Rindu Buah-Buahan Masa Kecil

Let's talk about childhood...

Masa kecil saya terbilang cukup indah. Lingkungan saya pada saat itu masih hijau dan mempunyai banyak tanah kosong untuk bermain, termasuk halaman rumah saya sendiri. Saya termasuk ke dalam golongan anak-anak kecil yang masih bisa menikmati indahnya kartun di pagi Minggu dan bermain permainan tradisional di tiap sore hari, seperti engklek, lompat tali karet, kelereng, patok lele, krim, sembunyian, main godok, bongkar pasang, dan masih banyak lainnya –yang sekarang tergantikan oleh bermacam alat canggih dan kadang menurut saya sebenernya…useless untuk anak-anak.

But, time has changed brutally.

Anak-anak sekarang dicekoki dengan segala keinstanan yang bisa dengan mudah mereka dapatkan. Dari mulai bubur sampai kedewasaan.

Di antara sederetan masa kecil saya yang indah, ada yang paling saya rindukan, yaitu buah-buahan yang dulu mudah saya dapatkan di sekeliling saya. Tinggal manjat. Paling lecet-lecet dikit.

Apa saja? Here they are....

Jambu Mawar
Saya gak tau apa bener namanya. Dulunya ada dua pohon jambu mawar di halaman rumah saya. Batangnya tinggi sehingga asik untuk dipanjat dan berbuah sangat lebat. Jambu ini berwarna merah muda (pink) dan rasanya sedikit asam, namun akan sangat manis jika ada yang berwarna merah hati –tapi ini jarang dan biasanya yang berwarna seperti itu adanya di pucuk pohon.


Jambu Air
Rasa buahnya manis dan agak kelat. Akan sangat manis bila buahnya sudah berwarna merah tua kecoklatan. Sesuai dengan namanya, jambu ini kandungan airnya banyak. Sehingga bisa menyebabkan perut kembung kalo makan kebanyakan.


Jambu Air Putih
Pohonnya masih ada di belakang rumah. Tapi sayang udah jarang berbuah karena usianya yang sudah tua. Pohon jambu ini sudah ada sejak zaman Bapak saya masih kecil. 



Jambu Bol
Buahnya sangat asam namun jika sudah berwarna merah hati akan berubah menjadi sangat manis. Letak pohon jambu ini di dekat pagar depan rumah. Saya paling suka bunganya, warnanya meriah.



Jambu Botol
Letak pohonnya di sebelah jambu bol. Buahnya putih dan asam, kadang-kadang jika sudah sangat tua, bisa sangat manis.


Jambu Biji (Guava)
Pohonnya tepat di depan teras rumah saya. Buahnya besar-besar dan daging buahnya berwarna putih. Rasanya manis. Tapi sayang tiba-tiba saja mati.


Jambu Monyet
Adanya di halaman tetangga depan rumah saya :)) Pohonnya besar namun landai jadi enak buat dipanjatin sambil gelantungan duduk-duduk sama temen. Saya kurang suka buahnya karena rasanya kelat.


Rambutan Hutan
Saya rasa anak yang lahir di era 90-an gak mengenal buah ini. Dulu, buah ini gampang saya temui pada semak-semak di lahan kosong ataupun di pagar rumah. Gak jelas kenapa dinamai rambutan hutan ketika isi dalamnya lebih mirip markisah. Saat muda warnanya hijau dan akan berubah kuning/oranye saat tua. Rasa buahnya manis.


Kersen
Dulu saya menyebutnya ceri. Iya, ceri. Saya kira ini ceri yang sering dijadiin hiasan di kue-kue ulang taun itu. Lalu saya bertanya dalam hati, menerka-nerka, kalaulah memang ini ceri yang di kue-kue ulang taun itu, kenapa ukurannya kecil dan kenapa ceri yang di kue-kue ulang taun itu harganya mahal? Kenapa gak petik aja di pohon? Kenapa harus beli? Dan kenapa-kenapa yang masih banyak lagi. *iye, absurd emang anak kecil udah mikirin begituan*

Tapi ketika dewasa saya harus menghadapi kenyataannya, bahwa nama asli buah ini adalah kersen. Rasanya manis dan terasa seperti berpasir di lidah karena bijinya yang banyak dan berukuran sangat kecil.


