Dan Terima Kasih :)

Terima kasih untuk selalu ada. Terima kasih untuk tidak terlalu mencampuri, namun hanya berdiri di pinggiran, mengamati. Terima kasih untuk tidak pernah bertanya, namun menunggu hingga aku bercerita. Terima kasih untuk tidak pernah menghakimi, namun selalu menyarankan apa yang terbaik untuk dilakoni. Terima kasih untuk tidak pernah memaksakan kehendak, namun selalu mencoba untuk mengubah cara pandangku. Terima kasih untuk selalu peduli, mengawasi langkah kakiku yang tidak selalu lurus. Terima kasih untuk tidak menyalahkan, pun keputusan yang kuambil berujung petaka.

Terima kasih untuk selalu menjadi seorang sahabat. Terima kasih untuk bisa menempatkan diri sebagai teman, guru, penasihat, bahkan lawan. Terima kasih untuk selalu tertawa bersama, walau kalian tidak mengerti bahagia yang kurasa. Terima kasih untuk selalu mencoba menangis bersama, walau kalian tidak mengerti sakit yang kurasa. Terima kasih ini tidak akan pernah cukup seiring waktu yang semakin lama kita lalui bersama. Segala kesakitan. Segala kepedihan. Segala kenangan. Baik, buruk, bahagia, terpuruk. Terima kasih untuk tidak melepaskan genggaman. Terima kasih untuk selalu percaya, akan aku yang kadang tidak percaya diri sendiri. Terima kasih untuk selalu berpihak, walau seringnya nyata salah itu ada padaku. Terima kasih untuk tetap mencoba men-sugesti, bahwa cinta akan melengkapi. Namun, terima kasih untuk tidak pernah menjodohkan. Bukannya aku tidak butuh cinta, namun hati ini hanya bersisa setengah dan itu hanya cukup diisi oleh kalian. Setengahnya lagi telah lumpuh. Mati rasa.

Terima kasih untuk selalu mencoba mengerti, walau seringnya kening kalian berkerut dan pikiran kalian dipenuhi tanda tanya. Namun, terima kasih untuk bisa mentolerir, bahwa aku ini, sahabat kalian, memang begitu sulit dimengerti. Terima kasih untuk tetap seperti ini. Terima kasih untuk selalu menyisakan sedikit waktu di sela kesibukan kalian, walau kita tidak lagi di satu kesempatan.

Terima kasih untuk kalian, para sahabat. Cukup kalian untuk hidupku. Setidaknya saat ini.


Dedicated to: Ika, Eva, Fannia
"Thank you for being such a nice person, such a nice best friend =)"


We'll have the days we break,
And we'll have the scars to prove it,
We'll have the bonds that we save,
But we'll have the heart not to lose it.
For all of the times we've stopped,
For all of the things I'm not.
We put one foot in front of the other,
We move like we ain't got no other,
We go when we go,
We're marching on.
One Republic - Marching On

Percakapan Dua Usia

Jika kamu pengen tahu kamu sudah setua apa, kamu bisa coba cara yang saya pakai.
Bangunlah sekitar jam 8 pagi dan dengan langkah gontai pergilah ke meja makan lalu duduklah disana. Akan ada seorang sepupumu yang sedang sarapan. Cobalah menjalin komunikasi dengannya, kamu bisa pura-pura ikutan sarapan walaupun biasanya kamu enggak pernah sarapan pagi.

Saya: “Kena di ruang mana, Ngga?”

Sepupu: “Di MIPA, Kak.”

Saya: “Ooooh…Ngambil apa jadinya?”

Sepupu: “Ekonomi Pembangunan sama Manajemen.”

Saya: *ngerasa udah menguasai medan* “Lah, kenapa dua-duanya ekonomi? Kenapa enggak Hukum atau FISIP?”

Sepupu: “Pengennya yang dua itu.”

Saya: *manggut-manggut*

Di saat seperti ini, kamu harus diem sebentar dulu. Jangan keliatan gegabah. Saya tahu kamu pasti udah nggak sabar pengen tahu kamu itu setua apa. Tenang. Kamu mesti rileks.

Saya: “Angga nim-nya berapa?”

Sepupu: “Umm….nim yang mana ni, Kak? Total atau rata-rata?”

Saya: *senyum bego dan membatin* “Anjrit, nim yang mana yak? Mana udah lupa.

