Tolonglah Mengerti...


Seperti bekunya udara yang dihembuskan dari mulut saat shubuh menyambut. Seperti itulah perasaanku saat ini. Tidakkah kamu dapat merasa lagi? Semua memang telah kuanggap selesai. Tapi mimpi buruk itu belum juga berhenti. Aku butuh kamu. Butuh kamu untuk berjuang bersamaku. Melawan mimpi itu. Aku butuh lupa. Tapi tidak bisa serta-merta. Aku butuh waktu. Aku butuh proses. Dan aku butuh kamu ada.

Tolonglah untuk mengerti. Mengapa aku masih menatapmu curiga. Tolonglah untuk mengerti. Aku sangat ingin semua kembali. Dan tolonglah untuk mengerti, saat pagiku tidak baik-baik saja, jangan membungkamku dengan diammu. Khawatirlah sedikit. Atau aku harus terus mengiba betapa aku butuh perhatianmu? 


Kesunyian


Aku merasa ramai di tengah sunyi ini. Kala kayu-kayu yang menjadi pijakan kaki berderit-derit, di kala itu pikiranku semakin carut-marut. Hey, pernahkah merasa begitu bahagia di tengah sepinya manusia? Aku pernah. Dan baru sekali ini begitu terasa. Sakral. Saat yang ada hanya jeritan angin menggetarkan dedaunan mangrove, riak air yang tampak takut bergejolak lembut membiarkan sinar matahari menelanjanginya hingga ke dasar tanah.

Aku tahu, kesendirian haruslah dinikmati sendiri. Bukan berdua, seperti sepasang kekasih yang menjajarkan botol minuman dan berbungkus-bungkus makanan ringan di pinggir jembatan, duduk menghadap hutan mangrove sambil sesekali cekikikan dan sebatang rokok tak henti disesap oleh lelakinya. Aku tahu, mereka tidak mampu menikmati.

Aku menggeleng. Menghela. Mereka sungguh tidak tahu harta apa yang tersimpan disini tatkala hanya senyap saja bisa begitu berarti. Kubalikkan langkah, melewati lagi sepasang kekasih yang ternyata masih juga bertengger di pinggir jembatan rendah berdinding dedaunan mangrove bergerak-gerak riuh-rendah. Mereka masih terkekeh geli seperti menikmati sebuah candaan yang entah siapa yang melontarkan dan lelakinya masih menyesap rokok –mengepulkan asap yang segera hilang di antara sela-sela hutan.

Mereka kesini untuk melepas rindu.

Sedangkan aku? Menikmati sisa ketenangan sebelum akhirnya harus kembali ke kenyataan. Bahwa selembar foto dapat menceritakan berjuta cerita. Juga rahasia.


Sejenak





Mari sejenak berhenti menulis prosa. Karena saya sedang muak dengan kata-kata. Sedang muak dengan segala ungkapan cinta.

Maka, biarkan saya beristirahat sebentar sembari menarik nafas. Juga berharap, semua yang terjadi kemarin tidaklah nyata.

Untuk kalian yang terbiasa membaca setiap kata yang saya rangkai seolah sempurna, maaf. Tidak ada prosa kali ini. Saya butuh berhenti.

Berhenti


Maka, disinilah persimpangan kita. Sudah waktunya untuk berpisah –menjaraki mesra. Karena semua telah berbeda. Kamu tidak lagi sama. Bukan tidak lagi, namun ternyata. Asa yang terpecah berserak di hamparan kecewa. Tahu seperti apa rasanya? Saat tanyamu meragukan suasana. Hei, siapa kamu sebenarnya? Masihkah orang yang sama yang kucekoki cerita-cerita? Masihkah ia hafal bagaimana aku meraung menangisi segala masalah yang ada? Kenapa tanya konyol itu yang kamu lempar ke muka? Kenapa? Adakah pikiranmu menguasai logika? Atau memang selama ini kamu hanya berpura-pura?

Berpura-pura mengerti.

Berpura-pura memahami.

Berpura-pura berempati.

Ini sudah entah kali ke berapa kamu sukses memainkan lakon dungu mengejutkanku. Tiba-tiba aku dibuatmu tersentak seperti mati suri untuk beberapa waktu. Kamu begitu lihai mendalami peranmu, yang kadang membuat aku begitu mengagumi segala milikmu, yang kadang membuat aku meyakini kita ini semu.

Kita.

Aku merasa tidak ingin lagi menghabiskan kopi bersama. Di satu meja. Kepulan asapnya sudah tidak menyatu sempurna. Saat ia meluruh di udara. Sudah tak sama. Sudah tidak bisa. Sekian kali aku memaksa, tidak ada yang tertangkap di buku-buku jemari selain hampa yang senyata-nyatanya.

