Mencintai Seorang Lesbian


Kamu laki-laki? Punya hati? Ada baiknya sebelum jatuh cinta kenali dulu baik-baik perempuan yang akan kamu jatuhi dirinya dengan cintamu. Karena apa? Karena mungkin saja perempuan itu seorang…lesbi.

Atau sudah jadi mantan…lesbi.

Sebenernya jatuh cinta sama lesbi itu gak buruk-buruk amat. Malah gede baiknya. Kamu gak perlu repot-repot cemburu sama laki-laki yang selalu komen statusnya di jejaring sosial atau teman laki-lakinya yang kerap mengajaknya ngopi. Dia gak akan tertarik. Seganteng apapun laki-laki itu, dia tetap gak akan tertarik. Seasik apapun laki-laki itu, dia gak akan bergeming. Sekaya apapun laki-laki itu, dia gak akan…errr…mungkin ini pengecualian, temen yang bisa traktirin kapan aja itu langka. Tapi tetep dia bakal nganggep temen. Gak lebih.

Tapi waspadalah pada teman-teman perempuannya. Apalagi jika ternyata dia mempunyai seorang mantan pacar perempuan. Seorang perempuan lesbi punya perasaan yang lebih sensitif dari perempuan-perempuan normal lainnya. Jika mereka sudah pernah berkomitmen dalam sebuah hubungan dan memakai rasa, mereka pasti benar-benar serius menjalaninya. Maka, cemburulah pada perempuan yang pernah, sedang, dan akan dekat dengannya.

Seorang perempuan lesbi bukan berarti tidak bisa mencintai lawan jenis. Hanya saja sangat sulit. Laki-laki yang jatuh hati pada seorang lesbi harus sangat sabar dan benar-benar serius mencintainya. Jika hanya perkara sebatas suka, lebih baik tinggalkan segera. Perempuan lesbi tahu dengan baik siapa yang benar-benar mencintainya dan siapa yang hanya sekedar penasaran. Lagi pula, perempuan lesbi ogah main-main perasaan. Terlebih dengan lawan jenis.

Cukup bermodal sabar, juga tulus. Perempuan lesbi itu juga manusia. Pun mengakui tidak punya hati untuk laki-laki, tapi dia masih punya sisa nurani. Sentuhlah dengan kesungguhan. Lambat-laun pasti luluh juga kok.
Mencintai perempuan lesbi? Jangan gusar. Dunia belum kiamat kok onion-emoticons-set-6-117



Penghujung April


Ini April, sudah tiba di penghujung. Dan saya merasakan bulan ini sangat membahagiakan.

Dua sahabat saya berulang tahun di bulan ini, seiring usia mereka bertambah, kebersamaan kami juga semakin usang, tidak lagi bisa dikatakan sahabatan yang abegeh-abegehan, banyakan berantem karena sensi atau nangis-nangisan karena akhirnya ngerasain patah hati pertama. Kebersamaan ini sudah jauh berkembang seiring dengan tahun-tahun yang terbuang. Banyak suka, duka, tawa, air mata. Bukannya tanpa pertengkaran atau sekali-dua kali terselip rasa benci, tetapi nyaman menyatukan kita kembali.

Selamat ulang tahun, Sahabat-sahabatku. Semoga akan selalu ada kita di setiap tahun yang dilalui sendiri-sendiri dengan jalan kita sendiri :)


Seorang sahabat saya, akhirnya menjalani juga sebuah hubungan yang benar-benar disebut hubungan serius antara seorang laki-laki dan perempuan. Bukan hubungan yang timpang sebelah. Bukan juga hubungan ecek-ecek yang gak jelas ujungnya kemana. Semoga langgeng dan berjodoh.

Selamat berbahagia, Sahabat.  Foto gandengannya bagus, mesra banget :)


Dan di penghujung April ini, yang paling membahagiakan adalah...

Saya akhirnya…punya hati. Bukan hasil sewaan, atau rajahan. Ini murni hati saya.

Aah…April yang bahagia :)

Selamat menuju Mei onion-emoticons-set-2-128



Gandengan Tangan


Kata seseorang yang baru saya kenal, pacaran gak gandengan tangan itu gak ada indah-indahnya.

Enak lho kalo gandengan tangan. Gitu katanya.

Cobain deh. Apa? Di Aceh susah yah mau gandengan tangan? Kasian.

Ah, saya sih cuman senyum-senyum sendiri nanggepinnya.

Bagi saya, buat apa gandengan tangan kalo yang digandeng nggak ngerasain hal yang sama? Coba deh tanyain ke pasangan kamu, dia ngerasain apa pas digandeng sama kamu? Kalo ngerasa lempeng aja, ngapain coba jauh-jauh ke Jakarta cuman buat gandengan?