Saya: *ecek-eceknya saya masih inget* “Yang total?”

Sepupu: “Kalo yang total 40 koma sekian (saya lupa).”

Saya: Standar lulusnya berapa?”

Sepupu: “Apa ni? Per mata pelajaran atau rata-rata?”

Saya: “Damn! Ini apaan lagi? Kenapa saya malah enggak nyambung kayak gini?” *memaki dalam hati*

Saya: *dengan senyum bego lagi* “Pokoknya yang bisa lulus lah.”

Sepupu: *sepertinya mulai ikutan bingung* “Umm…kalo tiap pelajaran, mesti ada 5 koma sekian (lagi-lagi saya lupa).”

Disitu saya sadar, damn! I’m too old to hangout with some kind of this stuff! Saya keki. Lalu cepet-cepet menyudahi sarapan saya. Takut-takut jika obrolan ini dilanjutkan, saya akan merasa 10 tahun lebih tua lagi.

Apa saya sudah menjadi sebegitu tuanya tanpa saya sadari sampai-sampai saya jadi enggak nyambung lagi ngobrol masalah lulus-lulusan itu? Padahal saya pernah menjadi bagian itu dulu.
Saya enggak tahu. Mungkin benar saya sudah sebegitu tuanya. Enggak kerasa SPMB akan segera digelar lagi. Dan enggak kerasa ternyata sepupu saya itu sudah besar. Bahkan sudah punya pacar.
Well, waktu terus berputar tanpa bisa kita hindari atau bekukan. Kemarin kita mengalaminya, besok akan ada yang juga mengalaminya.

WARNING: Perlu saya ingatkan efek samping dari cara ini adalah 15 menit kemudian akan kamu habiskan di kamar mandi. Kamu akan mencret. Karena perut kamu enggak biasa disarapanin.

P.S: Dan saya baru inget sekarang, bukan nim, tapi nem. Ohmaigaddemsyeeeeeet…. Saya jadi pengen memutilasi diri saya sendiri.


P.S.S: Memangnya masih disebut nem? Oh, saya enggak tahu. Sumpah.




LEAVE ME ALONE

Atau harus kuhunuskan pedang ke dadanya?
Agar ia pergi menghilang tanpa makna
Dan aku bisa kembali meninggi hati
Yang tak seorangpun bisa mengerti
Kalau ia bisa kuacuhkan
Seperti bulan yang dianaktirikan
Oleh matahari tak berperasaan

Aku jengah
Pada rasa ini tak bertengah
Tak dapat kupisah
Terkutuk....
Aku mengutuk!
Bahkan langit hitam saja sudah tak sudi lagi peduli
Pada aku ini yang semakin tak tau diri
Selalu berharap ia peduli
Akan aku yang selalu mengasihani diri sendiri
Tanpa pernah mau tau,
Ia berdarah disana
Setelah kutikam ia dengan bilah kemarahan
Atas apa yang telah ia lakukan
Mengoyak lebar bekas lukaku
Yang masih meradang dan beku
Tanpa setitikpun pernah sembuh


Karena aku cukup lelah
Untuk menengadah
Dan mengecap arti yang sesungguhnya
Bahwa ia hanyalah sebagian dari sakit
Yang memilukan atas kenyataan
Tak pernah sedikitpun ia larut
Dengan apa aku terlarut
Ia mungkin hanya pengganti
Yang dikirim Tuhan untuk ingatkanku akan sesal
Tanpa pernah ada ujung pangkal

Apa aku harus terus berdoa?
Dalam hati agar ia sudi berlari
Ke tempat dimana aku berdiri
Yang dipenuhi semak belukar dan duri
Atau aku harus berhenti di persimpangan?
Dan kembali hanya dengan modal kenangan
Dan sejuta penyesalan
Kemana hati ini harus kubawa pergi?
Atau dirinya saja yang kutikam mati?
Agar ia menghilang dan bayangnya tak pernah kembali.....

Siomay Lelek. Akhirnya....

Yak. Disini, secara khusus, saya pengen ngucapin terima kasih untuk Eva Kartika, saingannya Jennifer Kurniawan dan Jupe, yang udah secara sukacita dan sukarela bawain siomay lelek untuk saya. Dari tadi malem saya udah ngences sampe mimpi dilamar sama lelek siomaynya lalu saya live-happily-ever-after dan bisa makan siomay setiap hari.
Damn, I want it so badly.... (siomaynya, bukan leleknya. Sumpah!)