Mangga
Seinget saya ada 5 jenis pohon mangga dulunya di halaman rumah saya -golek, cengkeh, gadung, dan dua lagi yang saya gak tau namanya. Yang buahnya akan dijual ke pedagang mangga. Pohonnya besar-besar dan tinggi-tinggi. Yang kalo malem terlihat sangat menakutkan.



Ara
Ini bukan kakak Agil di lakon Keluarga Cemara yang sontreknya “Selamat pagi, Emak. Selamat pagi, Abah.” itu. Tapi nama buah. Iya, buah ara ini ternyata bisa dimakan, tapi sayangnya saya telat nyadar dan pohonnya udah keburu dipotong. Dulunya tumbuh di halaman belakang. Pohonnya besar dan berbuah sepanjang musim.


Sekian dulu postingan rindu buah masa kecil -yang lebih mirip artikel majalah Trubus. Kalo saya pengen buah-buahan itu sekarang, saya terpaksa mendapatkannya dengan uang –iya, beli di pasar tradisional. Nyak-nyak disana kadang ada yang menjualnya dengan jumlah terbatas. Maksudnya jumlah terbatas, kadang hanya ada sekantong kecil, itu juga dari kebun sendiri.

Ada yang juga rindu buah di masa kecil? Boleh di-share :)

HBD, WYATB, GWS



Singkatan atau akronim memang sengaja dibuat untuk mengefektifkan penggunaan huruf. Singkatan memang ditujukan agar lebih mudah diingat. Namun belakangan ini, sejak jejaring sosial mulai mengglobal, singkatan dipakai untuk kemalasan dalam ketulusan sebuah ucapan.

Seperti apa singkatan-singkatan itu?


HBD

Kepanjangannya adalah Happy Birthday atau Selamat Ulang Tahun.
Saya sebel kalo harus nerima ucapan yang cuman 3 huruf kapital itu. Karena apa? Karena buat saya, ucapan selamat perihal hari lahir itu sakral maknanya. Saat hanya diwakilkan oleh 3 huruf, esensinya berkurang dan saya merasa orang yang mengucapkannya ya seadanya aja, gak niat sebenernya. Kebetulan aja nih nemu ada yang ulang tahun, diucapin deh.

Dan saat orang menuliskan HBD, yang ada di otak saya cuma 2 hal, 1) hb darah atau hemoglobin dan 2) Diabetes. Hubungannya dimana? Saya juga gak tau.


WYATB

Singkatan ini biasanya dipadankan dengan singkatan yang di atas, HBD. Kepanjangan dari singkatan ini adalah Wish You All The Best atau “semoga diberikan segala yang terbaik untukmu”. Super sekali sebenernya *ini kenapa jadi MTGW?* *MTGW apa lagi?* *apa?*

*MATI*

Wish you all the best adalah sepaket doa komplit yang sebenernya sudah sangat sederhana untuk diucapin. Yah kalo biasanya kan ucapannya," semoga cepet ini", "semoga cepet itu", "bla...bla...bla..." ini kan langsung semoga yang terbaik. Sudah sesingkat itu, kenapa masih harus disingkaaaaaat?

Dan WYATB itu buat saya terbacanya itu malah aneh, New Kid On The Block *ketauan saya dari era berapa* atau terbaca "What the f*ck....".
Temen saya, Rudi, membacanya “Way To Go Bud”.

It sucks, right?