Ngeludah Sembarangan


Saya kok rasanya makin kesel pengen nampol orang yang berkendara di tengah jalan raya trus tiba-tiba ngeludah gitu. Iyak, dia buang ludah, yang lebih parahnya lagi ke sebelah kanan, yang artinya ke jalur cepet kendaraan. Saya kok gak abis-abisnya heran sama orang-orang yang kayak gini jumlahnya makin banyak aja. Apa ngeludah sembarangan pas lagi berkendaran itu keren yak? Trus dikagumin perempuan-perempuan yak? Trus diajakin nikah rame-rame yak? Trus perempuan-perempuan rela gitu dipoligami yak? Ini apaan sih? Makin absurd tulisan saya karena emosi. 

Tau ngapa? Untuk kesekian kalinya, saya nyaris kena getah kelenjar saliva seorang laki-laki gendut yang bahkan ngarahin motornya aja nggak jelas kemana. Tiba-tiba aja, cruuut, dia ngeludah, ke sebelah kanan. Semeter lagi saya nyaris kena. Ini laki-laki kok ada yang mau yak yang jenis ginian? Jorok. Apa mungkin karena jumlah perempuan sekarang lebih banyak ketimbang laki, jadi ya ketimbang keduluan abis, si perempuan ya mau aja.

Ah, absurd. Sudahlah.


Pelangi Setelah Hujan


Hujan…

Kali ini dingin yang kurasa. Tidak biasa. Menggigil. Mencoba mendekap tubuh sendiri. Nihil. Dingin terlalu menusuk, seperti sembilu menyayat setiap inci pori. Menangis? Ah, sudahlah. Sudah terlalu cengeng dan merasa begitu bodoh. Bertahan saja. Sampai batas mampuku untuk berdiri, menegapkan badan, menyunggingkan senyuman.

Aku merindukanmu, Pelangi. Kadang sampai nyeri menodai hati. Tetapi hujan sedang menari. Sabar sekejap ya? Ia tidak akan lama. Aku berjanji. Saat ia pergi nanti, aku akan kesana, menyusulmu yang sedang mengigit perih, mencoba tegar pada semua yang terjadi. Bersabarlah, akan ada pelukan nantinya. Seperti pelangi setelah hujan. Bersabarlah…

 Foto: Rudi Nurdiansyah

Menunggu


Sudah 2 jam aku menunggu, duduk di salah satu sudut pagar, melipat tangan, menyaring pandangan pada motor-motor yang berlalu-lalang. Setiap melihat satu motor di tikungan dari jauh sana, aku berharap itu jemputanku tiba. Tapi 2 jam sudah berlalu dan entah motor ke berapa yang sudah berlalu dan satu pun bukan jemputanku. Kuputuskan berjalan sedikit ke salah satu wartel di sudut sana. Dengan sisa uang jajan sekolah pagi tadi, aku menelpon rumah.

“Apa? Abang? Abang kan udah pergi dari tadi? Apa? Belum dijemput? Sebentar.”

Tidak lama kemudian.

“Abang masih tidur ternyata. Tunggu aja ya disana?”

Dan aku kembali duduk di sudut pagar itu. Kembali menghitung kendaraan yang lewat, sembari berharap itu jemputanku. Akhirnya? Aku berjalan pulang sendirian.

~

Kata teman-temanku, ia juga menyukaiku. Tanpa sadar kusungging segaris senyum tanda senang. Cinta pertama. Dan aku memiliki tanda-tanda bahwa ia juga mempunya perasaan yang sama. Aku menunggu, dalam bahagia juga cemas. Lambat waktu berjalan, dan aku semakin gila dibuatnya. Tidak terbayang bagaimana saat aku memberanikan diri menelponnya hanya untuk meminta kepastian perasaan darinya. Hal gila. Ya. Aku gila saat itu. Tapi penantian ini cukup menyiksa. Dan saat telpon dijawab, suara di seberang sana mengatakan dia sedang tidak di rumah.

Padahal itu suaranya.

~

Tiga jam lebih kuhabiskan di sebuah kafe. Sudah minuman ke-3 mungkin. Semenit sekali kulirik jam di ponsel. Berharap aku belum menunggu selama itu. Kusapu pandangan ke sekeliling. Setiap ada orang yang masuk ke dalam, aku berharap itu dia. Tapi bukan. Kuputuskan mengirim sebuah sms. Lama kunanti tak berjawab. Kucoba menelpon, tidak ada sahutan. Setelah menunggu kehadirannya begitu lama, sebuah pesan masuk.

Baru bangun. Mandi dan makan dulu ya? Mungkin nyampe kesitunya agak telat. Soalnya nungguin ada yang nganter.