Tangan tersangka utama: Ika Musfira a.k.a Belanda Kolak Pisang

P.S: Eva, besok bawain sate matang yak?

Enyahkan Mereka! (Part 2)

Apapun makanannya, enyahkan mereka dari makan siang saya!
Enyahkan! Enyahkan!
*butuh 15 menit

Kamu. Saya. Berbeda.

Saya merasa kamu masih disana. Di luar sana. Di depan pintu rumah. Menunggu saya keluar, membukakan pintu. Serius. Saya merasa kamu masih ada. Waktu nyaris 7 tahun ini bukanlah apa. Kamu mungkin saja sekolah di luar kota. Dan kamu pasti kembali, kesini.

Setidaknya sekali saja, saya bisa bertemu kamu, secara tidak sengaja. Mungkin kita bisa bertemu di salah satu warung kopi, kamu sedang bersama entah siapa dan saya duduk sendirian, menunggu teman saya yang terlambat datang. Lalu kamu melihat saya dan memutuskan menghampiri saya. Kamu memanggil nama saya. Ya. Nama saya. Sudah lama sekali saya tidak mendengarnya. Nama saya dan kalimat itu. Sehari entah berapa kali kamu bisa menyebutkan kalimat itu jika kita sedang bersama.

Atau mungkin kita dapat berjumpa di lampu merah. Tiba-tiba kamu sedang di jalan yang sama dengan saya, walaupun tujuan kita berbeda. Setidaknya kamu disana, membuka kaca helm kamu lalu mengagetkan saya dengan guncangan di pundak. Kamu melakukannya karena saya tidak mendengar panggilan kamu. Saya memakai earphone saya dan sedang mendengarkan Waiting For The End milik Linkin Park. Kamu tahu kan saya sangat suka Linkin Park?

Atau mungkin saat itu saya sedang di tempat peminjaman komik dan novel. Tiba-tiba kamu menghampiri saya, menanyakan dengan siapa saya pulang. Saya jawab saya tidak pulang dengan sesiapapun. Dan akhirnya kamu menawarkan jasa mengantar saya pulang

Mungkin kita dapat bertemu dimana saja. Bahkan di mimpi. Kamu menyapa saya. Saya bertanya apa yang kamu lakukan disini. Dan kamu menjawab, agak marah, bahwa saya tidak seharusnya bertanya demikian. Kamu datang karena ingin bertemu saya. Saya sangak. Ya. Sangak. Karena saya merasa kamu tidak seharusnya disini.

Kamu. Saya. Berbeda.
Setidaknya wujud kita saat ini. Juga dunia.


Edelweise dari kamu, saya enggak tahu dimana sekarang. Yang tinggal hanya foto ini. Maaf.

Tetaplah Seperti Ini

"I like being in silence when we meet coincidenly.
No smile. No talk. 
Just stare at each other for seconds."


Saya enggak ingin mengubah apa yang ada sekarang. Saya suka seperti ini. Saat saya berdiri dan kamu sedang berjalan, melewati saya. Lalu untuk seberapa detik pandangan kita saling bertemu. Tanpa senyum. Tanpa sapaan. Hanya seperti itu. Dengan ekspresi datar. Dan setelah seberapa detik berlalu, kita sudah kembali berkutat dengan aktivitas masing-masing.

Just so simple like that. Tapi bagi saya sangat berharga.

Jangan menyapa. Jangan tersenyum. Jangan memulai pembicaraan. Tetaplah seperti ini. Sampai batas waktu yang entah kapan. Tetaplah seperti ini. Sampai saya lelah dan akhirnya bosan. Tetaplah seperti ini.

Siang Ini

"Di saat saya pikir saya sudah bebas, ternyata Tuhan tidak berpikir demikian."

Saya bukan mau bahas takdir sekarang ini. Itu tema yang paling enggak masuk di saya, selain masalah cinta.

Saya cuma murni mau curhat tanpa embel-embel ngeluh. Saya enggak ngerti kenapa jadinya mesti gini. Di saat saya sudah siap menerima logika saya yang patah dan ekspektasi saya yang ternyata hanya berbuah nol besar, saya malah disuguhkan realita seperti sekarang ini. Ya. Saya sudah memutuskan untuk berhenti berharap dan melupakan Plan C dalam hidup saya. Sudahlah, saya sudah hilang cara.