GWS

Ini singkatan yang paling annoying menurut saya. “Get Well Soon” atau “semoga cepet sembuh”. Baik kan ya dong ucapannya? Doa gitu. Buat orang yang sedang sakit. Dikit-dikit sakit, GWS. Udah gak boker 5 hari, GWS. Yah, apapun itu lah yah…sah-sah aja.

Tapi jadi sangat kampret menyebalkannya saat ada yang ngetwit sakit lalu diritwit GWS, saya malah terbaca GoWeS.

Contoh twitnya kayak gini:

Terbaca: “Makasih, gowesnya.”


Terbaca: “Kaki makin parah sakitnya.” “Gowes ya :)”


Terbaca: “Gowes my mom.”*pake icon love


Terbaca: “Papa, gowes ya.” *dengan emot cium*




Parah? Sangat. Iya, tau. Saya yang parah. Gak bisa mengakselerasikan akronim tersebut dengan kepanjangannya. Tapi......

There are some words left unsaid. But there are so many words that have wonderful meaning if you just let it be as it.

Segitu aja dulu. Mungkin ada yang punya singkatan lain yang sedang cetaaaarrr ulala?

Si Ide Minggat



Udah lama saya gak nulis. Udah lama gak mainin jemari di kibor ini. Udah lama saya gak tenggelam. Mungkin karena itu si Ide ngambek. Saya cuekin. Gak saya peduliin. Eh, pas saya lagi butuh dianya gak ada. Saya cari kemana-kemana. Gak ada. Saya teriakin pake toa mesjid. Gak ada. Saya helpless. Akhirnya saya mensyen dia di twitter. Eh, dia nyaut. Dia bales mensyenan saya. Dia bilang dia lagi di Medan. Owalaaaah…cilako!

Iya sih, saya salah. Saya ngaku. Tapi kan dia gak bisa semena-mena gitu juga ninggalin saya tanpa pesan. Apa arti kedekatan kami selama ini? Dimana rasa saling memiliki? Saya sedikit kecewa sama dia. Tapi ya udahlah ya…saya juga salah. Udah mencampakkan ia layaknya barang yang tidak lagi berguna. Maafkan saya, Ide…

Saya udah transferin duit dan nyuruh dia pulang naik bus malem ini. Iya, saya tau. Saya emang majikan yang kere. Tapi saya baik loh. Beneran, bukan enelan. Sumpah, bukan cumpah.

Semoga si Ide gak ngambek lagi dan nurut sama saya.

Sampai ketemu di tulisan yang lebih jelas bentuknya….
*dadah-dadah dari dalam limousine


Menjemput Bahagia



Bahagia itu butuh egois. Memang harus ada orang yang merasa menderita di bawah kebahagiaan kita. Terlepas itu nyata atau tidak. Masalahnya sekarang adalah, untuk apa menjadi Lala di dalam sinetron Bidadari jika kebahagian yang dimaksudkan adalah menekan perasaan mengandalkan air mata?

Bahagia itu butuh perjuangan. Kadang memang caranya menyakitkan. Tapi ingatlah ada waktu sebagai penawarnya. Bahagia itu tidak dengan pengorbanan menusuk hati lalu menyayat sembilu, meringis pedih lalu menyudutkan diri. Jangan buang energi untuk ke semua sakit yang kamu tahu asalnya dari siapa.

Bahagia itu bukan menghamba-pasrahkan diri pada sosok yang dihormati. Bahagia itu ketika hati mampu menggerakkan senyum di bibir lalu berucap syukur ikhlas pada Ilahi. Jangan terlalu terpaku pada restu ataupun pengabdian diri. Jangan biarkan hantu masa lalu menekanmu hidup-hidup. Terus-menerus.

Ada saatnya kamu bangkit dari semua lumpur yang sengaja dibalutkan ke kulitmu oleh orang yang kamu hormati.  Kamu harus tahu saatnya memilih –di antara yang memberikanmu kebahagian sejati atau hanya semu. Jangan lagi mengintimidasi diri sendiri dengan segala kicau buruknya tentangmu. Kamu harus tahu, Ka, kamu cukup berharga untuk bahagia.