Aku benar-benar meyakini kini. Kita harus berhenti. Berhenti memaksa ini terus dijalani. Berhenti mendoktrin diri. Berhenti.

Maaf…tundukkan kepalaku mungkin tidak pantas mewakili. Tetapi hanya ini yang berani kuberi. Untuk terakhir kali.


Senyummu. Candu.


Aku rindu pada senyummu dan candu –lingkar tanganmu di pundakku –hangat dekapmu lindungiku.

Aku rindu pada senyummu dan candu –harum wangi aroma sabunmu –bobot tubuhku yang setengah ditumpumu.

Aku rindu padamu dan candu –kepalaku yang terbenam di antara leher dan pundakmu –kecup punggung tanganku di bibirmu.

Aku rindu pada senyummu dan candu –saat perlahan kau katakan “I love you” –dan serta merta senyumku merona pipi merah jambu.

Aku rindu. Senyummu. Itu candu.


BARTER



"Kemana Kakak pergi, Bu?"

"Ke neraka."

"Untuk apa?"

"Menggantikan Ayahmu yang banyak dosa. Kita masih butuh dia."

Mendung



Aku menyukai mendung. Dan bagaimana awan memainkan perannya meliciki matahari yang seringnya pongah karena menjadi satu-satunya yang paling bersinar terang. Aku suka ketika bumi redup setengah. Tidak begitu terang, namun masih bisa melihat untuk melangkah. Karena bagiku, segala yang memiliki kejelasan mutlak di dunia ini biasanya menyakitkan, ketidaktahuan menyisakan sedikit harapan untuk berteduh di bawah pekatnya kenyataan. Kebimbangan memberikan sedikit kelegaan untuk dapat memilih sesuai kata hati. Dan hasil akhir adalah ujung dari sirnanya redup disingkirkan cahaya –saat tujuan berdiri di bawah kenyataan. Getir atau manis, hadapilah dengan senyuman.

Katakan

Katakan pada Cinta, bahwa rasa tidak akan bertahan lama. Katakan pada gadis manja itu, bahwa aku tidak akan berada selamanya. Di sampingnya. Katakanlah selagi aku bersamamu. Karena nanti, akan ada wanita lain lagi yang akan membisikkan hal serupa di telingamu.

SAYA MINTA DINOMERSEKIANIN. SEKIAN

Saya ngerti, hidup kamu bukan ada saya aja. Tapi jangan juga lalu ngerasa enggak enak setiap saya sewot kamu mau pergi sama temen-temen kamu. Lah wong, kamu yang biasain saya untuk manja sama kamu. Apa-apa mesti kamu, dikit sedih nyari kamu, dikit bosen minta kamu.

Padahal saya inget, dulu kayaknya saya ogah menye-menye gini, apa-apa main perasaan, apa-apa bawaannya sensi, apa-apa kudu berurai air mata, padahal kadang cuman hal sepele kamu yang ketiduran trus sayanya melongo sendiri nungguin kamu bales eh nggak bales-bales lagi sampeannya saya gondok dan karna mainnya udah ke perasaan, kebawa sampe besok pagi. Jadinya saya sinis nanggepin pesan selamat pagi kamu yang kalo keadaannya lagi baik-baik aja, sangat saya tunggu. Bahkan saya rindu. Itu kan gara-gara katanya kamu, kamu mau jadi orang pertama yang tahu apa-apa yang ada di saya, mimpi burukkah saya, nyenyakkah tidur saya, sakit bersin-bersin abis beberes rumahkah saya, kamu kudu tau, sangat pengen tau. Kamu bilang andelin kamu untuk situasi apapun. Saya kalap jadinya, karna kamu yah kok kayaknya memang into me gitu. *halah

Jadi saya addicted dinomersatukan.

Tapi kok makin kesini, tiap kamu nggak bisa ada, sakitnya kok makin nyelekit yah? Apa perasaan saya makin berat sama kamu? Oh God, mungkinkah saya udah jatuh cinta trus klepek-klepek harus dikelonin kamu terus?

Eh, tapi mana boleh yah gitu? Saya sih ngerti itu nggak baik, tapi kamunya juga siiiiiiih, ngapain juga janjiin saya ini-itu?

Ya sudah, nomersekiankan saja saya. Saya rela kok. Beneran. Tapi kalo memang udah tiba nomer saya, tolong semua urusan kamu untuk hal lain disingkirkan ya?

Sekian.


