ILU

Duduk di toilet, menggoyang-goyangkan kaki, gusar menunggu.

Sudah 5 menit.

Meraih test pack, mengintip sedikit, lalu terbelalak.

Positif.

Menghela nafas, mengacak-acak rambut, mengkhawatirkan bulan depan.

Kacau.

Mencari jalan keluar, mengambil ponsel, menekan tuts.

08536031**75

Mendengar nada sambung, berharap cemas, menggigit ujung bibir bawah.

Diangkat.

Berbicara terbata-bata nyaris terisak, menunjuk Peter sebagai pelaku, lalu menggumamkan sebuah ide.

Aborsi.

Lalu kembali menekan tuts ponsel, mengirim sebuah sms, memilih nomor Randi.

“Missing you already, honey. Can’t wait for our wedding next month. Love you.”

Mengambil tas jinjing, keluar dari toilet, merapikan riasan di depan cermin.

Bernafas lega.


Karena Kamu

Karena kamu ada, maka aku merasa berdua

Jika kamu tiada, mungkin sendirian akan semakin kentara saja terasa

Walau dia, dia, dan mereka terus saja berkoar-koar di sudut telinga sana

Bahwa inilah sahabat dan seperti itu adanya, selamanya

Tapi itu semua karena kamu ada, maka kurasa ramai dunia

Walau mungkin hanya fatamorgana


Teman Itu...


Teman itu ada untuk menyemarakkan suasana, menepikan sunyi, dan membunuh sepi. Menyembuhkan luka, menyemangati putus asa, mengembalikan mood seperti sedia kala. Namun, saat teman tidak lagi ada, hanya hampa tersisa. Termanggut, di salah satu jendela berbingkai aneh, tidak petak, pun tidak bundar. Mungkin sejenis jajargenjang atau belah ketupat. Entahlah. Lupakan. Karena ini bukan soal jendela.

Teman itu ada untuk berbagi segala cerita, senang, sedih, bahagia, terluka, bahkan odol apa yang dipakai sebagai teman sikat gigi pagi ini. Begitulah teman. Menghangatkan di kala dingin. Dan menenangkan di kala resah. Namun, saat teman tidak lagi ada, untuk menemani hari-hari yang selalu berlalu sama, hanya perih terasa. Bahwa mereka mungkin telah lupa. Mungkin juga telah punya pengganti diri kita. Atau bahkan yang lebih menyakitkan, mungkin sudah terlalu muak saling bertatap muka.

Teman datang, pergi, kembali, hilang. Dalam hitungan hari, bulan tahun. Teman bukan hanya sekedar pajangan. Yang hadirnya terasa semu, yang kadang mengerti, kadang memaki. Teman itu ada, untuk membuat kita merasa nyaman dan berharga, membuat kita yakin dan percaya bahwa kita layak disanjung, layak dikasihi, layak dicintai. Namun, jika hadir seorang teman tidak lagi bisa kita rasa, apa iya harus mematri hati memaku kaki, bersumpah akan sendiri sampai dunia benar-benar sepi hingga kita terkubur mati?


Bapak?!


Malam belum begitu larut. Namun, Suratsih sudah duduk manis di atas tempat tidur kayunya. Menunggu suaminya selesai mandi. Suratsih membenarkan letak dasternya. Sudah senyum-senyum ia sedari tadi. Pasalnya ini kali pertama dia akan melayani suaminya lagi setelah kecelakaan dua bulan lalu. Tergelincir di kamar mandi. Lantai kamar mandi yang hanya disemen halus licin akibat lumut yang tumbuh. Selama sebulan Suratsih dirawat di rumah sakit dan sebulannya lagi dirawat di rumah oleh sang suami.

Pun tidak dapat mengingat apa-apa tentang suaminya, bahkan tentang dirinya, Suratsih merasa sangat dekat dengan pria yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ itu. Maka, tak elak ia percaya begitu saja bahwa Mas Hendro adalah suaminya. Tidak ada suatu keraguanpun. Walau Mas Hendro terlihat jauh lebih tua darinya. Ah, bukan suatu keanehan memiliki suami yang umurnya terpaut jauh, pikir Suratsih.

Di awal Suratsih menanyakan siapa dirinya, terdapat raut kaget di wajah Mas Hendro. Namun, perlahan raut itu mengendur. Sedetik kemudian senyum Mas Hendro tersungging sembari berkata, “Aku suamimu, Sih.”

Langkah kaki terdengar semakin jelas mendekati kamar Suratsih. Dag-dig-dug seeeer jantung Suratsih. Pipinya bersemu merah jambu. Merasa seperti malam pertama. Mungkin karena sakit amnesianya, ia merasa asing.

Pintu kamar bergeser lalu tampaklah sesosok lelaki paruh baya berperut buncit dan hanya dililit handuk sepinggang. Ia tersenyum pada Suratsih. Perempuan itu membalasnya, namun tidak dapat dipungkiri ada rasa grogi menyelusup. Perlahan Mas Hendro mendekati Suratsih, naik ke atas tempat tidur lapuk yang banyak berderit.