Tapi, siang ini, saya mendapati, lagi-lagi, keputusan yang sudah saya ambil, dibalikkan oleh Tuhan 180 derajat. Saya pikir dengan saya merubah rutinitas saya di malam hari menjadi siang, saya akan bisa terbebas dari hal ini, yaitu bertatap muka dengannya yang berimbas pada sakit logika lagi, lagi, dan lagi.

Dan siang ini? Kenapa shift-nya harus berubah? Kenapa di saat saya memutuskan untuk datang pada siang hari, dia malah juga kebagian shift siang? Kenapa?!
Saya enggak punya jawabannya.

Tuhan, tolong jangan bikin saya kembali berharap. Saya mohon.
Dan semoga shift itu hanya sementara. Amin.

Saya Mau Mati Muda

"Nggak ada yang bikin kamu punya motivasi lebih besar untuk mengakhiri hidup kamu selain mengetahui bahwa mantan murid kamu ternyata sudah married."

Di suatu malam, saya diajakin ke salah satu resto di Banda Aceh untuk makan malam. Begitu sampai disana, saya bertemu Tante temen lama saya. Saya salaman, cupika-cupiki, dan akhirnya tiba di pembahasan mengenai anak-anaknya. Dua orang anaknya dulu adalah murid private Bahasa Inggris saya. Haduh, jangan syok gitu dulu. Bahasa Inggris say amah pas-pasan. Tapi saya nekat aja.

“Tasya dan Bella apa kabar, Tante?”, saya nanyanya gitu.

“Oh, Bella sekarang kuliah di Hukum USU. Kalo Tasya sudah kerja di BPN (kalo enggak salah kuping saya denger).”

Oke. Saya ingin ada yang rela memutilasi saya. Apa-apaan ini? Udah kerja? Umur anak tertuanya kira-kira 20 tahun dan sudah kerja. Sedangkan saya?! Saya?!
Saya sok cool aja. Sok enggak ngaruh denger kalimat Tante tadi. Padahal dalam hati, saya udah nangis darah.
Bagi yang berminat memutilasi saya, silahkan kirimkan CV anda ke desrianharleni@ymail.com. Paling lambat 31 Mei 2011.

Saya cuma bisa membulatkan mulut menanggapi jawaban Tante temen saya itu.

“Tasya kan dulu kuliah di Jogja, D1. Sekarang sudah kerja di BPN. Sudah nikah.”

WDF?!  Nikah?! Nikah?!

MENIKAH?!

MARRIED?!

OHMAIGADDEMSYEEEEET…..

Saya enggak jadi minta dimutilasi. Saya mau bunuh diri aja. Mungkin saya sudah harus mulai memikirkan cara bunuh diri yang tepat dan benar, yang cepat dan minim sakit.

Punya saran? 

SUKA (atau-dan-maka) JATUH CINTA

Saya mengirimkan pesan ke salah satu teman yang isinya gini:
Jadi, apa aku positif suka dia?
Jangan gubris kata positif itu. Tolong.

Dan enggak lama datang balasan dari teman saya itu:
Belum. Positif itu kalo kamu tiap hari mikirin dia, peduli apapun tentang dia. Masa itu aja kamu enggak tahu? Bukannya kamu lebih pro dari aku?
Oke. Tolong kata pro juga jangan terlalu digubris.

Saya mengernyitkan kening. Lalu saya balas pesannya:
Bukannya itu sindrom jatuh cinta?

Teman saya:
Itu belum jatuh cinta.

Saya bingung. Jelas aja saya bingung. Kalau suka aja udah segitu desperate-nya, konon lagi jatuh cinta? Herpes. Cenat-cenut jantung saya. Dalam hati saya berujar, Mampus saya!
Untuk memuaskan rasa penasaran saya tentang definisinya yang maha dahsyat tentang perasaan suka, saya tanya balik:
Kalo jatuh cinta?

Sambilan nungging di dalam selimut, saya tungguin balasan dia.
Kayak yang aku bilang tadi. Tapi beda orang beda definisi tentang cinta. Kalo aku pribadi ya yang kayak tadi.

