C.H.E.E.R.U.P :)




Aku sudah harus berjalan lagi, setelah sebelumnya terhenti.

Hidup.

Bagaimana aku memprediksinya? Jika ketetapan hanya milik Sang Pencipta. Aku mungkin punya rencana walaupun tidak semua tersusun rapi seperti buku-buku di dalam rak lemari. Tetapi tidak ada yang bisa memberitahuku, akan seperti apa rencana-rencanaku itu. Selain waktu.

Ya. Menunggu.

Aku percaya di balik semua rencana yang tidak Ia setujui menjadi nyata, Ia punya rencana yang jauh lebih pantas untukku. Hanya saja semuanya butuh proses kan? Dan proses adalah berlalunya waktu. Aku butuh merasakan kegagalan demi kegagalan ini, aku butuh diingatkan, aku butuh merasa membutuhkan-Nya. Dan pada akhir proses segala, semua akan berpulang pada-Nya.

Aku menyerahkan semua mimpi-mimpiku pada-Nya.

Bukan pasrah. Bukan. Malah harus lebih berani berharap jauh lebih tinggi lagi. Jika sketsa mimpiku yang segini saja enggan Ia lukis di dalam nyata, pasti aku pantas untuk di tempatkan di sketsa yang lebih indah.

Bersemangat :)




Love Was, Love Is


Via sesenggukan di sudut tempat tidur. Disesapnya rokok dengan tergesa.

“Gue gak bisa, Rin…”, tangisnya pecah. Abu rokoknya berhamburan ke lantai. Aku beringsut mendekatinya.

“Dulu…dulu itu, indah banget! Everything was so perfect! Ben itu laki-laki yang paling cocok, yang paling bisa bikin gue bahagia. Dia…dia…”, tersengal, nafas Karin diiringi batuk oleh sesaknya asap rokok.

“Setelah gue hamil, he said he wasn’t ready. Fuck. Gue ngerasa tolol saat itu. But damn, I can’t stop loving him, Rin… Dia…dia tinggalin gue gitu aja. Gue coba tegar. Gue harus tetep hidup demi anak itu. I love him so much, Rin. And I love his baby too…

Aku meraih pundak Via dan menariknya ke pelukanku. Kubiarkan kepalanya di pundakku dan isak tangisnya pecah.

“Lu tau apa, Rin? Lu tau…”, Via mengangkat kepalanya. Ia menyeka air matanya.

“Setelah 2 bulan, gue keguguran…gue keguguran, Karin! Tapi Ben tetep gak mau balik sama gue.” Kutatap lekat sepasang mata Via yang sembab dan berair. Sudah tidak tidur beberapa malam, sepertinya.

“Dia bilang gue sampah. Iya. Sampah. Semua perempuan yang udah pernah dia tidurin dan dia buang, gak akan sudi dia kutip lagi. Bego ya gue, Rin?”

Aku masih menatap lekat sepasang mata coklat Via.

Dan diam.

“Gue hancur, Rin…gue pengen mati. Tapi gue terlalu takut…”

Tirai jendela yang masih tertutup rapat. Cermin yang telah pecah menjadi kepingan.

Sekali lagi aku menatap sepasang mata coklat milik Via. Sembari tersenyum, meraih isi tasku. Lalu memberikannya pada Via.

- - -

“Siapa, Ben?”, tanyaku saat Ben menolak panggilan masuk di ponselnya.

“Via.”, sahutnya singkat.

“Dia gak ngerti kata ‘gak mau’ kayaknya ya. Berkali-kali aku bilang, aku udah gak suka sama dia. Masih aja neror aku.”

Aku diam.

“Sahabat kamu itu psycho kayaknya. Kemarin…” kalimat Ben terputus saat ponsel kembali berdering.

“Anjing! Kamu liat kan? Liat? Perempuan kayak gini nih yang bikin laki-laki jadi kasar. Nanti dikasarin, salah, dibilang lah gak menghargai perempuan. Shit!

Aku diam.

Ben memutar stir ke kiri.

“Sayang? Kamu kok diem aja?”, Ben menoleh.

“Oh, nggak kok. Aku gak apa-apa.”, aku menjawab cepat, tersenyum.

“Kalo gitu lakuin sesuatu dong ke sahabat kamu itu. Kamu apain kek. Supaya dia gak ngejar-ngejar aku lagi. Kalo perlu kamu matiin sekalian.”

Mobil melaju melambat dan memasuki area parkir.

“Hayuk, Sayang? Bahas si Via, sahabat kamu itu, bikin mood aku jelek. Kalo udah kayak gini aku males ngapa-ngapain. Nanti kamu yang harus ekstra bikin aku semangat.”

Ben turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.