Sepasang mata Mas Hendro mulai jelalatan ke atas tubuh Suratsih yang masih dibalut daster. Lelaki itu meraih pundak Suratsih dan mulai menanggalkan daster Suratsih. Diam, Suratsih mematung. Lalu Mas Hendro mulai menikmati tubuh Suratsih. Diam, Suratsih masih mematung. Ia merasakan perutnya bergolak hebat. Dan tiba-tiba ia merasa sangat pusing.

Suratsih mengaduh, namun Mas Hendro acuh. Dipikirnya Suratsih menikmati apa yang sedang terjadi. Pusing itu semakin menjadi, kini Suratsih merasa kepalanya akan copot. Tak ayal Suratsih mendorong Mas Hendro ke sisi tempat tidur. Aduhannya semakin keras. Sakit sekali.

Mas Hendro bingung. Setengah ketakutan. Tidak tahu ada apa dengan istrinya. Baru saja foreplay, kenapa Suratsih sudah kesakitan begini?

Panik, Hendro lalu mendekati Suratsih. Diguncang-guncangkannya pundak Suratsih hingga perempuan itu tergeletak.

“Kamu kenapa, Sih?! Kenapa?!”, tanya Hendro penuh khawatir.

Suratsih memegang kepalanya. Masih mengaduh. Dibukanya matanya perlahan lalu ia menangkap sosok Mas Hendro tengah mengangkanginya. Juga dirinya yang sudah tidak berdaster.

Dengan kaget ia berseru, “Bapak?!”


Sebelas Kutukan


Okay, jadi saya menulis ini karena saya telah dikorbankan oleh seseorang bernama Teguh yang dengan teganya mengutuk saya dengan Kutukan Sebelas yang apabila tidak saya selesaikan, maka…

Maka…

Maka…

Sebenernya nggak bakal ada apa-apa.

#ditimpuk pake bata

Saya tertantang aja untuk menjawab sebelas pertanyaan dari temen saya ini. Tapi, Guh, saya nggak bakal buat Sebelas Kutukan baru untuk teman-teman saya yang lain. Biarkanlah kutukan ini berakhir di saya…biarkan…jangan…jangan tahan saya…jangan…

Temen-temen, saya sayang kalian…

-ENOUGH-

So, here are the Sebelas Kutukan:
 
1.      Kalau kamu adalah tokoh dari sebuah cerita novel, ingin dituliskan seperti apa dan ingin punya cerita seperti apa?

Saya selalu mengagumi Arai :)
Bukan berarti saya pengen jadi laki-laki. Saya mengagumi semangat hidupnya, keceriannya, juga optimismenya.
Untuk cerita, well, pengen keliling dunia.

2.      Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu ada dalam satu ruangan yang luasnya setengah dari tinggi kamu?
  
Ngambil hp, konek ke fb, trus update status.

3.      Tahu tentang mitos guanya Plato? Kalau iya. Tolong jelaskan.

Krik….krik…krik…
Itu soal ujian PPKn, bukan?

4.      Jika kamu seorang penyanyi, genre musik apa yang akan kamu pilih?

Rock, absolutely. Eh, tapi kayaknya keroncong juga asik

5.      Film yang paling menginspirasi hingga kini? Kenapa?
      
      I think it's A Cinderella Story yang Hillary Duff. 
     Saya sangat suka 2 kalimatnya: "Never let the fear streaking out, keeping you from playing the game." dan "Waiting for you it's like waiting for rain. Useless and disappointed."
 Ngena aja rasanya.

6.      Sudah mulai menulis dari kapan? Apa yang menyenangkan yang bisa kamu dapatkan ketika menulis?

Dari TK. Nulis a, be, ce, satu, dua, tiga. Becandut. Sejak kelas 2 SMP.
There is something when I write, seperti perasaan puas, senang, tenang, dan juga nyaman.

7.      Jika kamu boleh memilih seseorang untuk dijadikan pasangan abadimu di dunia dan akhirat. Siapa yang akan kamu pilih? Tuliskan namanya.

Ini pertanyaan menjebak, bencwi dweh eyke sama yey, cyiiin…

Mike Shinoda.
Piss off, huh?
8.      Binatang apa yang menurutmu paling pintar? Kenapa?

Kayaknya ikan deh. Soalnya banyak mengandung omega 3 yang bagus buat fungsi otak.
#eaaaa…garing
Bagi saya semua binatang itu pinter. Apalagi kalo yang halal dimakan.

9.      Jika di depanmu ada makanan dari seluruh dunia. Makanan apa yang akan kamu ambil terlebih dahulu?

Makanan Korea. Tokpokgi salah satunya. They always look so delicious on TV.

10.  Hal terbodoh apa yang sudah kamu lakukan selama hidup hingga sekarang?

Kehilangan beberapa sahabat.

11. Apa yang kamu ingin katakan kepada seseorang yang tidak pernah mau diberi nasihat? 
       
      Sak karepmu…


Happy Birthday To ME!

Pernahkah sangat menunggu sebuah ucapan dari seseorang hingga kamu susah terlelap?
Dulu saya nggak ngerti rasanya apa. But now, I did.
Dan rasanya sa.....ngat lama, Sodara-Sodara. Waktu berjalan begitu lamban. Yup. And everything gets freezing.