Saya herpes beneran. Saya guling-guling di dalam selimut sambil ngakak.
Saya jadi makin bingung. Tadi saya nanyain apa definisi yang dia kasih tadi adalah definisi orang yang jatuh cinta, dia jawab bukan. Dan waktu saya tanya definisi yang beneran untuk orang yang lagi jatuh cinta, dia malah jawab persis yang dia jawab tadi.
Padahal yang saya tanya hanyalah definisi perasaan SUKA. Bukan definisi JATUH CINTA.

Tapi, mungkin bagi teman saya itu, SUKA ya JATUH CINTA. Kalau kamu sudah SUKA, somewhen kamu pasti JATUH CINTA. Dan kalau kamu sudah JATUH CINTA kamu sudah pasti-absolutely-definitely SUKA. Jelas dia bingung menjelaskannya pada saya.

Well, bagi saya, SUKA dan JATUH CINTA itu adalah dua hal berbeda. Saya berbicara dalam konteks perasaan terhadap lawan jenis. Saya yakin JATUH CINTA itu bisa diawali dari SUKA. Tapi itu enggak mutlak. Kamu mungkin aja langsung JATUH CINTA pada pandangan pertama dengan seseorang. Enggak perlu harus SUKA dulu. Atau SUKA kamu malah berhenti tepat sebelum berkembang menjadi JATUH CINTA. Dan saya yakin di dalam perasaan JATUH CINTA pasti ada perasaan SUKA.

Ah, saya jadi nulis masalah CINTA. Ini gara-gara dua orang teman saya yang mulai parno. Tapi terima kasih untuk mereka, untuk selalu hadir di setiap situasi di hidup saya. Untuk selalu menjaga langkah saya. Untuk selalu mengingatkan saya.

SUKA. Mungkin saja saat ini saya sedang di dalamnya. Who knows? Belum ada yang bisa ngasih saya definisinya dengan jelas.
Tapi JATUH CINTA? Saya masih skeptis soal itu.


Mari Kita Bicara


Dua cangkir kopi, sebuah buku usang, dan dua orang asing.
Mari kita bicara. Jika kau ingin bicara. Walau hanya sejenak saja. Tapi jangan tanyakan padaku soal cinta. Atau tentang patah hati yang sering kau rasa. Tanyakan padaku soal logika. Dan bagaimana aku hidup selama ini dengannya.

Aku akan melepas earphone-ku jika kau ingin berbincang dua-tiga patah kata. Menegakkan dudukku. Menatapmu. Tapi jangan kau tanyakan soal dimana aku tinggal, berapa nomor ponsel, atau sudah semester berapa aku kuliah. Jangan. Tanyakan sesuatu yang lain. Yang bisa lebih panjang untuk dibahas. Bukan sekedar perihal nama. Perkara gampang yang hanya akan kujawab satu-dua kata. Lalu detik selanjutnya kita akan saling diam.

Empat kursi, hanya dua yang diduduki. Sekotak rokok tidak terjamah. Dan dua orang asing. Ceritakan saja mengapa kau lebih suka menghabiskan kopimu bersamaku sedangkan di sudut sana teman-temanmu sedang berkumpul dan menertawakan sesuatu dengan jumawanya. Ceritakan saja tentang malam yang terasa lebih panjang saat kau berusaha terlelap. Ceritakan saja bagaimana kau sanggup bertahan hidup dengan luka itu. Ceritakan, sesuatu, namun bukan perihal apa yang suka kau makan dan apa yang tidak.

Dua cangkir kopi, satu telah terjamah, satunya lagi masih utuh. Dua pikiran yang tidak saling mengenal.
Ayolah, tanyakan mengapa aku terlihat nyaman dengan kets sedangkan perempuan di ujung sana nyaman dengan high-heels. Bukan mengapa aku tidak memakai high-heels seperti perempuan kebanyakan. Pertanyaan yang hampir tidak berbeda, namun, percayalah, jawabanku tidak akan sama.

Kepulan asap. Hingar-bingar manusia. Aku diam. Sejenak.
Mengapa bertanya tentang hidupku? Bukankah kau yang menginginkan obrolan ini? Aku dan buku usangku sudah cukup untuk melewati hari ini, menghabiskan waktu di tempat ini. Kau yang menghampiriku. Bukan aku yang menyuruhmu duduk di situ. Jadi, marilah kita berbincang tentang hidupmu. Tidak usah terburu-buru. Waktu kita masih banyak. Matahari belum sampai sepenggal kepala. Ceritakan saja setiap detiknya.