Iya, kamu, Ka. Sudah saatnya menjemput bahagiamu.


C.H.E.E.R.U.P :)




Aku sudah harus berjalan lagi, setelah sebelumnya terhenti.

Hidup.

Bagaimana aku memprediksinya? Jika ketetapan hanya milik Sang Pencipta. Aku mungkin punya rencana walaupun tidak semua tersusun rapi seperti buku-buku di dalam rak lemari. Tetapi tidak ada yang bisa memberitahuku, akan seperti apa rencana-rencanaku itu. Selain waktu.

Ya. Menunggu.

Aku percaya di balik semua rencana yang tidak Ia setujui menjadi nyata, Ia punya rencana yang jauh lebih pantas untukku. Hanya saja semuanya butuh proses kan? Dan proses adalah berlalunya waktu. Aku butuh merasakan kegagalan demi kegagalan ini, aku butuh diingatkan, aku butuh merasa membutuhkan-Nya. Dan pada akhir proses segala, semua akan berpulang pada-Nya.

Aku menyerahkan semua mimpi-mimpiku pada-Nya.

Bukan pasrah. Bukan. Malah harus lebih berani berharap jauh lebih tinggi lagi. Jika sketsa mimpiku yang segini saja enggan Ia lukis di dalam nyata, pasti aku pantas untuk di tempatkan di sketsa yang lebih indah.

Bersemangat :)




Love Was, Love Is


Via sesenggukan di sudut tempat tidur. Disesapnya rokok dengan tergesa.

“Gue gak bisa, Rin…”, tangisnya pecah. Abu rokoknya berhamburan ke lantai. Aku beringsut mendekatinya.

“Dulu…dulu itu, indah banget! Everything was so perfect! Ben itu laki-laki yang paling cocok, yang paling bisa bikin gue bahagia. Dia…dia…”, tersengal, nafas Karin diiringi batuk oleh sesaknya asap rokok.

“Setelah gue hamil, he said he wasn’t ready. Fuck. Gue ngerasa tolol saat itu. But damn, I can’t stop loving him, Rin… Dia…dia tinggalin gue gitu aja. Gue coba tegar. Gue harus tetep hidup demi anak itu. I love him so much, Rin. And I love his baby too…

Aku meraih pundak Via dan menariknya ke pelukanku. Kubiarkan kepalanya di pundakku dan isak tangisnya pecah.

“Lu tau apa, Rin? Lu tau…”, Via mengangkat kepalanya. Ia menyeka air matanya.

“Setelah 2 bulan, gue keguguran…gue keguguran, Karin! Tapi Ben tetep gak mau balik sama gue.” Kutatap lekat sepasang mata Via yang sembab dan berair. Sudah tidak tidur beberapa malam, sepertinya.

“Dia bilang gue sampah. Iya. Sampah. Semua perempuan yang udah pernah dia tidurin dan dia buang, gak akan sudi dia kutip lagi. Bego ya gue, Rin?”

Aku masih menatap lekat sepasang mata coklat Via.

Dan diam.

“Gue hancur, Rin…gue pengen mati. Tapi gue terlalu takut…”

Tirai jendela yang masih tertutup rapat. Cermin yang telah pecah menjadi kepingan.

Sekali lagi aku menatap sepasang mata coklat milik Via. Sembari tersenyum, meraih isi tasku. Lalu memberikannya pada Via.

- - -

“Siapa, Ben?”, tanyaku saat Ben menolak panggilan masuk di ponselnya.

“Via.”, sahutnya singkat.

“Dia gak ngerti kata ‘gak mau’ kayaknya ya. Berkali-kali aku bilang, aku udah gak suka sama dia. Masih aja neror aku.”

Aku diam.