Sejam setelah itu.

Gak ada yang nganter. Besok aja ya?

~

Lelakiku berkata, ia akan sangat sibuk hari ini. Kuputuskan menerimanya dengan lapang dada walaupun sulit. Lalu yang terjadi selanjutnya? Aku menggila, berusaha mematikan pikiran tentangnya, memangkas keinginan untuk memeluknya, mencoba sedikit saja lebih sabar dan menerima. Perlahan waktu berganti, senja memunggungi, aku semakin tidak bisa menahan diri. Tapi aku tahu, penantianku akan berujung manis. Pasti ada sedikit saja waktunya untuk memelukku. Aku girang bukan kepalang. Mencoba tetap tenang walau hati bersorak gembira ketika malam tiba. Dan malam memang benar-benar tiba, tapi sebuah pesan menghancurkan segala euphoria yang ada.

Dia tidak akan memelukku malam ini.

~

Aku selalu menunggu, merasa lelah terkadang, bukan masalah. Tapi yang paling menyakitkan adalah di antara semua orang yang kutunggu, tidak ada satu pun yang mengucapkan kalimat,

“Maaf, telah membuatmu menungguku terlalu lama.”

Walaupun jawaban akhirnya tetaplah tidak bisa, tak mengapa. Karena mungkin manusia memang ditakdirkan untuk saling menunggu. 



Memeluk Sepi


Dan ketika memelukmu tidak lagi mungkin menjadi nyata. Biarkan senyap yang merangkul nyeri ini, dalam dingin aku mungkin akan menggigil.

Tapi itu jauh lebih baik…


Memelukmu


Jika air mata ini jatuh lebih cepat dari langkahmu menumpukan kepalaku di pundakmu, aku meminta maaf. Bukannya tidak menunggumu datang atau bahkan mengabaikan kehadiranmu setelah hujan mereda dan mentari menyendu.

Kita benar-benar berbeda.”, ucapmu, memunggungiku, menyepak kerikil yang berserakan, juga mencoba menggapai angin dengan kepala menengadah. Menutup sepasang matamu.

Ada pelangi saat itu.

Tapi kamu tidak melihatnya. Kamu terbuai angin, bergumam kecil, menyenandungkan sebuah sajak berupa-rupa. Berbisik. “Tapi aku sangat mencintaimu.” Di telingaku. Ada geli yang kurasa di daun telingaku saat desah nafasmu menghantam syaraf-syarafnya, lalu turun melewati leher dan berhenti di rongga dada. Ada seperti euphoria tak terdeskripsikan sempurna yang coba memompa laju darahku lebih cepat dan memenuhi paru-paruku hingga sesak.

Aku terbata.

Menatapmu tidak lagi bisa kulakukan sambil lalu. Menatapmu sudah perkara lain yang menjadi semakin mendegupkan, mendegupkan, dan mendegupkan saja. Menatapmu tidak kusangka bisa sesulit ini. Dan yang jauh lebih sulit, menatapmu sembari menata perasaanku yang meledak berserakan ke sudut-sudut hati tanpa harus menahan untuk tidak memelukmu. Erat.

Ada eksploitasi serotonin dan dopamin di setiap senyummu meneduhkan gundah. Memercik bahagia, menyerat tawa.

Aih, maafkan kecengenganku di setiap kamu tiada. Maafkan keluhan di setiap kali kita tidak bersama.

Aku hanya…anggap saja, masih terlalu lelah dengan keadaan. Bukan berarti menyerah.

Dan saat hujan berhenti nanti, mentari menyendu, aku akan menunggumu. Dengan payung itu, bersender di dinding gang.

Memelukmu, adalah yang paling ingin kulakukan saat ini. Tertahan. Bukan berarti tidak akan.



Pantas?


Ada kala dimana semua di luar kuasa saya. Tidak terjangkau, bahkan terlarang untuk dijamah. Bukan, bukan karena saya tidak punya peran di dalamnya. Tapi hanya karena umur saya yang tidak pantas diberikan hak untuk bicara. Saya bisa saja marah, pada keadaan, pada orang-orang yang tidak tahu diri itu, pada semua hal yang telah mereka jadikan ketersengajaan. Saya bisa saja memaki, di depan hidung mereka seperti dulu saat akhirnya saya memilih jalan nista itu untuk menyelesaikan segalanya yang menyisakan kebencian tentang saya tak kunjung berujung. Saya bisa memilih cara barbar dengan melemparkan isi rak piring lalu memekik meminta mereka sadar.

Tapi, apakah pantas?

Jika orang yang saya bela masih saja mendua…



Rinduku




Pertengkaran kita yang ke berapa? Apa kamu mengingatnya?