Hey, Kamu


Hey, kamu…

Hari ini aku tidak meneriakkan rindu. Tidak memengakkan telingamu. Tidak mencampuri segala urusanmu. Hari ini aku…hanya menunggu. Sambil sedikit panik saat pesanku tidak mampu terkirim, kukira yang salah ponselku. Tapi ternyata memang sedang begitulah jaringan tadi waktu.

Hey, kamu…

Apa hari ini melelahkan bagimu? Kukira iya, mengingat begitu banyaknya yang harus kamu lakukan mengejar waktu. Pastilah peluh membanjiri tubuh. Pastilah lelah menyergap ragamu. Sembari aku terus meragu, apa kamu makan tepat waktu, apa tidak kecolongan shalatmu. Tapi biarlah kamu begitu dulu.

Hey kamu…

Iya, kamu. Merinduiku? Kurasa begitu. Karena sebentuk pesanmu masuk ke ponselku di kala sibukmu. Sebentuk pesan yang membuatku tahu, kamu mengingatku. Cukuplah seperti itu. Cukup membuatku tersenyum malu-malu menatap layar ponsel tepat di jam satu. Cukup membuatku bersemangat melewati waktu, mengerjakan ini-itu. Sembari berharap Tuhan menjagamu. Selalu.

Hey kamu…

Terima kasih dariku. Untuk cintamu.


Dila Sayang...


Dila menangis. Bukan tanpa suara, hanya tercekat di kerongkongan. Bukan tanpa air mata, hanya sudah kehabisan cairan di badannya.

Ya. Dila menangis. Seperti meringis. Ingin mengais, secuil saja kasih sayang dari ibunda yang telah melangkah pergi di kala gerimis. Ingin ikuti, langkah-langkah terburu-buru ayahanda saat menarik koper masuk ke bagasi. Ingin teriak, ke langit kelabu, betapa Tuhan begitu tidak adil pada takdir hidupnya yang dilanda duka selalu. Ingin mati, tapi berulang dicoba lagi, hanya perih di lengan tangan menyakiti, hanya luka di leher yang tersisa akibat tali.

Dila yang manis, kulitnya hitam eksotis, senyumnya candu segaris tipis. Namun Dila menangis. Bukan untuk ayah-bunda. Bukan untuk takdir. Tapi untuk apa ia dilahirkan, jika akhirnya hanya terbuang percuma. Populasi di bumi kian memadati, ada baiknya Dila pergi. Dicarinya malaikat maut kesana-kemari. Tak ada yang Dila temui.

Dila yang malang. Aku bukan malaikat pencabut nyawa, aku hanyalah seorang pecundang. Namun, akan kubantu nyawamu meregang. Kuharap kau akan senang, saat di jantungmu kuhunuskan pedang. Matilah, Dila sayang. Damailah disana, kau telah berhasil pulang…




Menikmati Waktu


“Hanya tersisa beberapa hari. Aku ingin menikmati waktu.”, katamu kemarin itu.

Pikiranku mendadak kosong. Besok hari apa? Aku bahkan tidak mampu mengingatnya. Besok apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak bisa mereka-reka. Tapi yang jelas, kamu disana ingin menikmati waktu yang tersisa sebelum akhirnya kembali ke ibu kota.

Ya. Menikmati waktu yang tersisa.

Aku juga. Dengan sebuah palu. Kupecahkan saja seluruh jam di dunia. Dengan korek api. Kubakar saja semua kalender di dinding rumah. Dengan pura-pura tidak mengingatmu. Kubenturkan saja kepala agar amnesia.


Maafkan Aku, Sayang...


Khilafku yang mengantarkanmu pada jurang kenistaan dan cacian orang-orang. Maafkan aku, Sayang. Tidak seharusnya kujarah tubuhmu sebelum waktunya, kubuka selangkanganmu sebelum kamu mengizinkannya. Maafkan aku, juga imajiku yang terlalu liar membayangkan tubuh polosmu. Maafkan juga hasrat bawah perutku yang mampu membutakan mata hati juga logika.

Aku hanya begitu tergiur pada semua yang ditawarkan molek tubuhmu yang kadang hanya dibalut selapis tipis kain yang potongannya tak simetris. Kamu begitu menggoda bagi laki-laki bejat sepertiku. Keberanianmu menantang birahiku membuat jantung berpacu setiap melihat mulus kulitmu yang tampak di kala pakaian semester tak jadimu itu tersingkap.

Sayang…aku mencintaimu. Sungguh. Namun bukan tidak ada nafsu di dalamnya. Aku laki-laki normal. Pun sangat mencintaimu, bukan tidak ada pikiran mencumbui  partikel-partikel tubuhmu. Aku begitu menginginkanmu. Kulakukan itu semua karena nafsu yang merajai akal sehatku.