Tidak ribet. Hanya sebuah ucapan selamat di urutan pertama. Sebelum orang lain juga mengucapkannya. Hanya itu. Bukan kado sebesar dan semahal itu. Hanya sebuah ucapan.
Yah, tapi apa hendak dikata, bila pemilik ucapan yang 'seharusnya' pertama itu sudah terlelap (mungkin).
Ya sudah, selamat ulang tahun saja buat diri saya sendiri.
May have all the right things to do :)

Ini Cemburu


Untuk seluruh rasa yang masih saja coba kamu perjuangkan padaku. Untuk seluruh perhatian yang masih saja coba kamu berikan agar kupercaya. Untuk seluruh ketulusan yang masih saja coba kamu yakinkan untukku. Untuk waktu yang kamu bagi bersama denganku di dalam hidupmu. Kamu ingin aku mengerti.

Bahwa ini cinta.

Dan ia milikmu.

Namun, untuk segala hal yang kamu dan dia bahas bersama. Untuk segala canda yang tidak juga dapat kumengerti dimana letak kelucuannya. Untuk segala obrolan yang masih di luar jangkauanku. Untuk segala hal asing itu yang tidak juga mampu kumengerti. Untuk chemistry yang kamu dan dia pertontonkan di hadapku.  Aku ingin kamu mengerti.

Bahwa ini cemburu.

Dan ia milikku.




Aktor



Kapan kamu merasa akan cukup dewasa?

"Kenapa kamu terus mempertanyakan kedewasaanku? Toh selama ini aku rasa aku sudah cukup mampu memuaskanmu"

“Bukan itu. Nyata hidupmu tidak pernah baik-baik saja. Hal-hal kecil ini....hal-hal sepele ini selalu mengganggu pikiranmu. Menguras emosimu. Menghancurkan kita.”

"Kamu mau rokok? Sebaiknya kamu ambil sebatang"

“Aku sudah berhenti. Jauh sebelum watakmu berubah menjadi semakin keras. Dan semakin tidak bisa ditebak. Terima kasih. Tapi sepertinya kamu sudah tidak lagi bisa membedakan mana yang masa lalu, mana yang sekarang”

"Hahahahahaaha... Kamu berubah? Oh iyaaa.. kamu berubah, sayang. Kamu kini telah semakin tua. Kamu tau, saat kita bertemu umurmu sudah 40. Dan wajar kini kamu sudah semakin tua. Aku selalu mampu membedakan, sayang. Masa lalu, kamu lebih hebat dari sekarang"

"Ini bukan masalah tua. Aku berhenti karena aku menyayangimu. Ingin hidup lebih lama bersamamu. Tidak ingin kamu sendirian terlalu cepat. Aku sangat ingin berhenti karena begitu mencintaimu."

"Baiklah. Sebenarnya apa sih yang kamu permasalahkan? Kartu kreditku yang selalu overlimit? Hobiku belanja yang semakin tak waras? itu? Kini kamu mulai hitung menghitung? Ah.. atau? aku yang tak ingin punya anak darimuDengar. Aku tak ingin menjadi sukarelawan yang mengandung anakmu dalam rahimku"

"Bukan itu."

"Lantas?"

"Hobi barumu.", setengah berbisik Andra menekan setiap katanya

"Yang mana? Bukankah hobiku selalu berganti setiap saat katamu. Hobi yang mana yang kau maksud?"         

"Main berondong." Ditatapnya lekat wajah wanita yang sudah 5 tahun dinikahinya. Dingin. Penuh amarah.

"Hahahahahaaha" Suara tawa Lisa parau. Akibat rokok yang terlalu sering dicumbunya.

"Sayang, aku hanya bermain. Tak pernah bersungguh-sungguh. Ah, kenapa itu jadi masalah sih buat kamu?"

"Apa aku pernah mempermasalahkan saat kamu bermain bersama duda-duda itu? Atau bule itu, siapa dia? Ah, iya, Wilson. Apa pernah?”

"Kamu selalu terlihat menggemaskan saat sedang marah, sayang. Ah sudahlah aku letih. Ayo kita istirahat saja, atau kau ingin bermain-main dulu denganku sebelum dengkuranmu terdengar?" Lisa mengerling nakal dan jemarinya mulai menjalari tubuh Andra.

"Menggemaskan?", dicengkramnya kedua pundak Lisa.

"Aku marah, Lisa! Demi Tuhan! Jauhkan tanganmu!" Ditepisnya tangan Lisa dan didorongnya tubuh istrinya itu ke tempat tidur.

"Pa. Cukup deh main sinetronnya. Apa iya setiap malam kita harus beradegan konyol seperti ini setiap menjelang tidur?" Sudahlah. Relakan masa-masa keemasan kita pudar. Sekarang kita tak lagi laku." Lisa mulai kehilangan kesabaran.

"Relakan?", Andra mendengus.

"Relakan, kamu bilang?" Kini ia mulai tertawa.

"Baik." Tiba2 tatapannya kembali tajam.

"Relakan ini semua. Pergi....pergi kau, perempuan jalang!"

Ditariknya tangan Lisa. Lalu, tanpa belas kasihan sedikitpun, diseretnya tubuh mungil Lisa.
Seperti tidak ada cinta di hatinya sebelumnya, Andra menghempaskan tubuh Lisa ke luar kamar.