Kami berjalan beriringan masuk ke lobi hotel. Dengan tangan Ben melingkar di pinggangku.


- - -


Desau angin menerpa kulitku. Aku berdiri, memandangi gundukan tanah di hadapanku.

“Minum ini dulu.”, kuberikan sebotol bir pada Via. “Setelah lu mabuk, lu pasti punya keberanian lebih buat minum ini.”, lalu kuberikan ia sebotol obat serangga. “Ini, gue juga udah siapin ini, supaya keberanian lu lebih besar lagi.”, aku menyerahkan foto-foto Ben bersama perempuan-perempuan lain.

Ponselku berdering pendek. Sebuah pesan masuk.

Sayang, kamu dimana? Aku udah di hotel. Jangan kelamaan dong.

Aku beranjak dari area pemakaman, namun sebelum benar-benar pergi, sekali lagi kuintip makam Via dari balik pundak.

Aku juga sangat mencintainya. Namun aku tidak setolol kamu, Via, mengakhiri nyawamu sendiri. Jika Ben nantinya juga akan meninggalkanku seperti ia meninggalkanmu, aku pastikan, Via. Aku akan kuat dan berani untuk menghabisi nyawanya dengan kedua tanganku. Seperti aku menghabisi nyawamu.


Rere Ingin Hamil


“Hayuklah, Gas. Sekali aja….”, Rere merengek sambil menggelayut manja pada Bagas, pacarnya.

Bagas menepis lengan Rere. “Kamu jangan aneh-aneh, Re.”

“Aneh-aneh gimana? Aku kan cuma pengen hamil.”, tegas Rere.

“Lah terus kalo anak itu lahir, siapa yang biayain? Re, aku gak siap jadi bapak. Kita masih sekolah.”, ucap Bagas yang masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Sedangkan Rere masih kelas 3 SMP.

“Aku yang hamil, aku yang lahirin, kenapa kamu yang panik sih, Gas? Itu nanti semuanya urusan aku.”, Rere menghela, terlihat kesal pada Bagas. Mengapa pacarnya ini tidak juga bisa mengerti.

“Setelah aku hamil nanti, kita gak perlu nikah. Kamu lanjutin sekolah kamu dulu. Nanti setelah anak kita lahir, kamu bisa datang ke rumah aku untuk main-main sama anak kita.”, ujar Rere enteng.

“Re, kamu udah gila ya? Gimana nanti sama sekolah kamu?”

Rere tertawa ringan. “Gas, aku kan masih punya mama-papa. Masa mereka gak mau ngurus dan biayain cucu mereka sendiri sih?”

Di film-film, sepertinya hamil dan menjadi single parent itu terlihat sangat….keren. Rere sudah bosan menjadi keren dengan hal-hal payah di sekolah, seperti memacari laki-laki paling hot di sekolah atau memamerkan lingkar hitam di sekitar mata tanda sudah tidak tidur selama beberapa hari. Cara keren yang sudah basi, menurut Rere. 
Tapi menjadi single parent di usia belia pastilah kekerenan yang tidak bisa dikejar oleh teman-temannya. Rere ingin terlihat sangat berbeda. Rere sangat ingin kehamilannya mengundang decak kagum. Lihat saja film Jeni, Juno. Lihat betapa kerennya ketika Jeni hamil. Rere ingin seperti itu. Tapi tentu saja Rere ingin mengurusi bayinya sendiri, tidak ingin seperti Jeni yang menyerahkan bayinya pada kakaknya. Dan pasti akan terlihat sangat keren seorang Ibu muda berusia 15 tahun menggendong seorang bayi mungil nan lucu sambil berjalan-jalan di mall.
“Bagas….hayuklah…”, suaranya manja merayu Bagas. Didekatinya pacarnya itu. “Sekali…aja…”, ia berbisik lembut di telinga Bagas.

“Tapi kamu janji gak minta aku untuk tanggung jawab ya?”, Bagas memastikan.

“Iya, sayang.”, Rere tersenyum penuh kebahagian. Ia tahu Bagas mulai luluh.

Lalu proses Rere untuk menjadi keren pun dimulai di sebuah kamar kos milik Bagas.


kesepian.


“Punya anggota keluarga yang bisa dihubungi?”

Anne menggeleng cepat. “Orang tua saya sedang berlibur di Paris. Dan dua adik saya sedang mengambil shortcourse di Belanda.”

“Punya teman atau pacar yang bisa dihubungi?”, Ridwan mengintip dari balik layar monitor.

Anne diam sebentar. Lalu bayangan Hanni muncul di benaknya –gadis hitam mungil dengan senyum paling manis. Muncul juga wajah Elvi dengan tahi lalat khas di ujung hidung lancipnya. Ada juga Yulia, gadis jangkung berambut ikal sepunggung. Mereka adalah sahabat-sahabat Anne semenjak SMU.

