. Manusia semakin banyak berujar. Maka, mari kita diam dan biarkan hening berkuasa. Bukan. Bukan karena aku sedang marah. Hanya saja hening menghadirkan rasa ketika pertama kalinya kamu ada. Juga cerita-cerita itu, dimana kamu ikut mewarnainya. Dan di dalam hening ini senyumku mengembang. Mengingatnya.

Untukmu yang baru seperlima waktu menemaniku.  Ada hening yang coba kuhadirkan. Mungkin akan terasa sedikit datar. Untukmu. Memang tidak akan semenyenangkan saat kita mengobrol soal rasa, juga cita-cita. Namun, kumohon biarkan hening ini menyapa. Sekejap. Merayap perlahan mengisi cerita-cerita kita yang tertahan. Membiarkan kita berdialog dalam diam.

Hening bukan berarti kita telah kehabisan cerita. Bukan berarti ada bosan yang melanda. Atau jenuh karena kebersamaan kita yang semakin lama. Namun, hening ini sengaja kubiarkan ada. Untuk kunikmati berdua saja. Denganmu.

Lima menit saja...



Membunuhmu

“Semoga nanti kamu bisa bunuh aku langsung.”

Melukakan hati, memapah perih. Itulah yang sedang kau lakukan. Jika bersamaku bisa sesakit ini, kenapa masih juga bertahan? Berkilah bahwa nyaman itu tidak tergantikan. Jika hanya perkara nyaman, logislah, haruskah berkorban sampai sejauh ini?

Aku sudah tidak lagi tahu untuk setiap luka yang kusematkan padamu. Sudah tidak kuat lagi menghitung karena kau yang selalu bersimpuh. Nerimo. Begitu sifatmu. Dan aku yang selalu berteriak. Memaki.

Memanggil duka, menyeringai tangis. Di setiap amarahmu yang tertahan, aku bernyanyi. Bukan lagu sendu. Hanya rintihan sesal untuk berkali-kali tusukan itu kuhujam ke tempat yang sama. Kenapa harus menggerogoti luka sendiri? Jika perihnya sama saja terasa. Biarkan saja aku yang melakukannya, menabur garam memercik cuka.

Aku tidak ingin menikammu dengan belati lalu kau mati seketika. Jika aku harus membunuhmu, biarkan aku melakukannya dengan perlahan namun terasa sangat menyakitkan. Aku ingin sangat begitu menikmatinya. Hingga akhir, saat kau sekarat, aku tahu semua sudah sangat terlambat. Aku membunuhmu. Kau mati.

Lalu yang tersisa hanya lukamu. Dan aku. Menanti belati ini menancap sendiri tepat ke jantung. Dengan dua tanganku menggenggamnya.