“Sahabat kamu itu psycho kayaknya. Kemarin…” kalimat Ben terputus saat ponsel kembali berdering.

“Anjing! Kamu liat kan? Liat? Perempuan kayak gini nih yang bikin laki-laki jadi kasar. Nanti dikasarin, salah, dibilang lah gak menghargai perempuan. Shit!

Aku diam.

Ben memutar stir ke kiri.

“Sayang? Kamu kok diem aja?”, Ben menoleh.

“Oh, nggak kok. Aku gak apa-apa.”, aku menjawab cepat, tersenyum.

“Kalo gitu lakuin sesuatu dong ke sahabat kamu itu. Kamu apain kek. Supaya dia gak ngejar-ngejar aku lagi. Kalo perlu kamu matiin sekalian.”

Mobil melaju melambat dan memasuki area parkir.

“Hayuk, Sayang? Bahas si Via, sahabat kamu itu, bikin mood aku jelek. Kalo udah kayak gini aku males ngapa-ngapain. Nanti kamu yang harus ekstra bikin aku semangat.”

Ben turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.

Kami berjalan beriringan masuk ke lobi hotel. Dengan tangan Ben melingkar di pinggangku.


- - -


Desau angin menerpa kulitku. Aku berdiri, memandangi gundukan tanah di hadapanku.

“Minum ini dulu.”, kuberikan sebotol bir pada Via. “Setelah lu mabuk, lu pasti punya keberanian lebih buat minum ini.”, lalu kuberikan ia sebotol obat serangga. “Ini, gue juga udah siapin ini, supaya keberanian lu lebih besar lagi.”, aku menyerahkan foto-foto Ben bersama perempuan-perempuan lain.

Ponselku berdering pendek. Sebuah pesan masuk.

Sayang, kamu dimana? Aku udah di hotel. Jangan kelamaan dong.

Aku beranjak dari area pemakaman, namun sebelum benar-benar pergi, sekali lagi kuintip makam Via dari balik pundak.

Aku juga sangat mencintainya. Namun aku tidak setolol kamu, Via, mengakhiri nyawamu sendiri. Jika Ben nantinya juga akan meninggalkanku seperti ia meninggalkanmu, aku pastikan, Via. Aku akan kuat dan berani untuk menghabisi nyawanya dengan kedua tanganku. Seperti aku menghabisi nyawamu.


Rere Ingin Hamil


“Hayuklah, Gas. Sekali aja….”, Rere merengek sambil menggelayut manja pada Bagas, pacarnya.

Bagas menepis lengan Rere. “Kamu jangan aneh-aneh, Re.”

“Aneh-aneh gimana? Aku kan cuma pengen hamil.”, tegas Rere.

“Lah terus kalo anak itu lahir, siapa yang biayain? Re, aku gak siap jadi bapak. Kita masih sekolah.”, ucap Bagas yang masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Sedangkan Rere masih kelas 3 SMP.

“Aku yang hamil, aku yang lahirin, kenapa kamu yang panik sih, Gas? Itu nanti semuanya urusan aku.”, Rere menghela, terlihat kesal pada Bagas. Mengapa pacarnya ini tidak juga bisa mengerti.

“Setelah aku hamil nanti, kita gak perlu nikah. Kamu lanjutin sekolah kamu dulu. Nanti setelah anak kita lahir, kamu bisa datang ke rumah aku untuk main-main sama anak kita.”, ujar Rere enteng.

“Re, kamu udah gila ya? Gimana nanti sama sekolah kamu?”

Rere tertawa ringan. “Gas, aku kan masih punya mama-papa. Masa mereka gak mau ngurus dan biayain cucu mereka sendiri sih?”