Kita bisa bicara, jika kau memang merasa kita harus bicara. Namun, kita hanya akan bicara tentangmu. Bukan aku.
Aku dan hidupku. Bukanlah apa yang bisa kau analisa dengan logikamu yang terbentuk karena orang-orang di sekelilingmu dan apa yang telah kau alami. Percaya padaku, hidupku memang tidak berjalan seperti skenario sinetron, namun kau tidak akan pernah menyangka bahwa ada skenario hidup seperti ini. 

Udara mulai pengap. Hiruk-pikuk semakin sesak. Kepulan asap mengaburkan pandanganku.
Mari kita bicara. Sejenak. Sebelum matahari sepenggal kepala. Ini sudah bahasan ke 25. Sudahkankah kau selesai bercerita? Karena waktuku tidak lagi banyak.
Tapi tetaplah jangan bertanya perihal mendasar. Tempat tinggalku tidaklah sepenting apa. Hanya sederet alamat. Lalu apa? Bisakah kau menganalisaku dari dimana aku tinggal? Tidak.

Aku menginginkan perbincangan ini berjalan pelan namun kau tahu kemana arahnya. Aku ingin ini bukan hanya perbincangan sesaat mengenai data diri, tapi mengenai jati diri. Apa kau bisa? Karena logikaku tidaklah sama. Jika tidak, marilah habiskan kopi kita. Lalu berjalan pulang, kembali ke kehidupan masing-masing.



Dan Aku Hanya Bosan

Mari kita berhenti bicara sejenak. Karena aku rasa aku sedang bosan. Mungkin tidak akan lama. Mungkin juga tidak akan cepat. Aku tidak tahu. Saat rasa ini tiba-tiba hinggap, yang kuinginkan adalah menjaga jarak sebentar. Meninggalkan rutinitas itu. Menghirup udara yang beda sekejap. Agar saat aku kembali segar nanti, tidak akan ada lenguhan untuk setiap ceritamu.

Aku memiliki eksplanasi untuk hal ini. Bosan ini muncul bukan tanpa alasan. Tapi aku tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskannya. Karena terakhir kali memoriku merekam, kamu bahkan tidak peduli untuk setiap alasan yang kupunya kenapa akhirnya aku mau duduk bersama dan mendengarkan ceritamu. Seingatku, aku bukan malaikat. Hatiku setengahnya hitam pekat.

Mari kita berhenti bercerita sejenak. Karena aku rasa buku usang ini sudah hampir dua kali putaran minggu tidak terjamah. Usang dan berdebu sekarang. Biarkan aku membacanya terlebih dulu. Menamatkannya. Mungkin perlu waktu yang agak lama. Mungkin juga agak cepat. Tidak dapat kupastikan. Karena yang pasti sekarang adalah aku sedang bosan. Bosan yang beralasan. Tapi baiklah, tidak perlu kujabarkan. Karena ketidakpedulianmu menahanku.

Apa kamu ingin pulang sekejap? Mungkin kamu juga butuh udara segar serta tidur yang lelap. Pulanglah, tinggalkanku sendiri saja disini. Tidak mengapa. Aku tidak takut sendirian. Kesendirian ini bukanlah apa. Hanya satu-satunya benda paling berharga yang kupunya. Karena saat aku merasa sendiri, aku jadi tahu sebesar mana kekuatan yang kupunya untuk bisa bertahan.

Mungkin sudah lebih dari 24 purnama kita bicara. Bukan tanpa sakit hati atau pun redaman emosi. Aku tahu itu pasti terselip di antaranya. Tapi bukan itu yang membuat bosan ini semakin membuncah. Ah, sudahlah. Eksplanasi itu lagi-lagi tertahan karena ketidakpedulian. Lagi pula kamu sudah pulang untuk tidur lelap agar besok, ketika kamu terbangun, kamu tahu hari masih sama. Seperti dulu. Dan hidupmu masih juga berjalan. Seperti itu.