"Pergi!"

Lisa mengaduh kesakitan karena tubuhnya diseret dengan biadab dengan suaminya sendiri. Lenguhan terdengar dari mulutnya. Lisa bangkit dan berdiri. Pergi dari apartemen ini. Kali ini keputusannya telah bulat untuk meninggalkan Pria gila yang terobsesi akan ketenaran masa lalunya. Lisa capek harus berakting tiap malam. Berakting tanpa kamera. Tanpa sutradara.

"Thomas. Malam ini aku ke rumahmu, ya. Aku tak tahan lagi dengan Andra" Lisa melangkahkan kaki menjauhi apartemen Andra. Ah.. setidaknya ia akan memulai hidup baru dengan seorang produser hebat.

Masih di kamar itu, di ujung tempat tidur, Andra menatap kosong ke arah jendela apartemennya yang ada di lantai 32. Kerlap-kerlip lampu kota menemani. Andra menghela nafas. Ditengadahkannya tangannya, mengusap wajah.Di sela-sela pikiran dan emosinya yang hancur berantakan, Andra meraih ponselnya. Terdengar nada sambung setelah ia memencet beberapa digit nomor.

"Halo." Samar, suara di seberang sana menjawab.

"Thomas, aku butuh kamu malam ini."



Tulisan kolaborasi Intan Khuratul Aini dan Desrian Harleni

Cukuplah


Pun sekuat tenaga kucoba lupa, tetap saja sakit rasanya. Nyelekit. Jika saja kamu tahu, maksudku, benar-benar tahu, untuk setiap perih itu, yang kucoba tahan sempurna. Aku tidak menyalahkanmu untuk itu. Kamu hanya manusia. Juga kesepian. Mungkin aku tidaklah cukup, untuk menahanmu. Mungkin. Aku sebenarnya tidak pernah benar-benar tahu, tidak cukup tahu, apa aku cukup berarti. Setidaknya di setiap pertengkaran kita, apakah cukup hanya aku. Walaupun sepi itu datang. Apakah cukup hanya aku.

Katakanlah aku memang menyakitimu. Ya. Kita memang lebih sering saling menyakiti, tapi tidak bisakah cukup sampai disitu? Jangan kamu tambahkanlah lagi dengan sabitan lain yang tidak kalah perih. Saat kukatakan jangan, dengarkanlah. Aku hanya seorang manusia yang sedang mencoba untuk berhati. Jadi, maklumi untuk setiap amarah yang membuncah. Aku sungguh baru saja merasakan, sulitnya berhati.

Jika matahari saja bisa jengah, apalagi kamu? Ya. Aku sangat memahami sulitnya kamu. Hanya saja, mungkin ini masalah hati yang tidak kunjung kuyakini, bahwa aku bisa. Mungkin saja aku mampu. Untuk mengerti, apa yang kamu perjuangkan adalah nyata. Dan pasti. Masih terlalu absurd untuk kubisa. Katakanlah aku hanya harus menerima. Tidak, itu katamu. Cukuplah aku menerima. Semua yang kamu beri. Cukuplah aku memasung kaki. Bersamamu. Agar aku tidak bisa melangkah. Kemanapun. Selain di sampingmu.

Tapi apa sekarang itu cukup? Jika perihnya begini nyelekit.

Apa cukup jika hanya ada aku?



Kelapa Muda Si Okto Nomor 10


Kamis lalu, setelah selesai dengan urusan tetek-bengek wisuda yang datangnya baru minggu depan, di saat saya merasa sangat lelah juga bau –harus mengantri tepat di bawah terik matahari yang menyebabkan badan saya keringetan juga hari yang sudah kesiangan dimana berarti wewangian yang saya pakai pasti sudah berkurang aromanya-, saya memutuskan menginginkan sebuah kelapa yang masih muda yang airnya bisa saya seruput untuk melegakan dahaga dan dagingnya yang masih lunak bisa saya ciduk untuk meredakan secuil rasa lapar saya yang membahana seantero perut.

Saat pantat saya sudah nemplok di kursi plastik berwarna hijau, seorang pria paruh baya menghampiri saya, menanyakan pesanan saya. Maklum, dia tidak hanya menjual kelapa muda, namun juga es campur, es dawet, es rumput laut, juga minuman menyegarkan lainnya.

Saya memesan kelapa muda tanpa tambahan sirup atau gula, hanya sedikit perasan jeruk nipis. Juga es batu terpisah agar bisa saya taruh sendiri sesuai selera. Setelah menunggu tidak lebih lama dari mengantri di KFC saat sedang jam makan siang, pesanan saya datang. Sebuah kelapa muda yang masih bulat, hanya bagian atasnya yang dipotong agar bisa diseruput airnya dan diciduk daging lunaknya, datang. Namun, bukan si Bapak yang mengantar pesanan saya, melainkan seorang bocah lelaki.  Seorang bocah lelaki memakai jersey merah tim sepakbola Indonesia. Di punggungnya tertera nama pemain asal Jayapura –Okto- dengan nomor punggung 10.

Mari saya ceritakan sedikit perawakan bocah lelaki ini.

