cukup_


Untuk satu titik berpendar ungu mengelabui hati. Ada banyak yang ingin tercerita padamu. Tercerita. Bukan mencerita. Atau bercerita. Aku ingin bersamamu menjadi segala ketidaksengajaan. Ketidaksengajaan yang disengajakan Tuhan untuk terjadi di antara kita. Aku ingin semuanya mengalir begitu, apa adanya, tidak perlu direkayasa. Tidak butuh disengaja.

Aku menginginkanmu untuk hadir di setiap lini hidupku. Tidak berbatas. Dan tidak terbatas. Apalagi membatas. Aku ingin segalanya serba kamu. Dimana aku bisa merasakan adanyamu di setiap lekuk jemari aku menyentuh sesuatu atau di setiap tarikan nafas meski kamu sedang tidak bersisian denganku.

Aku ingin sesederhananyamu dalam kerumitan hidupku. Di antara semua yang terjadi, aku ingin selalu merasai hadirmu ada disini. Meski tak nyata. Meski tak kasat mata. Dan meski sebatas mengangani saja. Meski apapun itu. Aku tidak akan mencelanya.

Merasa, dirasa. Terasa. Kadangnya tidak mampu, seringnya memang begitu. Aku. Kamu. Bukan jarak terbentang yang membenteng. Bukan pula rindu mencandu yang mulai meracuni darah yang menderu. Bukan. Tapi rasa. Rasaku yang tidak lagi bisa merasai, tangan ini milikmu, bibir ini untukmu, dan desahan nafas ini mensyarati namamu agar dapat terbuang.

Segala yang dulunya cukup. Segala yang sekarang tidak lagi cukup. Segala tentang kamu. Atau hanya tentang aku?

Aku tidak tahu…


Percakapan Perempuan-perempuan



Di sudut café berkelas menengah ke atas, sekelompok perempuan tengah asyik bertukar cerita sambil menimpali opini ini-itu. Minuman-minuman beranek ragam di dalam gelas-gelas panjang telah setengahnya habis, kudapan-kudapan berbau keju telah menghilang hangatnya.

Aku duduk tepat di pojokan, di sisi ruang, sedikit terlihat menyempil. Namun, posisi ini yang paling jelas untuk mengamati semua sudut. Teman-temanku, ya, mereka teman-teman lama di kala SMP dulu. Kami berkumpul kembali bukan tanpa tujuan, sebulan sekali pastilah ada acara yang beginian, di tempat-tempat bonafit. Maklum, mereka dari keluarga berada. Aku? Bukan, tapi sebulan sekali rasanya masih mampu nongkrong di tempat beginian.

“Lelaki…”, Ruri tertawa kecil. “Mereka memang begitu. Saat pedekate, beuh…apa sih yang nggak buat kita. Bener nggak? Itu seakan Monas pun bakalan dibawain ke depan rumah kalo kita minta.”

“Seorang temen kuliah pernah bilang ke aku, saat-saat terindah dari sebuah hubungan adalah saat pedekate.”, aku menimpali, terdengar sangat klise mengutip perkataan orang. Tapi biarlah.

“Bener…bener!”, Aiya berseru semangat. “Ben, dulunya itu…romantis abis. Perhatian full. Setengah jam sekali nelpon, cuman buat mastiin aku baik-baik aja. Kayak si Bubu itu tu…mirip lah.”

Ega mencondongkan tubuhnya, “Sekarang, Ya?”

“Boro-boro!”, Aiya mengetok meja pelan. “2 taun pacaran, sms 3 hari sekali, itu tau yang ditanyain apaan?”

Semua diam, tidak menggeleng, namun menunggu jawaban Aiya.

Apa kabar, Sayang? Kangen. Itu pacaran nanya apa kabar? Bener-bener dah…”, Aiya geleng-geleng kepala.

“Mungkin karna udah lama kali ya, Ya? Udah tau seluk-beluk pacar, udah terbiasa.”, Mala berujar.

“Atau mungkin udah berasa kayak sodara perempuan sendiri?”, aku mencoba beropini dan serta-merta menjadi pusat perhatian.

Kontan aku cengar-cengir sendiri. Aku, adalah perempuan yang paling gak berpengalaman, berani-beraninya nyaut tanpa bukti.

“Gawat dong kalo gitu!”, Ruri kontan melonjak.

Aku melirik jam tangan, lalu diam-diam menekan tombol unlock di ponselku.

Tidak ada pesan darimu.

Mungkinkah kita akhirnya juga tiba di masa itu?

Karena aku pernah membacanya sekali waktu, saat malam dan kantuk belum menyerbu.

Cinta pasti hilang, hanya rasa sayang yang terus tinggal. Cinta pasti hilang, hanya rasa keterikatan yang terus melekat.

 Sudah seharusnya kamu mengabariku. Meski hanya sederet pesan yang tidak perlu balasan.

Dan green tea shake ini masih terasa hambar sedari disajikan tadi.