“Nggak, Pak.”, Anne segera menepis pikirannya.

Ridwan, polisi yang sedang menginterogasinya, menghentikan sejenak jemarinya yang sedang menekan tuts keyboard. Ditiliknya sekali lagi gadis di hadapannya dari balik layar monitor.

Cantik. Modis. Terlihat smart. Dan sepertinya dari keluarga yang kaya.

“Kamu yakin tidak ada kontak yang bisa dihubungi?”, Ridwan sekali lagi bertanya meyakinkan Anne.

“Pak, yang kehilangan tas itu saya. Dan usia saya sudah 25 tahun, saya sudah dewasa. Saya sudah legal secara hukum. Saya tidak perlu lagi kan didampingi oleh orang lain?”

“Memang. Tapi alangkah lebih baik jika ada yang menjemput kamu kesini. Kamu kan bukan orang sini. Tidak punya tempat menginap juga kan?”

“Saya bisa tidur disini kok. Tugas utama Polisi adalah melayani masyarakat kan? Saya hanya perlu tas saya cepat ditemukan lalu saya akan pulang sendirian.”

Ridwan diam. Gadis ini begitu keras kepala. Ia melengos. Hari sudah begitu larut. Tidak ada guna berdebat lebih panjang. Mungkin gadis ini sangat lelah dicampur marah karena tasnya yang kecopetan, maka emosinya meluap-luap dan bicaranya jadi ketus.

Dibiarkannya gadis itu menginap di pos jaga Polisi berbekal selimut dan bantal pinjamannya.

Di dalam ringkukan selimut dan desau angin malam yang dingin, gadis itu terlihat begitu…kesepian.




Hidup kita melaju tanpa bisa menyamakannya dengan laju hidup orang lain. Ada orang-orang yang sejalan lalu mereka harus berbelok mengambil liku yang lain di hidup mereka. Ada yang berhenti lalu memutar balik mencoba memungut kenangan. Ada yang di perjalanan bertemu orang-orang baru lalu lebih memilih berhenti sejenak menyesap secangkir teh hangat di warung pinggir jalan dan membiarkan kita terus melaju sendiri.

Mereka yang di masa lalu. Mereka yang ada di masa sekarang. Kadang tidaklah bisa tetap sama. Kadang hanya bisa tetap tinggal di masa lalu. Kadang kita sedikit memaksa membawa mereka ke masa sekarang, tapi yang ternyata kita genggam hanyalah bayangnya.

Tidak mencoba mempertahankan dengan memaksa mencoba mempertahankan itu hampir tidak ada bedanya. Karena toh sebenernya kita telah lama kehilangan mereka. Hanya saja, begitu munafik mengakui. Bahwa kita…

kesepian.



Nikah Cepet dan Nikah Lama


Di sebuah warung kopi di persimpangan jalan.
“Kenapa cepatnya kau nikah, Boy? Usiamu masih 25. Nikmatilah dulu kebebasan. Foya-foya dengan gajimu sendiri. Nanti sudah nikah, gajimu pun tak bisa lagi kau pegang.”
“Tak sangguplah aku, Dit. Pulang kerja capek, inginnya ada yang layani. Pusinglah aku begitu pulang masih harus ngurusi tetek-bengek yang makanlah, baju kotor lah, inilah itulah. Bah. Enaknya pulang bisa langsung istirahat, tak lah aku dipusingkan sama urusan-urusan sepele seperti itu, ada istri yang melayani.”



Di sebuah café bernuansa teduh.
“Nungguin apa lagi sih, Win? Umur kamu sebentar lagi menginjak 27 loh. Gak kepikiran buat married, apa?”
“Entahlah, Ne…mikirin married. Mikirin tugas dan kewajiban nantinya. Ngurusin ini ngurusin itu. Pulang dari kantor udah capek, masih harus ngelayanin suami. Belum masak, urusan rumah, tagihan ini-itu, apalagi kalo udah punya anak. Masih pengen bebas, Ne. Masih pengen nikmatin gaji sendiri. Masih pengen travelling kesana-sini. Pokoknya masih pengen hidup bebas.”



Inilah zaman di saat pernikahan dianggap suatu pelengkap oleh kaum laki-laki dan akhir dari segala bentuk kebebasan oleh kaum perempuan.


Zaman ketika kepercayaan pada Tuhan mengenai jodoh dibungkus ego rapat-rapat. Jodoh dapat ditawar seenak jidat. Jodoh juga bisa dicadangkan – menolak yang ini, besok juga bakal ada yang lain –pastinya dengan pertimbangan yang tidak matang.


Inilah zaman. Bergerak seiring akal manusia.