Bocah ini berjenis kelamin laki-laki. Dari mana saya tahu? Jangan asal nuduh, saya nggak sampai menodongkan pisau dan memaksanya buka celana. Usianya mungkin 10 tahun, berkulit gelap, berkepala plontos, tinggi badannya kira-kira satu meter. Dia datang dengan berjinjit karena takut kepala yang dipegang dengan kedua tangannya itu tumpah. Mungkin sebuah kelapa untuk bocah berumur 10 tahun masih terbilang berat. Begitu dia sampai di meja saya, dengan hati-hati dia meletakkan kelapa muda itu. Perlahan. Lalu, setelah kelapa muda itu sukses didaratkannya di atas meja saya, tanpa melirik, dia langsung pergi.

Lagi, dia datang menghampiri meja saya, meletakkan piring tersebut, namun kali ini, sebelum dia pergi, dia melirik saya sekilas. Saya mengucapkan terima kasih, namun dia tidak membalas. Bahkan segaris senyum saja tidak saya dapatkan sebagai balasan.

Di sela-sela saya menikmati kelapa muda yang sudah saya perasi dengan jeruk nipis dan saya tambahkan sedikit es batu, saya memerhatikan bocah lelaki itu. Dia masih sibuk mengantar pesanan-pesanan pelanggan lainnya, masih tanpa senyum tersungging. Entahlah, mungkin ia hanya terlalu lelah harus membantu bapaknya berjualan. Saya masih terus mengedarkan pandangan mengikuti kemana bocah lelaki itu melangkah. Ada rasa yang beragam memenuhi rongga hati saya. Kagum, terenyuh, menyesal, mengutuk, memuji.

Kagum, untuk semangatnya mengantar berpuluh-puluh pesanan dengan sangat hati-hati ke setiap meja yang terisi.

Terenyuh, untuk anak seusianya dapat merelakan waktu bermainnya berkurang demi membantu sang ayah berjualan.

Menyesal, untuk saya yang sudah begitu manja selama ini.

Mengutuk, untuk saya yang selalu merutuk setiap Ibu meminta saya melakukan sesuatu. Bahkan, hanya untuk sekedar merapikan tempat tidur saya sendiri.

Dan memuji, untuk setiap keikhlasan tanpa senyum yang ia tunjukkan pada saya. Mungkin juga pada pengunjung lain.

Hari beranjak sore. Badan sudah sangat bau. Saya tahu saya harus pulang. Maka, saya bangkit dari kursi yang saya duduki, berjalan menghampiri si Bapak yang tengah membelah kelapa muda, menanyakan total yang harus saya bayar. Si Bapak kemudian meminta anaknya mengambil uang kembalian di laci gerobaknya. Saat saya menyerahkan selembar dua puluh ribu, lalu bocah lelaki itu menyerahkan selembar sepuluh ribu sebagai kembalian, saya mengucapkan lagi, “Makasih ya, Dek.”, dengan sejumput senyum, memasukkan uang kembalian ke dalam dompet. Tidak berharap.

Tanpa aba-aba, tanpa saya duga, segurat senyum tergambar di wajahnya. Lalu, dengan tatapan malu-malu dia berujar, “Iya.”

Ah, ntah kenapa, adem hati saya rasanya.


Dulu 28. Sekarang 30.


Well, sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis ngalur-ngidul kesana-kemari naik-turun gunung Kidul dengan kepala gundul dan perasaan amburadul.

Hari ini, saya niatnya mau ke rumah sahabat saya jam 9. Teng. Namun, apa daya kupu-kupu tak mampu kutangkap, saya ngaret setengah jam. Begitu nongol di rumah sahabat saya itu, dengan tampang sangar dia langsung berujar, “Heh, bilang jam 9!”, sambil tangan kanannya memegang gelas berisi ekstrajos. Dia sungguh terlihat seperti kuli-kuli di iklan itu yang menghiasi televisi di sela-sela sinetron Kupinang Kau Dengan Bismillah yang ditonton ibu saya di kala malam merajai hari dan remote tv dikuasai beliau.

Ya. Saya adalah korban tak kasat mata dari sinetron-sinetron yang dicekoki oleh Ibu saya lewat mata saya.

Lupakan itu.

Lalu, saya dan dua sahabat saya berangkat menuju kampus, RKU* 1, tepatnya. Untuk apa? Biasa, kuliah. Itu kan kerjaan mahasiswi baru angkatan 2011?

#dilemparin bata

Saya mau daftar untuk wisuda tanggal 24 besok. See? Akhirnya saya lulus juga! Hurrraaaay….!!!!

Maafkan, ini hanya euphoria sementara sebelum menghadapi realita setelahnya bahwa saya adalah pengangguran terbaru di tahun ini. Cih. Miris sekali.

Tapi ternyata, saya belum bisa mendaftar. Alasannya? Yah, itu cukup menjadi rahasia saya dan petugas itu. Cukup.

Jangan tanya lagi! Yang jelas saya punya uang. Juga selembar pas foto ukuran 4x6 yang menjadi syarat untuk mendaftar.

Akhirnya, karena ke-geje-an itu, saya dan dua sahabat saya memutuskan untuk duduk sejenak di kantin kampus. Sekedar menghilangkan penat sembari mengobrol. Sudah lama sekali rasanya ketika terakhir kali kami duduk bersama dan mengobrol soal ini-itu.