Saat itu hari hampir larut dipeluk malam. Aku masih terjaga dengan flu yang tidak kunjung reda, juga demam yang berulang kali menyapa. Mengingatmu. Di antara air mata yang kutahan sedemikian rupa, aku masih berharap dapat mendengar suaramu.

Ingatkah kamu pada malam itu? Di malam saat akhirnya aku mampu mendengar suaramu, di seberang mana. Kamu berbicara, tidak dengan nada yang biasanya, terlalu pelan, hampir terdengar putus asa. Kamu menyuruhku tidur. Aku hanya terdiam, tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Karena apa? Karena aku masih berharap bisa mendengar suaramu lebih lama.

Di antara senyapnya suara juga sesaknya hati, tiba-tiba aku mendengar suara petikan gitar. Dan suara petikan gitar itu berasal jemarimu. Aku masih terdiam. Menunggu. Lalu, perlahan kudengar suaramu.

Di antara flu dan demam ini, pertengkaran dan amarah yang belum selesai, di tengah malam, kamu memutuskan menyapaku dengan petikan gitar dan sebuah lagu. Seperti mimpi. Ada isak yang coba kutahan sekuat tenaga tatkala kudengar kamu menyanyikannya. Ada bahagia yang luar biasa kala kutahu kamu masih merindukanku.

Tolong rasakan ungkapan hati
Rasa saling memberi
Agar semakin erat hati kita
Jalani kisah yang ada

Ku tak pernah merasa jemu

Jika kau selalu disampingku
Begitu nyanyian rinduku
Terserah apa katamu
Rambutmu
Matamu
Bibirmu
Ku rindu

Senyummu

Candamu
Tawamu
Ku rindu

Beri aku waktu sedetik lagi

Menatap wajahmu
Esok hari ini atau nanti
Mungkin tak kembali


Iwan Fals - Rinduku

Every Woman Deserve To Be Pretty




Perempuan itu, setelah lama tidak bertemu, akhirnya aku melihatnya lagi di sebuah pagi yang akan segera beranjak siang. Masih dengan wedges 5 sentinya, ia berdiri di dekat pintu masuk, ada sesuatu yang dia tunggu. Ntah apa itu. Kucoba menghampirinya.

Perempuan itu, senyumnya masih saja sama seperti pertama kali aku bertemu. Masih selebar dan setulus dulu. Namun, ada yang berbeda kini. Ah, iya, bibirnya telah bergincu. Gincu berwarna oranye, serasi dengan kulitnya yang sawo matang. Kucoba mengajaknya ngobrol.

Perempuan itu, kutatap lekat matanya, masih saja ia mencurahkan seluruh fokusnya pada lawan bicaranya, membuatku merasa dihargai dengan tatapan lembutnya di sepasang mataku. Samar kulihat kelopaknya telah berwarna merah muda sekarang. Terakhir kali kulihat, hanya dibingkai celak hitam legam. Kucoba mengajaknya duduk.

Ia masih bercerita, juga menjawab semua tanyaku dengan riang. Tidak kutemukan semangat yang pernah surut dari senyumnya, gelak tawanya, juga gestur tubuhnya. Ia begitu istimewa kurasa. Seorang perempuan istimewa yang sangat menghargai dirinya sendiri. Seorang perempuan yang percaya diri.

Ia tidak cantik, tubuhnya tidak tinggi semampai, kulitnya tidak putih memukau. Namun, ada semacam rasa percaya bahwa “perempuan manapun berhak tampil cantik dan mengenakan apapun yang ia inginkan” dari dirinya.

Aku melihat matanya yang kini memerah muda di bagian kelopaknya. Kudapati bibirnya yang telah bergincu. Dulu, satu polesan pun tidak dapat kutemukan melekat di wajahnya. Wajah kusamnya, juga tundukan malu itu kadang membuatku iba.

Aku melihat jilbabnya yang dililit trendi ala sekarang. Kudapati ia telah sering memakai banyak warna. Dulu, aku hanya melihatnya memakai tiga warna, hitam, coklat, juga abu-abu. Juga baju-baju kedodoran.

Dan saat aku hendak berjalan pulang dan memunggunginya, sempat kulihat sepatunya. Cantik. Wedges - yang sampai saat ini belum berani kupakai, masih kusimpan rapi di dalam kotaknya, tapi ia dengan berani memamerkannya. Dulu, hanya ada sepatu flat seadanya, kadang dengan warna yang tidak sesuai.

Ia berubah, seperti ulat yang mengepompong ketika tiba masanya sebelum menjadi kupu-kupu yang cantik. Begitulah siklus hidupnya. Dari seorang perempuan kampung yang pemalu dan rendah diri, menjadi seorang perempuan kota yang cantik dan percaya diri.