Di film-film, sepertinya hamil dan menjadi single parent itu terlihat sangat….keren. Rere sudah bosan menjadi keren dengan hal-hal payah di sekolah, seperti memacari laki-laki paling hot di sekolah atau memamerkan lingkar hitam di sekitar mata tanda sudah tidak tidur selama beberapa hari. Cara keren yang sudah basi, menurut Rere. 
Tapi menjadi single parent di usia belia pastilah kekerenan yang tidak bisa dikejar oleh teman-temannya. Rere ingin terlihat sangat berbeda. Rere sangat ingin kehamilannya mengundang decak kagum. Lihat saja film Jeni, Juno. Lihat betapa kerennya ketika Jeni hamil. Rere ingin seperti itu. Tapi tentu saja Rere ingin mengurusi bayinya sendiri, tidak ingin seperti Jeni yang menyerahkan bayinya pada kakaknya. Dan pasti akan terlihat sangat keren seorang Ibu muda berusia 15 tahun menggendong seorang bayi mungil nan lucu sambil berjalan-jalan di mall.
“Bagas….hayuklah…”, suaranya manja merayu Bagas. Didekatinya pacarnya itu. “Sekali…aja…”, ia berbisik lembut di telinga Bagas.

“Tapi kamu janji gak minta aku untuk tanggung jawab ya?”, Bagas memastikan.

“Iya, sayang.”, Rere tersenyum penuh kebahagian. Ia tahu Bagas mulai luluh.

Lalu proses Rere untuk menjadi keren pun dimulai di sebuah kamar kos milik Bagas.


kesepian.


“Punya anggota keluarga yang bisa dihubungi?”

Anne menggeleng cepat. “Orang tua saya sedang berlibur di Paris. Dan dua adik saya sedang mengambil shortcourse di Belanda.”

“Punya teman atau pacar yang bisa dihubungi?”, Ridwan mengintip dari balik layar monitor.

Anne diam sebentar. Lalu bayangan Hanni muncul di benaknya –gadis hitam mungil dengan senyum paling manis. Muncul juga wajah Elvi dengan tahi lalat khas di ujung hidung lancipnya. Ada juga Yulia, gadis jangkung berambut ikal sepunggung. Mereka adalah sahabat-sahabat Anne semenjak SMU.

“Nggak, Pak.”, Anne segera menepis pikirannya.

Ridwan, polisi yang sedang menginterogasinya, menghentikan sejenak jemarinya yang sedang menekan tuts keyboard. Ditiliknya sekali lagi gadis di hadapannya dari balik layar monitor.

Cantik. Modis. Terlihat smart. Dan sepertinya dari keluarga yang kaya.

“Kamu yakin tidak ada kontak yang bisa dihubungi?”, Ridwan sekali lagi bertanya meyakinkan Anne.

“Pak, yang kehilangan tas itu saya. Dan usia saya sudah 25 tahun, saya sudah dewasa. Saya sudah legal secara hukum. Saya tidak perlu lagi kan didampingi oleh orang lain?”

“Memang. Tapi alangkah lebih baik jika ada yang menjemput kamu kesini. Kamu kan bukan orang sini. Tidak punya tempat menginap juga kan?”

“Saya bisa tidur disini kok. Tugas utama Polisi adalah melayani masyarakat kan? Saya hanya perlu tas saya cepat ditemukan lalu saya akan pulang sendirian.”

Ridwan diam. Gadis ini begitu keras kepala. Ia melengos. Hari sudah begitu larut. Tidak ada guna berdebat lebih panjang. Mungkin gadis ini sangat lelah dicampur marah karena tasnya yang kecopetan, maka emosinya meluap-luap dan bicaranya jadi ketus.

Dibiarkannya gadis itu menginap di pos jaga Polisi berbekal selimut dan bantal pinjamannya.

Di dalam ringkukan selimut dan desau angin malam yang dingin, gadis itu terlihat begitu…kesepian.




