Mereka Gak Peduli



Di suatu sore di sepetak warung kopi, saya dan sahabat saya, Rudi, tengah menyesap segelas minuman berperisa kopi sembari mengobrol. Saya baru saja tiba, bersepeda dari rumah dan rasanya cukup ngos-ngosan juga ketika tiba disana. Sudah cukup lama ternyata saya tidak bersepeda.

Di sela obrolan kami yang tentang apa saja, Rudi tiba-tiba berujar.

“Len, kamu tahu apa? Laki-laki jika bertemu laki-laki lain yang bajunya sama, mereka jadi temen. Tapi gak dengan perempuan. Jika bertemu dengan perempuan lain yang bajunya sama, mereka menjadi musuh.”

Saya terkekeh. Dia benar. Saya juga seperti itu. Tapi gak sampai jadi musuh juga, minimal malu karena bajunya samaan. Besoknya baju itu akan enggan dipakai, perlu berpikir 100 kali untuk kembali mengenakannya. Berlebihan? Yup. But that’s woman.

Saya lalu menggodanya.

You know what?”, saya mengeluarkan kaki saya dari sepatu. “Kuku-kuku kakiku aku cat warna-warni.”, sambil memamerkan kuku kakiku yang dikuteks beragam warna.

Shit!”, dia mengernyit. “Do you remember my post about nails?”, tanyanya.

Ingatan saya melayang ke beberapa hari lalu.

Iya. Beberapa hari lalu Rudi mem-post sesuatu di facebook. Sebuah gambar, dari 9GAG.
















Saya tertawa geli.

“Aku tahu kamu nyindir aku. But you know what, Rud? I don’t care!”, ucapku mentah-mentah, sembari terus terkekeh.

I really don’t care, Rud.

Iya. Saya benar-benar gak peduli. Saya pakai kuteks karena saya suka. Dan bisanya juga cuma seminggu di dalam sebulan.

Nothing felt the best than do what we love to do.

Obrolan berlanjut. Masih tentang perbedaan gender. Kali ini saya benar-benar merasa di kubu berbeda dengan Rudi.

You want to know the next truth?”

Yep!

“Perempuan itu bersolek bukan untuk laki-laki. Tapi untuk sesama perempuan.”, ujarnya kalem.

How come? Saya mengernyit. Tidak mengerti.

“Gini, perempuan itu cenderung berpakaian untuk membuat perempuan lain merasa iri. Laki-laki sebenernya gak peduli, Len. Mau jilbab kalian dililit-lilit, baju kalian berumbai-rumbai, kuku kalian warna-warni. Men really don’t care. All they care is it’s you, their girl. That’s it.

Ya. Saya pikir Rudi bener. Cobalah pergi ke pasar, gak usah maksain belanja kalo gak punya uang. Jalan-jalan santai aja sambil memperhatikan para pembeli yang didominasi oleh kaum hawa. Perhatikan obrolan mereka. Pasti ada yang dua-tiga seperti ini.

“Ih, ini lucu kan yak? Iya kan?”

“Yang ini cantik kan?”

“Jilbab yang ini matching gak sama baju aku yang kemarin itu kita beli di ET?”

Dan bla…bla…bla… lainnya yang sudah sering saya dengar.

Gak heran di pasar Aceh toko didominasi oleh baju-baju perempuan dan modelnya cepat sekali berganti.

Do we really do that for men? I mean, all that stuff –panas-panasan, pengorbanan uang jajan, capek-capekan- hanya untuk impress men? Nope.

The main reason why we  do that with all our heart and soul is we want that jelousy. From other women.

Dan jarang sekali laki-laki akan memuji perempuan cantik dengan jilbab yang dililit-lilit, rok yang melambai-lambai seperti rumput laut, dan high heels. Kecuali di hari wisuda kamu atau hari pernikahan kalian. Itu juga terpaksa karena mereka tahu pengorbanan ke salon itu mahal.

Selamat menikmati Senin!

Dan hey! Kuku saya hari ini pink loh...