Ya. Mereka adalah sahabat saya semenjak di bangku SMU. Tepatnya sejak 2003. It’s been a long time that we’ve been together. Yup. I love them so.

Umur sudah 20-an. Sudah selesai kuliah. Pembahasan tidak akan jauh-jauh dari pernikahan, mahar, dan pekerjaan. Ah, pembahasan yang dulunya, tepatnya setaun lalu masih sangat-amat saya hindari, kini harus saya hadapi. Gimanapun, suka atau enggak. Waktu terus bergulir dan kita akan menua. Itu pasti. Maka, saya pun mulai mencoba menikmati pembahasan ini yang sudah sedari bertahun-tahun lalu selalu menjadi topik terhangat di antara sahabat-sahabat saya itu. Antuasisme yang luar biasa dari mereka di kala SMU, seingat saya, ketika membahas mengenai pernikahan.

“Aku di umur 23 pengennya.”, saya lupa siapa yang mengungkapkan itu, mungkin Fannia.

“Sama, aku juga pengennya di umur segitu.”, timpal Eva, mungkin.

“Aku 24 dong!”, celetuk Ika semangat.

Fannia udah. Eva udah. Ika udah. Dan jam istirahat masih lama selesai.

“Kamu, Len?”

“28”, santai saya jawabnya.

“Apa-apaan? 28 itu udah ketuaan.”

Lalu satu persatu mulai menasehati saya. Tepatnya menyadarkan saya karena mereka menganggap saya sudah tidak waras.

Lalu, waktu bergulir. Membawa kami ke babak hidup yang berbeda. Ke fakultas yang berbeda. Ke teman-teman yang berbeda. Hidup sudah tidak lagi sama. Tidak ada lagi PR yang bisa saya salin atau jawaban ulangan yang bisa saya contek.

Tiba-tiba, kami sudah duduk disini, saya lupa dimana tepatnya. Mungkin di dalam mobil Fannia saat itu. Yang jelas kami membahas ulang topik itu. Pernikahan dan umur.

“Ah, aku kayaknya nggak mau kalo 24. Kecepetan. Ini aja baru selesai kuliah. Kan pengennya kerja dulu, nikmatin duit sendiri dulu. Kalo udah puas, baru mikirin married. Kayaknya 26 atau 27 deh.”, sahut Eva  di kala itu.

“Iya, Va, aku juga deh kayaknya. 26 pas itu. Ini kan masih 23 dan baru tamat, abis ini cari kerja. 3 taun dirasa cukuplah untuk nikmatin waktu sendiri.”, Ika menimpali.

“Fannia juga. Tapiii…masih pengen sih nikah muda.”

Lampu lalu-lintas berganti merah. Fannia menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Fokus mereka terpusat, ke arah saya. Dunia terasa akan kiamat.

“Kamu…Len?”, saya lupa siapa yang bertanya, namun ada penekanan di setiap katanya.

“30”

“Naik lagi?”, Fannia histeris.

“Len, 28 aja, kenapa?”, Ika membujuk.

Eva geleng-geleng pasrah.

Saya? tersenyum simpul sambil memandang ke luar jendela mobil.

Lalu satu persatu dari mereka mulai menasehati saya lagi. Tepatnya MEMAKSA saya untuk sadar dari ketidakwarasaan yang menurut mereka semakin parah saya alami.

Matahari begitu terik dan banyak kendaraan lain berseliweran.


Inti dari tulisan ngalur-ngidul ini adalah:
“Marilah telat menikah.


*Ruang Kuliah Umum



Hujan Kali Ini


Hujan. Masih teringat jelas di benak saya, kala kecil dulu. Hujan adalah euphoria untuk dinikmati bersama kedua abang saya. Ya. Apalagi kalau tidak berlari-lari di bawah guyuran hujan –mandi hujan, begitu disebutnya, berguling-guling di kubangan air hujan –main becek, begitu istilahnya. Hujan dapat menjelma menjadi rasa suka cita dan senyum selebar lapangan bola karena ternyata hari ini tidak perlu ke sekolah.

Namun, pernahkah hujan dianggap berkah yang disambut dengan rasa syukur dan kegembiraan yang tiada tara di usia seperti ini? Di saat beban pikiran semakin menumpuk, masalah yang datang tidak lagi sekedar bisa diselesaikan dengan sebuah kata “maaf” atau dilupakan begitu saja. Hujan bukan lagi sebuah euphoria yang diiringi teriakan kegirangan.

Hujan dapat menjadi alasan untuk sesal yang tiba-tiba mencuat karena janji yang tidak bisa dipenuhi.

Hujan dapat menjadi emosi mengupat-merutuk-memaki karena planning yang sudah diatur sedemikian rupa berantakan jadinya.

Hujan dapat menjadi cemas-resah-gelisah karena tidak dapat berjumpa dengan kekasih.

Bahkan belakangan, hujan dicurigai menjadi penyebab utama tingkat kegalauan seseorang. Baru gerimis saja sudah galau. Mengapa harus mengaitkan hujan dengan sebuah perasaan yang tidak jelas seperti itu? Ah, saya tidak ahli dalam menjabarkan hal itu.