I'm Back! *pasang kacamata reben item

Dan saya sedang senang. Bukan karena saya baru aja dikasih duit jajan sama Ibu saya. Saya senang karena akhirnya saya bisa melewatkan dua hari ini tanpa mengeluh.
Yak. Akhirnya, saya bisa enggak ngeluh ke setiap orang tentang dua hari ini. Dua hari terberat dalam hidup saya.
Masa hiatus saya enggak keren bener yak? Cuma 2 hari doang. Haha... Biarkanlah.
Dan dengan menghapus satu per satu per satu foto yang ada. Saya berharap dapat memulai esok dengan sangat-amat-sangat-amat-teramat-tersangat ceria dan semangat.
Mood saya telah kembali ke tempatnya. Dan sekarang saya bisa kembali nonton House dengan konsen.



Mengerti Kenapa Harus Mengerti

Banyak hal yang tidak dapat kumengerti apa, kenapa, dan bagaimana. Out of the blue. Semua terjadi tanpa klarifikasi tertinggal. Hilang begitu saja. Meninggalkan tanya.
Ada banyak hal yang ingin kumengerti. Tapi tak juga bisa dimengerti. Seperti sampah yang tidak dapat didaur ulang. Terus menyisakan bekas.
Terlalu banyak hal. Terlalu banyak hal yang mungkin sulit dimengerti. Bukan tidak bisa dimengerti. Hanya saja perlu kerja keras untuk mengerti. Dan aku terlalu malas melakukannya.

Aku ingin mengerti. Tentang segala sesuatu yang terjadi, melintas di hidupku. Dengan pemahaman seutuhnya. Tanpa tertinggal satu asumsipun.
Mengerti. Dan mengerti. Terkadang aku tidak ingin mengerti sesuatu yang aku mengerti. Hidup ini persis sekotak petasan. Tidak tahu mana yang kobong sebelum dinyalakan. Belum tentu semua orang mengerti kenapa mereka harus hidup. Atau setidaknya mengerti kenapa mereka harus mengerti.

Ini sulit. Semakin dewasa rasanya semakin sulit untuk mengerti hal-hal sederhana, seperti kenapa aku tidak suka pagi hari atau sama sekali tidak suka sayur. Dulu semuanya kujawab dengan enteng, tapi sekarang perlu hipotesa mendalam dan detail untuk sebuah alasan logis yang dapat diterima pihak lain yang merasa dirugikan, seperti ibuku atau teman kampus yang sering ngelobi kursi deret belakang untukku.

Semakin sulit mengerti hal-hal sederhana berarti semakin dewasa seseorang karena labirin pikirannya semakin berliku, berkelok, dan menyesatkan. Yang seharusnya hanya perlu 2 kali belok kiri, 4 kali lurus, dan 1 kali belok kanan menjadi 10 kali belok kiri, 13 kali ketemu jalan buntu, 6 kali masuk jurang, 3 kali tersandung batu, dan berkali-kali tersesat lalu patah semangat hingga tidak pernah menemukan akhirnya.

Belajar mengerti juga bukan perkara mudah. Beribu buku panduan juga hanya menghasilkan sebuah nol besar. Karena yang ingin kumengerti adalah apa yang orang sama sekali tak mengerti kenapa harus mengerti sesuatu yang tidak perlu dimengerti. Dan itu tidak ada di teori atau buku teks manapun. Maka setiap hari aku belajar mengerti dari lembaran kehidupan tapi tak kunjung habis kubaca. Tidak bisa kumengerti.


Aku Bukan Mereka

Aku hanya makhluk yang dikutuk malam saat bintang berpendar dalam kilau merahnya
Aku bukan apa-apa karena bulan ada menggantikan siluet indah yang kuciptakan bersama cipratan kegerahan sang surya
Aku letih...
Dalam sanggahan-sanggahan berjuta kunang aku terduduk lemas tak berdaya
Mau apa mereka?
Malam telah mengutukku sebagai makhluk diam dan tak punya rasa
Padahal aku hanya sendiri
Tapi tak ada yang sudi mengerti
Malahan bintang semakin angkuh kelihatannya
Dalam balutan cahaya yang bersemu
Merasa menang telah mampu mengalahkanku
Tanpa pernah tahu
Aku sebenarnya tak pernah mau tahu
Pada malam yang mengutukku makhluk paling bangsat
Pada bintang yang sebenarnya bejat
Pada kunang yang terus menghujat
Pada bulan yang merasa hebat
Dan surya yang menyerah sebelum hujan lebat



IT'S GEMBEL TIME. IT'S GEMBEL TASTE.