Sayangku, maafkan aku yang kini harus pergi. Begitu pengecut menunjukkan diri. Kumohon maafkan aku, Sayang. Aku hanya tidak siap jika nafsu yang baru sekali meletup itu ditukar dengan seorang bayi mungil. Aku tidak siap jika pacuan yang baru sekali dipecut itu harus dibayar seharga masa depanku. Aku tidak siap.

Maka, kumohon dengan hidup dan matiku, maafkan aku…

Dan untuk ia yang sedang bertumbuh di rahimmu, semoga bijakmu dapat menuntun menuju keterbaikan pilihan.


di dalam hati saja


Setiap hari bukan sebentar

Akhir-akhir ini justru berlalu begitu cepat

Aku masih ingin saat itu

Aku masih ingin memejamkan mata tanpa takut ketika bangun hari sudah tak lagi sama

Andai bisa tidak dicegah, ingin bertanya padamu saat ini

Sudah lelapkah? Bagaimana keadaanmu?

Maaf, Len. Entah mungkin setiap kali dari banyak detik aku memikirkan banyak hal tentangmu

Untuk kata-kata yang seharusnya bukan menjadi ucapan

Hanya aku tak ingin berpura-pura agar kamu tersanjung

Bukan itu, nyata sekalipun pahit tapi memang belum ada yang bisa mengalahkan kagum ini padamu

Dan belum ada yang bisa mengisi kekosongan ini ketika kamu tak ada

Rasanya saat ini ingin bertanya sesuatu tentangmu,

Tapi semakin rasanya aku ingin tahu, aku semakin takut salah lagi.


Kamu bertanya sekali waktu, masihkah kamu menyimpannya?

Entah. Entah masih puluhan atau mungkin sudah ratusan kali puisi ini terbaca. Bukan terbaca, namun sengaja kubaca. Aku bahkan menggilainya.
Tidak ada yang spesial, tapi ada makna sakral yang tereja sempurna saat lidahku merapalnya.

Lalu kujawab…
Masih, karena hanya ini –aksaramu- yang menjadi milikku.
 –di dalam hati saja


Bukan Milikku


Terima kasih untuk Bunda. Juga untuk waktu yang terluang demi menamparku manja. Aku tidak pernah diharapkan lahir dari rahimmu seperti kamu pernah sangat begitu menginginkanku dulu. Aku tidak pernah minta dibelai manja saat masih dalam buaianmu seperti kamu pernah merasa sangat begitu bahagia tatkala mengusap pipiku lembut.

Terima kasih Ayah. Juga untuk sepak terjangmu menghantam tubuhku. Tidak pernah selebam ini. Walaupun dulu kerap cubitan bringasmu membuatku meringis. Aku tidak pernah merengek minta dibelikan sepeda roda tiga busuk itu. Atau mobil-mobilan ber-remote control. Atau kereta api bodoh itu. Atau…atau…senapan mainan di setiap lebaran. Tidak pernah, Yah…

Aku hanya minta pengertian kalian, Ayah, Bunda. Aku hanya minta keikhlasan. Juga kebebasan.

Karena lihatlah, tangan ini bukan tanganku, mata ini bukan mataku, bibir ini bukan bibirku, hidung ini bukan hidungku, dada ini bukan dadaku, pantat ini bukan pantatku. Dan yang terlebih lagi, kemaluan ini bukan kemaluanku.

Aku tersiksa. Tidakkah kalian melihatnya?


Kets


Kenapa saya begitu menyukai kets? Terlepas dari warnanya merah. Karena merah adalah warna favorit saya. Jadi apa-apa yang berwarna merah, cukup-banyak menyita perhatian saya.

Bagi saya, kets adalah lambang kesetaraan gender antara saya dan laki-laki. Saya merasa lebih bisa diterima di saat kets yang menjadi pembungkus sepasang kaki saya. Saya merasa menyatu di antara laki-laki dan tidak dibeda-bedakan keberadaannya. Saya menjadi sangat nyaman berada di antara mereka. Merasa sangat aman tidak akan diperlakukan timpang sebelah –seperti perempuan.

Kets membuat hidup saya lebih luas untuk dijelajahi. Kets membuat saya dapat merasakan persahabatan dengan lawan jenis tanpa dibumbui kisah asmara. Kets menjadi penetral penampilan di saat saya harus bergerombol bersama mereka. Kets membuat saya terlihat sama.

Walaupun kets bukan menjadi yang motif utama. Namun,  kets dapat membawa saya pada batas absurd mengenai gender.


–aku


Tersenyumlah, Sayang. Teruslah menulis.