Ia tidak cantik. Namun, aku menemukan makna ‘cantik’ yang sebenernya dari perempuan ini.

Aku mengaguminya. Sekaligus iri.

Kagum, untuk keberaniannya.

Iri, untuk kepengecutanku menjadi seberani dirinya.

Dan perempuan itu kupanggil Uli.

Maaf.


Malam yang juga…absurd.

Terlalu banyak cemberut dari seseorang yang tidak kuinginkan. Maaf, jika berkali-kali membuatmu begitu merasa tidak dihargai. Aku hanya sedikit…lelah. Maaf, karena mengeluh. Biasanya aku bisa lebih dari ini. Mungkin karena kebiasaan baru, membuatku sedikit lebih manja untuk mau menuruti inginmu.

Aku hanya sedang berpikir, untuk jalan yang selama ini kita tempuh bersisian. Aku selalu mencoba, bukan tanpa perhentian, kekesalan, bahkan terkadang umpatan. Karena lelahku kadang hanya tidak bisa dimengerti olehmu yang memiliki lelah berjauh-jauh kali lipat dari punyaku.

Ada kala dimana aku tidak bisa membedakan mana diriku, mana milikmu. Dimana aku harus berpijak. Haruskah aku seperti ini. Pantaskah aku beginikan hidupku. Atau nistakah jika aku mementingkan diri sendiri. Aku hanya tidak tahu. Kamu pun tidak pernah memberi jawaban untuk itu.

Yang selalu terucap dari bibirmu setiap kali kuputuskan tidak menuruti keinginanmu adalah memang tidak ada yang bisa mengerti dirimu, lelahmu, semua perjuanganmu selama ini. Aku mengerti, sungguh mengerti, bahkan teramat mengerti. Untuk cacian mereka yang selalu kamu dengar, perjuanganmu, kesabaranmu, semua hal yang menjadikanmu utuh memilikiku.

Hanya saja…entahlah…

Mungkin aku hanya terlalu lelah…

Maaf.

Besok tidak akan kuulangi. Aku janji.


Hari yang Absurd


Siang yang panas, bukan? Saya juga ngerasa sedih dua anggota Cherry Belle harus hengkang. Maksud saya, mereka kan baru taun 2011 lalu terbentuk, kenapa taun ini udah harus ada anggotanya yang keluar? Kasian Wenda dan Devi, pasti sedih banget. *korban infotainment :|

Setelah kemarin Ibu saya ngambek lantaran anak-anaknya nggak mau nganterin ke pasar yang berimbas pada kulkas dan mesin cuci yang rusak, hari ini terasa begitu…absurd.

Kulkas, saya masih bisa hidup tanpa benda satu itu. Tapi Ibu saya nggak.

Mesin cuci, saya gak bisa hidup tanpa itu! Tapi Ibu saya bisa.

Inilah kenapa saya bela-belain nganterin Ibu saya ke toko elektronik guna dua benda itu dapat bekerja kembali padahal saya punya urusan lain ditambah urusan abang saya yang tiba-tiba aja jadi urusan saya juga. Saya tanpa mesin cuci, sama seperti sayur asam tanpa belimbing. Ibu saya tanpa kulkas, sama seperti tidak ada makan siang. Tragis.

Pernah sekali waktu, mesin cuci yang terdahulu rusak, maka menyucilah saya menggunakan tangan. Tahu berapa waktu yang saya butuhkan untuk menyuci setumpuk kecil pakaian? 3 jam. Diiringi suara tawa Ibu saya.

Pernah sekali waktu, kulkas yang terdahulu rusak, maka bolak-baliklah saya hampir setiap hari ke pasar guna mengantar Ibu saya belanja. Tahu jam berapa saya harus bangun? Setengah. Diiringi repetan Ibu saya.

Dan kejadian yang absurd mulai ketika urusan garansi barang di toko elektronik selesai. Urusan SKCK itu, urusan berkas itu, urusan kondangan yang terlantar, urusan pecel yang tiada. Juga mentari yang menyengat raga.

Absurd.
onion-emoticons-set-6-78

Semoga pengganti Wenda dan Devi bisa ditemukan secepatnya. Amin.  Dan anggota ChiBi yang lain nggak sedih lagi.onion-emoticons-set-6-34



Ulang Tahun dan Facebook


Sebelum jaman secanggih sekarang, tanggal ulang taun seseorang yang kita kenal biasanya disimpen di ponsel. Nanti, setiap tanggalnya tiba, akan ada “reminder” yang ngingetin kita, kadang juga suka dipasangin alarm sekalian. Biasanya diidupin sehari sebelum hari H, itu buat temen deket. Atau sejam sebelum tanggal, itu biasanya buat temen sekelas atau temen yang biasa aja. Ngucapinnya pun kadang sengaja nunggu jam 12 malem pergantian hari, supaya lebih “berasa” aja, semacam ada perasaan care dari kita untuk orang yang sedang berulang taun. Ya, anak sekolah masih melek jam 12 malem dulu itu udah hebat banget. Sekarang sih beda.