Kemarin sore saya ngegembel. Bisa dibilang ngegembel nanggung. Mulai jam setengah 5 selesai setengah 7. Cuma 2 jam aja. Ngegembel kemarin sore memang bukan ngegembel yang gimana-gimana. Enggak sedahsyat biasanya. Dan planning-nya juga enggak begitu mateng. Enggak seperti ngegembel yang udah-udah.

Saya awalnya hanya mengajak dua orang teman saya untuk nangkring manis di Tower dan ngomongin orang-orang. Hahaha…sometimes we need some kind of that stuff. Saya hanya lagi bosan. Maka, saya pikir enggak akan ada ruginya kalau saya mengajak dua orang ini. Dan keduanya harus bisa. Karena kalo hanya salah satu yang bisa, rasanya kurang klop.
Namun, salah seorang dari mereka nyeletuk untuk ngegembel. Menurutnya itu timing yang pas karena Tower adalah salah satu tempat paling keren untuk nongkrong. Disana kita bisa mendapatkan pemandangan gimana status sosial seseorang dan pantes atau enggaknya mereka untuk digebet berdasarkan pakaian dan kendaraan yang mereka pakai.


Hanya itu rencana awalnya. Menggembel di Tower. Saya siapkan outfit saya. Jins jaman SMU saya. Jins itu jins laki-laki dan sampai sekarang masih juga kepanjangan untuk saya. Jins yang sudah sangat-amat lusuh. Kaos lengan pendek dan jaket kedodoran yang seringnya saya pake kalo sepedaan pagi-pagi. Juga sandal jepit merek Swallow seharga Rp. 7.500 sepasang dan duit Rp. 10.000.  Maka, berangkatlah saya menjeput salah satu teman saya di kampung sebelah.


Saya liatin outfit temen saya itu. Kok enggak beda sama biasanya? Saya suruh aja dia ganti sama yang lebih gembel. Eh, begitu dia ganti, enggak begitu berubah. Saya nyengir aja. Ya udah, daripada kelamaan. Berangkatlah kami.


Saya parkirin motor saya di Taman Sari supaya makin keliatan gembelnya. Ke Tower jalan kaki. Juga untuk melihat reaksi orang-orang yang melihat dua perempuan berpenampilan seperti itu.Begitu sampai, ternyata temen saya yang satunya lagi udah nangkring manis disana. Dan saya rasa dia yang terparah di antara kami. Dia pake trening merah dan oblong supak. Tapi sepertinya itu enggak begitu diitung. Pasalnya dia laki-laki. Dan laki-laki sudah biasa berpenampilan seperti itu.


Kesian, Pak. Kesian, Bu. Udah seminggu belum makan pizza.


Celingak-celinguk. Nengok ke kiri – nengok ke kanan. Memperhatikan setiap orang. Tapi enggak banyak yang bisa jadi bahan untuk dibicarakan karena ternyata sore itu Tower lebih dipadati oleh anak-anak SKULL, pendukung Persiraja. Lalu temen saya mengajak ke Museum Tsunami saja. Yak. Berangkatlah kami kesana. Tapi hanya berdua. Dan masih berjalan kaki. Juga masih menghitung orang-orang yang menatap aneh.

Museum Tsunami selalu dipenuhi pengunjung. Apalagi sore dan itu hari libur. Saya dan temen saya masuk, muter-muter enggak jelas. Berfoto ria. Tukang sampah yang sedang ngeberesin sampah ngeliatin melulu. Mungkin dia mikir kami sedang ngadain survei dan mau ngambil lahannya.


Yah, kebelet, Bang. Maaf yak?


Akhirnya saya berhasil foto untuk pertama kalinya di toilet pria.

Akhirnya perjalanan ngegembel saya selesai bersamaan dengan jam menunjukkan setengah 7. Saya dan temen saya memutuskan untuk pulang. Dan kami telah merencanakan ngegembel yang lebih hebat selanjutnya.
Total yang ngeliatin dua perempuan bergembel ria adalah 24 orang. Mereka ngeliatin dari ujung kaki sampe ujung kepala, berulang kali.
Saya harap ngegembel selanjutnya mengalami peningkatan.