Well, ini hujan. Saya sedang tidak memiliki janji dengan sesiapapun, sedang tidak emosi karena planning saya hancur berantakan, sedang tidak cemas karena tidak dapat berjumpa dengan kekasih. Bahkan, yang paling penting, saya sedang tidak galau.

Walaupun dari balik jendela, saya akan menikmati hujan kali ini, mengenang masa kecil saya. 

Tapi, somewhen, saya akan mengulanginya. Somewhen. With someone. :)



Sepiring Lontong Dan Sepotong Rindu

Aku merindukanmu. Tidak tahukah kamu? Ya. Kamu memang tidak tahu. Karena rinduku masih saja biasa. Sederet pesan saling berbalas. Sudah cukuplah. Tapi tahukah kamu, ini kali pertama aku merindukan seseorang seperti ini? Ah, aku rasa kamu juga tidak tahu. Karena lagi-lagi aku tidak berani mengungkapkannya. Rindu ini terbilang biasa. Sederet pesan saling berbalas. Sudah cukuplah.

Kadang, kuharap kamu tahu, tidak banyak yang kuminta saat aku merindu. Tidak perlulah sampai bertemu muka, rinduku belum sedahsyat itu. Tidak sehebat itu. Masih terbilang biasa saja. Aku hanya perlu kamu temani sekejap. Lewat sederet pesan saling berbalas. Juga kata sayang yang sering kamu lantunan. Cukup sederhana kan?

Namun, rindu yang biasa ini entah kenapa tiba-tiba berubah menjadi hambar. Ya. Aku tahu. Kamu tidak tahu. Karena tidak pernah terucap dari bibirku, menggema namamu, mengatakan aku merindukanmu. Wajar kamu meninggalkanku. Bukan salahmu.

Rindu yang hambar. Sepiring lontong yang berantakan. Aku sesenggukan. Bukan menggalau. Hanya merutuk, bahkan merindukanmu saja bisa sebegininya. Aku yang begitu sulit, atau rindu ini yang tidak pernah cocok denganku? Entahlah.

Hambar sudah. Hilang selera.

Maka, aku pun menyudahinya. Rinduku untukmu. Yang biasa saja ini. Terasa semakin biasa.

Dan aku semakin malu untuk mengakuinya.

Juga lontong yang mendadak ikut terasa hambar.


Sajak Gerbang Matahari

Pernahkah kamu mendengar tentang Gerbang Matahari? Sebuah bangunan kokoh dari batu berusia ratusan tahun. Bangunan asli peninggalan suku Inca.

Aku pernah mendengarnya sekali, tatkala malam mulai beranjak sepi dan kegelapan mulai menguasai. Dalam diam dan hening, aku mendengar Bulan berbisik dalam ceritanya. Mengenai Gerbang Matahari. Aku terkesima. Sajak yang dilantunkannya sungguh indah. Sesekali di sela sajaknya ia menghela nafas, mengatur ritma, dan menggumam doa.

Masih dalam diamku Ia terus bergumam. Bahwa Gerbang Matahari ada untuk siapa saja yang percaya bahwa alam punya ruang tersendiri untuk saling terkoneksi. Sebuah ruang yang mengarah pada sebuah lorong sempit dimana teleportasi diyakini terjadi. Lorong sempit itu dinamai Lubang Cacing. Lorong penghubung antara bumi dengan dimensi lain.

“Jika kamu merasa bumi sudah tidak lagi bersahabat untukmu, maka pergilah ke Gerbang Matahari.”, bisik Bulan pelan.

“Kemana ia akan membawaku?”, sebersit tanya mencuat tanpa aba-aba.

“Venus.”

Hening.

Aku masih mengulum ujung bibir. Namun Bulan tampaknya sudah bosan. Mungkin Ia merasa lelah harus setiap malam mendendangkan syair sebelum tidur kepada orang-orang yang putus asa. Orang-orang yang berharap akan ada keajaiban di ujung sana, sekali saja, untuk hidup mereka. Orang-orang yang berharap bumi bukanlah persinggahan terakhir sebelum mereka mati dan dilupakan. Hanya orang-orang ini yang dapat mendengar sayup-sayup bisikan Bulan.

Maka, kukatakan kepada Bulan, “Beristirahatlah dari sajakmu.”

Kuberikan selimut usangku padanya. “Terlelaplah.”

“Biarkan aku yang melanjutkannya. Agar orang-orang yang kesepian itu tidak pernah kehilangan harapan.”


Bukan Tidak Pernah

Merinduimu bukan perkara gampang. Aku perlu mengorbankan logika juga harga diri. Serta ego yang selama ini merajai. Rentang waktu yang panjang di hidupku dimana kamu tidak ada benar-benar terasa kosong dan melompong. Seharusnya kamu bisa ada disana, di sepersekian rentang waktu itu, walau hanya sebentuk pesan singkat menanyakan kabar. Tidak perlu wujud nyata dengan senyum seringan flu di kala dingin. Begitu sepele namun mengganggu.

