Skeptis Absurd

Tiga hari ini saya berpikir lebih banyak dari hari-hari biasanya.

Mendapati ada yang peduli memang menyenangkan. Tapi saya ya ini. Manusia dengan keskeptisan yang absurd. Dan sekarang semakin absurd. Saya enggak tahu lagi dengan cara apa saya harus mulai bisa percaya pada seseorang. Lagi. Sendirian saja memang menyakitkan. Tapi resiko untuk terluka sangat kecil. Setidaknya, jika saya terluka, maka itu salah diri saya sendiri dan saya bisa dengan mudah memaafkan diri saya sendiri. Jika bukan saya yang memaafkan diri saya sendiri, lalu siapa? Saya hanya punya saya.

Mendapati kehilangan orang yang peduli memang jauh dari rasa menyenangkan. Tapi saya bisa apa? Merasa disakiti hanyalah sebuah kompromisasi luka. Tinggal dibalut dengan kain kasa. Tidak usah diobati. Saya hanya ingin lihat apa dia akan membusuk atau sembuh dengan sendirinya. Jika dia membusuk, maka amputasi saja. Jika dia sembuh sendiri, maka bolehlah saya mencoba lagi.

Saya merasa lebih skeptis dari yang sudah-sudah. Saya berjalan, tidak lagi menunduk, namun memandang sinis ke setiap orang yang saya temui. Dan saat mereka akan buka mulut, saya akan nyolot duluan. Menyuruh mereka diam detik itu juga. Hidup saya sudah terlalu banyak diumbar ke dunia. Sudah cukuplah. Saya sudah begitu malu. Jika setiap saya punya seseorang baru, saya harus selalu berbagi rahasia. Lalu mereka pergi, hilang, lagi. Bersama rahasia saya. Bilang ke saya, apa yang harus saya perbuat? Nggak ada. Selain gigit jari.

“You say that your proud of me. And you take something out of me. So predictable. Why do I have to see this through? Why do I have to take this? Isn’t there something I can do? To make myself finally say this?
You start with apologies then take another shot at me. So pretendable. Why do I have to see this through? Why do I have to take this? Isn’t there something I can do? To make myself finally say this?”
Pretend To Be – Linkin Park


0 komentar:

Posting Komentar