Karena Dia Rei (Part 1)

Entah sejak kapan rasa ini ada. Mengisi setiap relung hati dan membuat jantungku berdetak tiga kali lipat lebih cepat. Meminimalkan nafsu makanku dan menyita hampir dua pertiga memori otakku.

Mungkin sejak aku terlibat di pentas seni sekolah kami bulan lalu. Sebagai ketua OSIS, dia menampilkan wibawa yang mampu membuat nafasku tercekat. Dia begitu berkharisma. Tutur katanya sopan dan senyumnya tulus. Membuatku meleleh seketika. Dirinya begitu indah.

Ketika dia memimpin rapat, dapat kurasakan sihir yang dia tebarkan bekerja. Tidak hanya padaku, tapi pada semua panitia. Semua bersimpatik padanya.

Aku masih ingat dengan jelas suaranya yang lantang berorasi di depan kami untuk menaikkan semangat panitia yang mulai jatuh, pujiannya yang terdengar sangat tulus ketika hasil kerja kami memuaskan, dan sikap tegas yang ditunjukkan untuk mengatur panitia yang hanya sekedar numpang nama saja. Semuanya menunjukkan jika dia adalah pemimpin sejati.

Lalu saat ada masalah menjelang hari H pensi kami, dengan cekatan dia mampu menyelesaikan semuanya sehingga acara berjalan lancar-lancar saja. Mengundang decak kagum tidak hanya dari panitia yang terlibat langsung tapi juga pihak sekolah.

Bukankah dia begitu hebat?

Dan aku jatuh cinta.

Dengan segenap jiwa dan raga.

Tapi aku tahu rasa ini seharusnya tidak ada.

Karena dia Rei.



-------------------------------------------------------------------------------------

Sebenarnya ini bukan pagi yang indah untuk memulai hari.

Dengan keterlambatanku bangun dan ban mobil yang bocor di tengah jalan, hariku praktis nyaris hancur. Pasalnya di jam pertama ada ulangan Sejarah yang menunggu.

Tapi kemudian Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untukku.

Tiba-tiba ia sudah ada disana. Bertengger di atas motornya dengan jaket kulit hitam kesayangannya.

“Kenapa, Pop?”, ia bertanya padaku.

“Ini....Bannya bocor....Mana aku ada ulangan Sejarah lagi jam pertama....”, harap-harap cemas aku menunggu apakah dia akan mengajakku berangkat bersama.

“Ya udah, naik sama aku aja. Nanti kamu bisa suruh orang rumah kamu ngurusin mobil kamu itu.”

Akhirnya....What a fine day?

Aku bersorak dalam hati. Tapi tidak menampakkan reaksi kegiranganku. Hanya sebuah senyum simpul dan muka yang berseri-seri.

Thank’s ya, Rei!”, aku berseru seraya mkamumpat ke atas motornya.

“Pegangan yang kenceng.”, ucapnya sambil menurunkan kaca helmnya ke posisi semula.

Ketika motornya mulai melaju, dalam hati aku berdoa, semoga ini tidak cepat berakhir.

Ini adalah perasaan jatuh cinta yang paling indah yang pernah kurasakan. Tapi setiap kuingat kenyataannya, hatiku perih.

Hanya karena dia Rei.


-------------------------------------------------------------------------------------

0 komentar:

Posting Komentar