Ceritakan pada dunia bagaimana kau meruncingkan ujung pensilmu lalu menancapkannya di salah satu bola mataku. Bagaimana aku seketika buta permanen sebelah. Bagaimana air mata darah mengucur dari sela-selanya. Bagaimana teriakan tangisku mampu membendung segala kreativitasmu.

Berdoalah, Sayang. Semoga nyawaku cukup untuk meregang emosimu.
Katakan pada mereka yang selalu bertanya ragu bagaimana suster-suster itu mengenalku dengan baik. Bagaimana rumah sakit telah menjadi rumah keduaku setiap kali bagian tubuhku tidak berbentuk seperti seharusnya. Bagaimana sakitku dapat memuaskanmu berkarya. Bagaimana tubuhku tidak pernah membuatmu bosan mereguk imaji.

Tersenyumlah, Sayang. Selagi aku bisa menjadi alasannya.

Pujilah aku di depan nisan kedua orang tuamu. Bagaimana aku selama ini menemani semua pribadimu. Bagaimana aku mampu menyesuaikan diri sesuai karaktermu yang bergantung pada hari. Bagaimana aku berhasil membuatmu tidak mampu meninggalkanku. Bahkan bagaimana kau kerap mengikatku dengan kawat duri setiap kali aku ingin berlari –darimu.

Sayang, aku tidak akan pernah menjadi matimu. Aku tidak akan pernah menjadi belatimu. Aku yang akan selalu menjadi surga emosimu. Aku yang akan selalu meninabobokan hasrat hewanimu. Aku yang akan selalu menjadi penjaga amarahmu. Dan aku yang akan selalu menjadi kekasih tiadamu.


Bukan Cinta


Mungkin aku benar-benar tidak pernah jatuh cinta. Mungkin itu hanya perasaan ingin memiliki. Mungkin aku sudah terlalu naif. Juga terburu-buru menyimpulkan. Mungkin.

SMP kelas 2, aku ingat saat sedang berlari menuju kelas karena guru pelajaran selanjutnya telah masuk. Sedangkan masih banyak murid yang berkumpul di lorong kantin di sebelah kelasku. Aku berhenti sejenak, berjongkok, mengikat tali sepatuku, dan menoleh. Lalu, aku melihatnya. Sedang melihatku. Tali sepatuku terpasang sempurna, aku beranjak memasuki kelas.

Setelah itu, ia sering hadir di jendela kelasku, menatap ke dalam. Ke dalam. Ke aku yang sedang sibuk menyatat pelajaran di papan tulis. Oke, main tebak kata bersama teman sebangku. Lupakan soal rajin, aku masuk di kelas unggul, tapi tidak pernah benar-benar masuk di dalamnya. If you know what I mean.

Aku tiba-tiba jatuh hati padanya. Oh, nope. Pada jenggotnya. Hanya dia yang punya jenggot di seantero sekolah ini. Jenggot. Come on, saat itu aku masih panas-panasnya menggilai Mike Shinoda dan talentanya. Okay, jenggotnya juga. Oh, my God, aku merasa, he’s like Mike Shinoda. KW-an Mike Shinoda yang mampu kujangkau.

Namun, semua tidak harus berjalan indah seperti harapan kan? We never got together. He’s a player. And I was too dumb to notice. Setelah itu aku patah hati. Teramat-sangat sakit. Juga sesak. Perlu 2 tahun untuk mengais kembali kesadaran, juga harga diri. Karena telah terluka oleh sesuatu yang menye-menye. Itu bukan aku.

Namanya Rizki Fauzi Syahputra. Kelasnya III-4. Ia mengendarai Honda Supra metalik. Nomor telpon rumahnya 33113.

Lalu setelah itu apa? Yang mampu kuingat dengan sangat jelas hanyalah jenggotnya. Mendadak semua menjadi konyol di saat SMU. Hey, laki-laki macam apa yang di kala SMP dagunya sudah ditumbuhi jenggot lebat? It’s insane. Tiba-tiba aku merasa sangat malu menyebutnya cinta pertama.

Apakah itu cinta?

Kini kurasa bukan. Karena kenyataannya aku tidak pernah benar-benar menginginkannya. Mike Shinoda lah yang kuinginkan. Dan jenggotnya mengobsesikanku.

Don't say you love somebody and then change your mind. Love isn't like picking what movie you want to watch, real hearts are at risk.

No, I am not. I just don’t know the difference. Mungkin cinta masih terlalu jauh dari jangkauanku. Mungkin menjadi sesuatu yang tidak pernah mampu kumiliki. Mungkin. Who knows? Nobody...