Jauh sebelum ponsel mengambil alih tugas mengingat ulang taun temen, ada diary yang ngemban tugas nginget-ginget gini. Inget dong semacam buku biodata gitu? Kalo ngakunya perempuan dan SD-nya dulu di taun 90-an, pasti gak asing dengan buku ini. Gambar sampulnya pun beragam, juga kertas yang berwarna-warni. Kadang dilengkapi kunci gembok pula. Ntah untuk apa itu. Buku ini sebenernya diary yang dialihfungsikan sebagai penyimpan biodata temen-temen. Bakal diedarin dari satu temen ke temen lain, minta mereka ngisiin biodata mereka. Biasanya data diri yang diisi adalah:

  • Nama lengkap
  • Nama panggilan 
  •  Tempat/tanggal lahir
  • Alamat rumah
  • Jumlah saudara kandung
  • Anak ke berapa
  • Cita-cita
  • Hobi
  • Makanan dan minuman favorit
  • Kesan dan pesan
  • Nggak lupa tanda tangan yang masih absurd bentuknya

Dari buku ini, kita bisa tau siapa yang ulang taun di bulan ini dan bulan-bulan selanjutnya. Ngucapinnya pun cuman bisa pas di sekolah. Kalo pas di hari libur, berarti diucapinnya nanti, pas masuk sekolah. Kasian.

Tapi sekarang, ulang taun temen itu udah perkara sepele. Ada facebook yang ngingetin kita setiap tanggal ulang taun temen. Ngucapinnya pun udah ogah repot-repot texting di ponsel dan dikirim jam 12 malem tepat. Kapan buka facebook, ya ngucapin. Dan ucapannya pun semakin singkat saja seiring waktu. “HBD. WUTB”. Wdf?! Kalo ternyata pas buka facebook, ulang taun si temen udah lewat, ngucapinnya sambil dibubuhin kata maaf karena telat. Gitu aja. No more respect for someone’s birthday.

Nggak begitu masalah sih sebenernya. Banyak juga kok yang nyembunyiin tanggal ulang taunnya di facebook. Alasannya sih males diucapin rame-rame dari orang-orang asing yang jumlahnya kadang sampe ribuan. Tapi ada baiknya, untuk temen yang kita anggap lebih, kita perlakukan lebih juga. Inget hari ulang taunnya dan seenggaknya diucapin lewat message. Terasa lebih istimewa untuk orang yang menerimanya.

Sebenernya tulisan ini saya bikin buat nyindir diri sendiri. Saya juga salah satu orang yang terbuai kecanggihan teknologi lalu menganggap perkara tanggal-tanggalan ini sangat sepele. Ada facebook, biarkanlah tekonologi yang menggantikan tugas otak. Sampai seorang teman menyanyakan tanggal ulang taun sahabat saya lalu saya terdiam, bukannya bersekongkol dengan sahabat saya tidak ingin memberitahunya. Tapi karena saya memang tidak mampu mengingatnya.


Saya dan Kopi


Dulu saya pernah punya keinginan mau nyobain satu-satu kede kopi yang ada di Banda Aceh ini. Tapi sekarang asa tinggal asa. Bukannya waktu yang gak punya, waktu sih banyak tersedia, tapi uang yang gak mencukupi lagi. Sebagai pengangguran newbie, jatah reman saya otomatis dipotong sama orang tua. Alasannya sih cukup logis, pengangguran, kemana-mana udah nggak, buat apa uang jajan banyak-banyak? Bukannya nggak cukup sih buat bayar segelas sanger dingin. Tapi saya udah mesti hemat-hemat. Ibu saya adalah tipe ibu yang udah ngasih duit jajan ke anaknya, suka dipinjem lagi. Saat dipinjem, saya mesti punya duit. Lah wong saya pengangguran, butuh apa? Ibu saya gak kenal kata “hang out”. Yang dia kenal kata “jajan” yang artinya gak boleh sering-sering.

Sekali-dua kali masih lah saya main ke kede kopi, biasanya jumpain temen. Tapi udah nggak kayak dulu yang hobi nyoba-nyoba tempat baru. Sekarang dimana biasanya kita ketemu aja. Bukannya ngikut slogan salah satu iklan minyak kayu putih, “Buat anak kok coba-coba?”. Tapi lebih ke tempat yang udah bikin cozy juga rasa kopi yang udah pasti enak.