Mengharapkan secara ajaib kehadiranmu di depan pintu rumahku sudah berulang kali coba kudemolisi. Bukannya apa, hanya saja asa itu semakin membunuhku nyata-nyata. Aku tidak berharap sebuket mawar dan sekotak coklat, juga kartu ucapan “I Do Miss You” terselip di antara kuntum mawar. Cukuplah jaket jersey klub favoritmu dan wangi cologne-mu menyeruak masuk ketika pertama kali aku membuka pintu. Begitu kamu dan menyusahkan tidurku.

Bukannya tidak merinduimu. Hanya saja tidak pernah terucap. Masih terlalu malu mengucap “Aku merinduimu”. Dan rindu ini belum pernah sehebat rindumu. Hanya cukup sederet pesan saling berbalas melalui ponsel. Cukup dengan itu. Maka, rinduku sudah terbebas. Hilang. Tidak berbekas.

Hanya Bosan

I don't wanna say even a single word.
I'm just bored.

Ini bukan foto saya waktu kecil. Wah, sumpah. Saya nggak seimut ini waktu kecil dulu.
Suweeeeeer.....

Senjamu yang Bukan Milikku


Untukmu yang senjanya selalu menjadi milik orang lain. Tidak ada satupun alasan yang bisa kujadikan senjata untuk tetap menahanmu disini saat sore berganti menjadi senja. Walau sejuta rindu kugumamkan, tetap saja senjamu tidak pernah menjadi milikku.  Kesepian ini membuncah. Senjaku tanpa kamu, hampa.

Untukmu yang senjanya selalu kamu habiskan bersama orang lain. Tidak tahukan kamu, bahwa aku meminta matahari menghapus senja dari sistem hariku? Untuk apa senja jika kamu tidak ada untuk kulewatkan bersama? Untuk apa kuperlukan senja jika yang tertawa bersamamu adalah dirinya? Senjaku tanpa kamu, absurd.

Untukmu yang senjanya belum juga bisa kumiliki. Aku selalu berharap, di suatu saat nanti, bukan hanya pagimu yang kamu berikan untukku. Bukan hanya kecupan selamat pagi setelah terlelap yang kuimpikan akan menjadi milikku, namun juga kecupan selamat malam, menghantarkanku ke alam mimpi. Senjaku dengan kamu, berwarna.

Untukmu yang senjanya telah kamu gantung di pundaknya. Tidak mengapa jika senjamu itu tidak akan pernah menjadi milikku. Masih ada pagimu yang bekunya akan kamu hangatkan. Juga siangmu yang teriknya akan kamu ademkan. Dan soremu yang senjanya telah kuhapus dengan sengaja.

Untukmu yang mencintaiku setelah kamu mencintainya. Terima kasih. Meski senja itu tidak akan pernah ada di hariku.

Menunggu

Aku hanya ingin menunggumu. Tanpa pernah sekalipun memberitahumu bahwa aku menunggumu. Aku hanya ingin tahu, seberapa sering kamu mengingatku. Seberapa hebat aku di ingatanmu. Dan seberapa menganggunya aku di pikiranmu. Hanya itu.

Maka, aku hanya ingin menunggumu. Sembari berharap, kamu akan mengingatku. Lalu sebuah pesan masuk ke ponselku. Darimu, menanyakan aku :)


Midnight-Suicide-Message

15/10/2011
03:31:32 AM
Mau bikin ini lebih buruk?

<No Reply>

15/10/2011
03:49:40 AM
Udah 3 kali aku mencoba bunuh diri.
Makasih, aku nggak tau untuk kali ini.
I Love You...

<No Reply>

Bunuhlah dirimu jika kamu merasa itu perlu. Aku tidak akan menahanmu. Kamu tahu kenapa? Bukan. Bukan karena aku tidak peduli padamu atau rasa ini sudah berkurang separuhnya. Tapi lebih karena aku tidak membutuhkan sosok sepertimu, yang selalu berdalih bunuh diri adalah jalan atas segalanya.

Bunuhlah dirimu dan tinggalkan aku disini dengan sejuta penyesalan. Tidak mengapa. Aku akan menelan mentah-mentah semua penyesalan itu. Tidak mengapa. Muntah pun jauh lebih baik. Lebih baik seperti itu. Karena kepengecutanmu memuakkanku. Merangkak mengais tanah untuk bisa keluar dari mimpi buruk itu pun aku rela. Lebih baik seperti itu.

Jika mengatakan rasa itu nyata untukku. Jika menyatakan kamu mencintaiku. Jadilah seorang pria. Bukan seorang ababil yang selalu menyalahkan keadaan.

Ini Cemburu

Well, inilah cemburu.

Mungkin kamu percaya hatinya milikmu. Mungkin sudah berjuta kali dia ungkapkan bahwa kamu adalah satu-satunya. Namun, ragu itu masih saja ada. Khawatir itu masih saja tersemat. Di balik semua rasa yang kamu pertaruhkan. Inilah cemburu. Untuk setiap cerita mengenai ia dan orang lain. Untuk setiap tawa renyah yang ia perdengarkan padamu karena orang lain. Sekali lagi, inilah cemburu.

Rasanya seperti sakit gigi. Dicabut sakit, nggak dicabut cenat-cenut sendiri. Ingin mengatakannya, kau hanya takut semua berakhir runyam. Tidak dikatakan, perih ini nyelekit sampai ke rongga terkecil. 

Well, inilah cemburu.