Lipstik Baby Pink

“Andin…kulit kamu itu item. Nggak cocok pake warna yang beginian.”, Hanni menyambar tester dari tangan saya dan meletakkannya kembali ke palet.

“Kamu itu cocoknya warna-warna coklat atau terakota. Kayak gini.”, ia menyomot sebuah tester berwarna merah bata, memutar pangkalnya. “Cobain.”, dan menyodorkannya pada saya.

Saya meraihnya, sebenarnya dengan enggan. Memoleskan sedikit di bibir bawah lalu mengulum agar warnanya rata.

“Tuh, bener kan, Bi? Cocok kan di kulit Andin?”, Hanni meminta perhatian Febi yang sedari tadi sibuk memilih krim pelembab wajah anti-aging. Febi bilang perempuan itu cepat keriput, jadi sudah bisa dijaga sedari sekarang. Sudah masuk kepala dua, katanya. Sudah harus lebih menjaga.

Entahlah.

Saya mematut diri saya di cermin rias yang terduduk di atas etalase berbagai produk perias wajah.
Memang, warnanya menyatu dengan kulit saya yang kata orang gelap. Tapi, dalam hati, saya masih menginginkan warna yang kini sudah bertengger lagi di palet itu.

Baby pink.

“Atau kamu mau pake warna merah hati? Itu juga cocok loh di kulit kamu. Tapi ini kan interview kerja pertama kamu. Jangan yang ngejreng-ngejreng banget deh kayaknya. Nanti kamu disangkain mau show off. Mana nilai kamu juga standar-standar aja, juga nggak cumlaude. Nanti yang ada bapak-bapak itu mikirnya kamu cuma modal polesan. Bener kan, Bi?”, Hanni merepet panjang dan lagi-lagi meminta persetujuan Febi yang masih bingung dalam menentukan pilihan krim pelembab wajah.

Saya tidak begitu menghiraukan racauan Hanni. Mata saya masih saja –sesekali- mencuri-curi pandang ke palet tester, mendambakan baby pink itu bisa saya pakai ke interview besok.

“Udah kan, Ndin? Yang ini aja ya, Ndin? Mbak, yang warna ini aja deh.”, Hanni melihat ke arah saya lalu ke si Mbak yang polesannya super tebal lalu ke arah saya lagi, sembari mendesis. “Ssst…Ndin, bayar donk.”, menyadari saya melamun.

Saya berjalan ke kasir di pojokan sana. Mengeluarkan dompet, bersiap menyerahkan sejumlah uang.

Si Mbak kasir sudah menengadahkan tangannya, menunggu saya menyodorkan uangnya.

Namun, niat saya tertahan.

Kemudian saya tersadar.

“Mbak, saya boleh ganti sama warna baby pink aja?”

Warna kulit saya memang tidak putih seperti Hanni atau kuning langsat seperti Febi. Tapi kulit saya bukan hitam, ini sawo matang.

Dan lipstik baby pink ini? Akan saya pakai ke interview besok.

Biar mereka bilang tidak cocok. Memangnya saya peduli?

I am me. No matter what.


Perempuan dan Masak


Salahkan restoran cepat saji dan warung nasi padang kalau perempuan nggak jago masak.

Salahkan warung-warung kaki lima yang menawarkan porsi mengenyangkan plus rasa yang enak dengan harga setara jajan anak SD kalau perempuan nggak mahir masak.

Salahkan juga Ibu yang seorang wanita karir lalu menggampangkan urusan isi perut anaknya dengan masakan pembantu kalau perempuan nggak bisa masak.

Salahkan banyak hal, boleh saja.

Salahkan zaman dan tuntutan ekonomi para pedagang-pedagang makanan pinggir jalan yang mencoba mengisi kosongnya perut mereka dari lembaran-lembaran uang yang kita tukar dengan semangkok bakso atau mie ayam yang mereka jajakan kalau perempuan enggan masak.

Atau mungkin kita, perempuan, akhirnya mau dengan jujur menyalahkan diri kita sendiri?

Seperti kalimat sahabat saya, “Perempuan bisa masak itu bakat, bukan kewajiban.”

Mau setuju dengan kalimatnya?



*entah dari mana gambar ini berasal

Perempuan


Perempuan itu ya gini. Kalo nggak sanggup ya pergi. Nggak susah.

Bukan nggak butuh lelaki, tapi kalo memang harus sendiri juga akhirnya, ya mending nggak usah di awalnya.

Perempuan itu ya gini. Kalo ngerasa nggak masuk logika ya ditinggal aja. Nggak susah

Bukan nggak bakal nelangsa, tapi ya itu, kalo memang cuma bisa bikin ketergantungan trus digantungin, buat apa?

Perempuan itu ya gini. Bisa berdua bakal sangat bersyukur, terlebih kalo sangat dimanja. Tapi sendirian aja juga bukan kendala.

Perempuan itu ya gini. Kayak saya. nggak jelas apa maunya.

Jatuh cinta sama saya? Kalo sanggup boleh diterusin, kalo nggak, silahkan lambaikan tangan, ada kamera di sebelah sana, sana, dan sana.


Happy all day is holidays!


Tulisan di luar kemasan:
Masa percobaan: 6 bulan
Garansi hati: Not available