Saya bukan maniak kopi, apalagi celana dalam. Saya termasuk orang yang buta rasa akan kopi. Menurut saya, kopi yang enak itu ya yang pahit legit, gulanya juga jangan banyak. Itu aja. Sanger yang enak itu ya yang rasa kopinya lebih dominan ketimbang susunya. Teh tarik yang nikmat itu ya yang komposisi antara rasa teh dan susu seimbang, bukan susunya sekaleng. Sesederhana itu.

Maka, saya sebenernya udah males nyoba-nyoba tempat baru. Sudah nyaman dengan tempat-tempat yang biasa saya datangi. Ini sama seperti bersandar di pundak seseorang. Saya sudah kadung nyaman bergelayut padanya. Sudah tidak ingin cari yang lain. Yang ini saja. Cukup.  



Mimpi Paling Nyata


Mimpi buruk paling nyata ada ketika kamu terbangun di tengah malam dan mendapati ketakutan yang sebenarnya tidak ada, ia hanya di anganmu, ketakutan yang tidak seharusnya. Namun mencekam. Mendegupkan jantungmu lebih cepat, menyesakkan nafasmu.

Kamu melihat jam, membuang setiap detiknya yang terasa lama dengan ketakutan tak berujung, semakin lama ketakutan itu semakin menjadi, anganmu semakin liar, logikamu lenyap tak menyapa.

Ini adalah hantu paling menyeramkan bagiku. Lebih menyeramkan dari sleep paralysis. Aku bangun. Tidak setengah tidur seperti biasanya. Tidak sedang menghadapi batas absurd antara sadar dan tenggelam. Tidak sedang berjuang untuk terbangun seperti yang sudah-sudah. Ketakutan ini nyata, terasa, berdesir di relung, menguasai otak, melumpuhkan segala naluri. Semua hipotesa yang ada seakan tidak berguna. Kebenaran tertutupi. Mata tak sudi kompromi.

Dan saat pagi mulai menjelang, aku akan bernafas sedikit tenang. Ketakutan itu perlahan memudar, seiring degup jantung yang melemah. Lalu aku akan terkulai dibuai mimpi.

Jangan tanya seperti apa.

Selamat tidur untuk semuanya.



Siapa Bilang Makan Gratis?


Sering pergi ke kondangan bersama orang tua, bisa bikin kalap dan gak tau diri. Kenapa?

Karena itu yang baru terjadi sama saya beberapa hari lalu.

Dapet undangan resepsinya temen SMU dulu. Udah rapih-rapih, dandan, pede ngelangkah ke tekape bareng temen. Gitu mau masuk, ngeliat sebuah kotak ngejogrok di meja penunggu tamu. Buset. Kagak bawa amplop! Maksudnya, duit yang dimasukin dalem amplop.

Nyikut temen, “Ssstt…kita gak ngasih amplop?”

Si temen juga ikutan melongo. “Trus gimana? Gak punya amplop…”

“Duit punya?”

“Berape?”

“Sepuluh ribu juga boleh. Berapa aja deh…”

Kita ngomong udah bisik-bisik.

Beruntung di dompet saya ada sisa amplop punya kemarin itu. Tapi malangnya, duit yang gak punya. Pengangguran. No comment.

Jadilah si temen sembunyi-sembunyi masukin duit dua puluh ribu ke dalam amplop. Eh, sumbangan gak boleh disebutin jumlahnya yak?

Terlanjur.

Setelah berhasil masukin duit ke amplop, kita jalan dengan anggun, nyolokin tuh amplop ke dalem kotak terus langsung menuju meja makanan. Dan makan sepuasnya.

Makan di kondangan itu gak gratis, mamen. Ada duit yang mesti disiapin dalem amplop. Kadang, kalo yang nikahan temen deket, kudu ngasih kado. Bukannya apa-apa, bentuk penghormatan lebih aja, mungkin juga nunjukin kalo dia punya arti lebih buat kita.


Kondangan yang Makan di Rumah


Suasana di kondangan jarang bisa bikin saya nyaman. Palingan ngerasa terbayar kalo makanannya enak-enak.  Itu biasanya kalo yang punya hajat orang-orang besar, bukan ukuran orangnya besar, you know what I mean, yeah?

Kayak tadi, dapet undangan resepsi. Yang punya hajatan termasuk orang besar. Bersiaplah saya, make baju juga yang nggak kayak biasanya. Ditawarin naik motor, saya nolak, mintanya naik mobil. Belagu saya. Padahal tempat acara sama rumah, jalan kaki sambil goyang karawang 5 menit nyampe. Tapi kudu kece gitu nyampe tekape.