Hidup kita melaju tanpa bisa menyamakannya dengan laju hidup orang lain. Ada orang-orang yang sejalan lalu mereka harus berbelok mengambil liku yang lain di hidup mereka. Ada yang berhenti lalu memutar balik mencoba memungut kenangan. Ada yang di perjalanan bertemu orang-orang baru lalu lebih memilih berhenti sejenak menyesap secangkir teh hangat di warung pinggir jalan dan membiarkan kita terus melaju sendiri.

Mereka yang di masa lalu. Mereka yang ada di masa sekarang. Kadang tidaklah bisa tetap sama. Kadang hanya bisa tetap tinggal di masa lalu. Kadang kita sedikit memaksa membawa mereka ke masa sekarang, tapi yang ternyata kita genggam hanyalah bayangnya.

Tidak mencoba mempertahankan dengan memaksa mencoba mempertahankan itu hampir tidak ada bedanya. Karena toh sebenernya kita telah lama kehilangan mereka. Hanya saja, begitu munafik mengakui. Bahwa kita…

kesepian.



Nikah Cepet dan Nikah Lama


Di sebuah warung kopi di persimpangan jalan.
“Kenapa cepatnya kau nikah, Boy? Usiamu masih 25. Nikmatilah dulu kebebasan. Foya-foya dengan gajimu sendiri. Nanti sudah nikah, gajimu pun tak bisa lagi kau pegang.”
“Tak sangguplah aku, Dit. Pulang kerja capek, inginnya ada yang layani. Pusinglah aku begitu pulang masih harus ngurusi tetek-bengek yang makanlah, baju kotor lah, inilah itulah. Bah. Enaknya pulang bisa langsung istirahat, tak lah aku dipusingkan sama urusan-urusan sepele seperti itu, ada istri yang melayani.”



Di sebuah café bernuansa teduh.
“Nungguin apa lagi sih, Win? Umur kamu sebentar lagi menginjak 27 loh. Gak kepikiran buat married, apa?”
“Entahlah, Ne…mikirin married. Mikirin tugas dan kewajiban nantinya. Ngurusin ini ngurusin itu. Pulang dari kantor udah capek, masih harus ngelayanin suami. Belum masak, urusan rumah, tagihan ini-itu, apalagi kalo udah punya anak. Masih pengen bebas, Ne. Masih pengen nikmatin gaji sendiri. Masih pengen travelling kesana-sini. Pokoknya masih pengen hidup bebas.”



Inilah zaman di saat pernikahan dianggap suatu pelengkap oleh kaum laki-laki dan akhir dari segala bentuk kebebasan oleh kaum perempuan.


Zaman ketika kepercayaan pada Tuhan mengenai jodoh dibungkus ego rapat-rapat. Jodoh dapat ditawar seenak jidat. Jodoh juga bisa dicadangkan – menolak yang ini, besok juga bakal ada yang lain –pastinya dengan pertimbangan yang tidak matang.


Inilah zaman. Bergerak seiring akal manusia.




cukup_


Untuk satu titik berpendar ungu mengelabui hati. Ada banyak yang ingin tercerita padamu. Tercerita. Bukan mencerita. Atau bercerita. Aku ingin bersamamu menjadi segala ketidaksengajaan. Ketidaksengajaan yang disengajakan Tuhan untuk terjadi di antara kita. Aku ingin semuanya mengalir begitu, apa adanya, tidak perlu direkayasa. Tidak butuh disengaja.

Aku menginginkanmu untuk hadir di setiap lini hidupku. Tidak berbatas. Dan tidak terbatas. Apalagi membatas. Aku ingin segalanya serba kamu. Dimana aku bisa merasakan adanyamu di setiap lekuk jemari aku menyentuh sesuatu atau di setiap tarikan nafas meski kamu sedang tidak bersisian denganku.

Aku ingin sesederhananyamu dalam kerumitan hidupku. Di antara semua yang terjadi, aku ingin selalu merasai hadirmu ada disini. Meski tak nyata. Meski tak kasat mata. Dan meski sebatas mengangani saja. Meski apapun itu. Aku tidak akan mencelanya.