Syarat: Gak Merokok



Saya tidak tahu kalimat pembuka yang pantas untuk tulisan ini. Tapi yang jelas ini tentang perbedaan persepsi karena perbedaan gender.
*ecek-eceknya serius*
cool onion head

Lelaki dan perempuan. Selalu melihat sesuatu dari sudut berbeda namun pada akhirnya akan selalu mencari simpang persamaan dimana mereka dapat berdiri di keyakinan masing-masing. Mungkin memasabodohi perbedaan. Atau mungkin mengutukinya? Apapun bisa.

Semasa SMU dulu, pasti ada satu-dua perempuan yang mensyaratkan calon pacarnya adalah laki-laki non-perokok. Percaya saya, tapi jangan mengimani, dulu syarat seperti itu akan sangat dianggap keren oleh teman perempuan yang lain dan akan dianggap unik sebagai seorang perempuan di mata kaum adam. Lagipula, memacari seorang lelaki non-perokok sudah terjamin kehalalannya. Karena merokok itu makruh.
crazy monkey 020*garing 



Saya. Saya adalah dari berjibun perempuan yang mensyarati demikian. Dari dulu.

Sampai sekarang. Sayangnya…

Lalu ada yang berujar seperti ini,

“Perempuan yang mensyarati calon pacarnya non-perokok atau bahkan menyuruh pacarnya untuk berhenti merokok adalah sebenar-sebenarnya alasan yang dibuat-buat.”

Lalu saya berpikir, lama sekali. Seperti tersentil. Karena saya termasuk ke dalam golongan perempuan tersebut.

Saya memang terlahir di keluarga yang sedari saya ada memang bebas dari asap rokok. Bapak saya –dulunya- seorang perokok, semasa lajang. Namun setelah berkeluarga dan punya seorang anak, beliau berhenti.

“Syarat jangan merokok? Bisa sebenernya. Bisa aja kami berpura-pura gak ngerokok. Hanya di depan kalian. Soal bau? Itu bisa diilangin dengan menyikat gigi. Itu bisa.”, lanjutnya menambah kekuatan argumennya.

Saya gak mau kalah dong.

“Berenti ngerokok itu nunjukin komitmen kalo kalian serius mau ke arah pernikahan.”, gitu saya ngomong, sedikit nyolot memang. Karena saya sudah tersentil di awal argumennya.

Dia terkekeh.

“Kalo kayak gitu jalan ceritanya, oke. Kami akan berenti ngerokok setelah kami menikah. Bisa kan?”

Gampang. Sangat gampang dia memuntahkan argumen saya. Sial.

Dan saya kembali terhenyak.

Apa yang ia katakan benar. Jangan-jangan saya juga cuma buat-buat alasan supaya dianggap unik?
Lalu, secuil dari harga diri saya terlepas dari bingkainya. Jatuh, membentur lantai. Berserakan. Tidak lagi saya pungut. Karena apa? Saya merasa tertampar dengan semua argumennya.

Lama saya mikirin hal ini. Sampe di satu titik saya tersadar.

Iya. Saya kemudian nyadar, alasan saya mensyarati pacar adalah non-perokok tidak lain dan tidak bukan berasal dari keluarga sendiri.

Iya lagi. Keluarga saya gak menginginkan saya bersuamikan seorang perokok.

Ya. Tiba-tiba saya merasa keren lagi. Harga diri yang secuil udah berserakan dan ogah saya pungut itu tiba-tiba menyatu kembali ke bingkainya.

Ini jelas bukan soal keren-kerenan atau unik-unikan.

Ini soal kebiasaan.

How your behaviour will show the truly you.

Gimane? Pade ngarti kagak?

Intinya sih gini. Saya mending nyari aman dengan macarin seorang non-perokok karena kalo-kalo salah seorang anggota keluarga saya ngeliat pacar saya entah dimana dengan sebatang rokok di tangan padahal di depan keluarga saya dia ngakunya bukan perokok malah bakal kacau jadinya. 

No, Baby. I won’t take that risk.

Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah:

Don’t give a damn to this shit and you just waste your time to read this. crazy monkey 039

Adios!
crazy monkey 105