Nyampe, turun, masuk. Tujuan pertama pasti nyari dimana letak meja makanan. Nemu, gak jauh dari pintu masuk. Udah semangat, perut juga udah merongrong minta diisi. Gitu cek isi meja, nyaris kosong. Ini apaan coba? Liat-liat lagi, dari arah pintu belakang, orang-orang pada lalu-lalang. Ngapain coba? Pada ngambil piring sendiri. Ini acara apaan sih?

Opsi kedua, ke meja camilan. Yak. Kaki ber-heels ini jalannya juga udah terseret-seret. Tapi ini urusan perut, saya samperin itu meja camilan. Dan tahu apa? Kosong.

Baiklah. Nyamperin manten, salaman, pulang, makan di rumah.

 Gaun yang tersia-siakan...

Sabtu

Siang yang tidak begitu panas. Lain halnya bagi orang yang baru putus. Dimana-mana aja pasti panas *nyesek*.

Yah, ketemu wiken lagi. Wiken yang masih saja terasa sama dengan hari-hari lain. Pengangguran gak punya sistem penanggalan yang jelas, akurat, juga reliable.  Seringnya salah nyebut hari, keliru nginget tanggal, paling berabe kalo narik duit di bank, salah nulis tanggal di slip penarikan, mesti tanda tangan lagi.

Ada segelas es teh manis yang nemenin siang yang agak sejuk di kamar, sebatang coklat, juga lagu-lagu asing yang mulai akrab di telinga. Wiken yang biasa aja, namun entah mengapa ada damai terselip. Setelah kejadian indah kemarin, senyum ini mampu bertahan lebih lama dari yang saya kira. Ini bukan curcol loh. Cuma pengen sharing aja. (bedanya?)

Udah begitu lama rasanya saya gak nulis dengan gaya gini. Kangen? Ya. Saya kangen bisa banyak bacot gak genah gini. Nulisin isi hidup saya yang gak kunjung jelas arahnya kemana.
Intinya sih, saya kangen nulis dan ngisi blog ini dengan begitu banyak tulisan. Jangan cari makna, saya sedang ingin berbagi aja. Hidup saya yang nggak seberapa ini bisalah untuk dituangin ke dalam 3 atau 4 paragraf aja. Walaupun meaningless.

Aih, wiken yang sama. Tapi gak tau kenapa ada yang beda aja. Apa coba? Entahlah. Saya hanya sedang bahagia. Bukan berarti kemarin-kemarin nggak bahagia. Tapi dapetin balik sesuatu yang salah dibuang itu bikin saya ngerti seberapa berharganya itu.

Mari nikmati Sabtu yang biasa aja ini dengan senyum mengembang sepanjang masa.

Gotta go!

Perempuan Tak Berhati. Aku.


Dan inilah aku. Perempuan tak berhati yang sedang mencoba bergantung pada hati seseorang yang sudi.

“Dengan apa kamu hidup? Hati atau logika?”

Kala itu kamu bertanya, ingat? Saat amarahmu memuncak, memunculkan sebuah tanya lalu memuntahkan sebuah persepsi.

“Kamu berlogika.”

Entah sebuah kebanggaan atau sebuah ejekan yang kudapat. Yang jelas, aku tidak mengelak pun mencoba berkelit.

Dan inilah aku. Perempuan yang sudah begitu lama mematikan hati, kamu tau aku apakan dia? Kubakar saat darahnya masih segar. Bau gosong itu…aku sungguh menikmatinya, saat ia tertikam panas membara, meronta, lalu terkulai tidak berdaya. Mati.

Tidak lagi ada hati di setiap langkah yang kusemai dalam hidup.  Tidak ada lagi hati di setiap senyum yang menghias demi rupa seseorang. Aku ini perempuan. Dan hati bukan lagi milikku.

Satu per satu terjadi, aku diam membalut luka, membebatnya dengan kasa pasrah bercampur alkohol kekalahan. Perih? Jangan tanya seperti apa rupaku saat itu. Diam menangis dianggap tertawa bahagia. Sendu mengisak dianggap derai gelak canda.

Ini bukan soal cinta. Mematikan hati tidak melulu soal patah hati. Ini adalah seperti apa kamu membunuh semua yang mungkin, asa, harapan, cita-cita, apa saja. Bahkan kesempatan. Cinta itu baru sekali kubuai, walaupun berakhir dengan luka sambit karena kepalsuan, bukan karena itu aku, perempuan, memutuskan membakarnya hidup-hidup.

Maka, inilah aku, perempuan tak berhati yang sedang memasang pengait harapan di hati seseorang. Agar langkahku tidak lagi pincang. Agar mimpiku tidak lagi kesepian. Juga mengumpulkan kepingan kepercayaan.

Menyedihkan? Aku tahu, tak perlu kamu mengangguk.