Merasa, dirasa. Terasa. Kadangnya tidak mampu, seringnya memang begitu. Aku. Kamu. Bukan jarak terbentang yang membenteng. Bukan pula rindu mencandu yang mulai meracuni darah yang menderu. Bukan. Tapi rasa. Rasaku yang tidak lagi bisa merasai, tangan ini milikmu, bibir ini untukmu, dan desahan nafas ini mensyarati namamu agar dapat terbuang.

Segala yang dulunya cukup. Segala yang sekarang tidak lagi cukup. Segala tentang kamu. Atau hanya tentang aku?

Aku tidak tahu…


Percakapan Perempuan-perempuan



Di sudut café berkelas menengah ke atas, sekelompok perempuan tengah asyik bertukar cerita sambil menimpali opini ini-itu. Minuman-minuman beranek ragam di dalam gelas-gelas panjang telah setengahnya habis, kudapan-kudapan berbau keju telah menghilang hangatnya.

Aku duduk tepat di pojokan, di sisi ruang, sedikit terlihat menyempil. Namun, posisi ini yang paling jelas untuk mengamati semua sudut. Teman-temanku, ya, mereka teman-teman lama di kala SMP dulu. Kami berkumpul kembali bukan tanpa tujuan, sebulan sekali pastilah ada acara yang beginian, di tempat-tempat bonafit. Maklum, mereka dari keluarga berada. Aku? Bukan, tapi sebulan sekali rasanya masih mampu nongkrong di tempat beginian.

“Lelaki…”, Ruri tertawa kecil. “Mereka memang begitu. Saat pedekate, beuh…apa sih yang nggak buat kita. Bener nggak? Itu seakan Monas pun bakalan dibawain ke depan rumah kalo kita minta.”

“Seorang temen kuliah pernah bilang ke aku, saat-saat terindah dari sebuah hubungan adalah saat pedekate.”, aku menimpali, terdengar sangat klise mengutip perkataan orang. Tapi biarlah.

“Bener…bener!”, Aiya berseru semangat. “Ben, dulunya itu…romantis abis. Perhatian full. Setengah jam sekali nelpon, cuman buat mastiin aku baik-baik aja. Kayak si Bubu itu tu…mirip lah.”

Ega mencondongkan tubuhnya, “Sekarang, Ya?”

“Boro-boro!”, Aiya mengetok meja pelan. “2 taun pacaran, sms 3 hari sekali, itu tau yang ditanyain apaan?”

Semua diam, tidak menggeleng, namun menunggu jawaban Aiya.

Apa kabar, Sayang? Kangen. Itu pacaran nanya apa kabar? Bener-bener dah…”, Aiya geleng-geleng kepala.

“Mungkin karna udah lama kali ya, Ya? Udah tau seluk-beluk pacar, udah terbiasa.”, Mala berujar.

“Atau mungkin udah berasa kayak sodara perempuan sendiri?”, aku mencoba beropini dan serta-merta menjadi pusat perhatian.

Kontan aku cengar-cengir sendiri. Aku, adalah perempuan yang paling gak berpengalaman, berani-beraninya nyaut tanpa bukti.

“Gawat dong kalo gitu!”, Ruri kontan melonjak.

Aku melirik jam tangan, lalu diam-diam menekan tombol unlock di ponselku.

Tidak ada pesan darimu.

Mungkinkah kita akhirnya juga tiba di masa itu?

Karena aku pernah membacanya sekali waktu, saat malam dan kantuk belum menyerbu.

Cinta pasti hilang, hanya rasa sayang yang terus tinggal. Cinta pasti hilang, hanya rasa keterikatan yang terus melekat.

 Sudah seharusnya kamu mengabariku. Meski hanya sederet pesan yang tidak perlu balasan.

Dan green tea shake ini masih terasa hambar sedari disajikan tadi.