Menjemput Bahagia



Bahagia itu butuh egois. Memang harus ada orang yang merasa menderita di bawah kebahagiaan kita. Terlepas itu nyata atau tidak. Masalahnya sekarang adalah, untuk apa menjadi Lala di dalam sinetron Bidadari jika kebahagian yang dimaksudkan adalah menekan perasaan mengandalkan air mata?

Bahagia itu butuh perjuangan. Kadang memang caranya menyakitkan. Tapi ingatlah ada waktu sebagai penawarnya. Bahagia itu tidak dengan pengorbanan menusuk hati lalu menyayat sembilu, meringis pedih lalu menyudutkan diri. Jangan buang energi untuk ke semua sakit yang kamu tahu asalnya dari siapa.

Bahagia itu bukan menghamba-pasrahkan diri pada sosok yang dihormati. Bahagia itu ketika hati mampu menggerakkan senyum di bibir lalu berucap syukur ikhlas pada Ilahi. Jangan terlalu terpaku pada restu ataupun pengabdian diri. Jangan biarkan hantu masa lalu menekanmu hidup-hidup. Terus-menerus.

Ada saatnya kamu bangkit dari semua lumpur yang sengaja dibalutkan ke kulitmu oleh orang yang kamu hormati.  Kamu harus tahu saatnya memilih –di antara yang memberikanmu kebahagian sejati atau hanya semu. Jangan lagi mengintimidasi diri sendiri dengan segala kicau buruknya tentangmu. Kamu harus tahu, Ka, kamu cukup berharga untuk bahagia.

Iya, kamu, Ka. Sudah saatnya menjemput bahagiamu.