Mari Kita Bicara


Dua cangkir kopi, sebuah buku usang, dan dua orang asing.
Mari kita bicara. Jika kau ingin bicara. Walau hanya sejenak saja. Tapi jangan tanyakan padaku soal cinta. Atau tentang patah hati yang sering kau rasa. Tanyakan padaku soal logika. Dan bagaimana aku hidup selama ini dengannya.

Aku akan melepas earphone-ku jika kau ingin berbincang dua-tiga patah kata. Menegakkan dudukku. Menatapmu. Tapi jangan kau tanyakan soal dimana aku tinggal, berapa nomor ponsel, atau sudah semester berapa aku kuliah. Jangan. Tanyakan sesuatu yang lain. Yang bisa lebih panjang untuk dibahas. Bukan sekedar perihal nama. Perkara gampang yang hanya akan kujawab satu-dua kata. Lalu detik selanjutnya kita akan saling diam.

Empat kursi, hanya dua yang diduduki. Sekotak rokok tidak terjamah. Dan dua orang asing. Ceritakan saja mengapa kau lebih suka menghabiskan kopimu bersamaku sedangkan di sudut sana teman-temanmu sedang berkumpul dan menertawakan sesuatu dengan jumawanya. Ceritakan saja tentang malam yang terasa lebih panjang saat kau berusaha terlelap. Ceritakan saja bagaimana kau sanggup bertahan hidup dengan luka itu. Ceritakan, sesuatu, namun bukan perihal apa yang suka kau makan dan apa yang tidak.

Dua cangkir kopi, satu telah terjamah, satunya lagi masih utuh. Dua pikiran yang tidak saling mengenal.
Ayolah, tanyakan mengapa aku terlihat nyaman dengan kets sedangkan perempuan di ujung sana nyaman dengan high-heels. Bukan mengapa aku tidak memakai high-heels seperti perempuan kebanyakan. Pertanyaan yang hampir tidak berbeda, namun, percayalah, jawabanku tidak akan sama.

Kepulan asap. Hingar-bingar manusia. Aku diam. Sejenak.
Mengapa bertanya tentang hidupku? Bukankah kau yang menginginkan obrolan ini? Aku dan buku usangku sudah cukup untuk melewati hari ini, menghabiskan waktu di tempat ini. Kau yang menghampiriku. Bukan aku yang menyuruhmu duduk di situ. Jadi, marilah kita berbincang tentang hidupmu. Tidak usah terburu-buru. Waktu kita masih banyak. Matahari belum sampai sepenggal kepala. Ceritakan saja setiap detiknya.

Kita bisa bicara, jika kau memang merasa kita harus bicara. Namun, kita hanya akan bicara tentangmu. Bukan aku.
Aku dan hidupku. Bukanlah apa yang bisa kau analisa dengan logikamu yang terbentuk karena orang-orang di sekelilingmu dan apa yang telah kau alami. Percaya padaku, hidupku memang tidak berjalan seperti skenario sinetron, namun kau tidak akan pernah menyangka bahwa ada skenario hidup seperti ini. 

Udara mulai pengap. Hiruk-pikuk semakin sesak. Kepulan asap mengaburkan pandanganku.
Mari kita bicara. Sejenak. Sebelum matahari sepenggal kepala. Ini sudah bahasan ke 25. Sudahkankah kau selesai bercerita? Karena waktuku tidak lagi banyak.
Tapi tetaplah jangan bertanya perihal mendasar. Tempat tinggalku tidaklah sepenting apa. Hanya sederet alamat. Lalu apa? Bisakah kau menganalisaku dari dimana aku tinggal? Tidak.

Aku menginginkan perbincangan ini berjalan pelan namun kau tahu kemana arahnya. Aku ingin ini bukan hanya perbincangan sesaat mengenai data diri, tapi mengenai jati diri. Apa kau bisa? Karena logikaku tidaklah sama. Jika tidak, marilah habiskan kopi kita. Lalu berjalan pulang, kembali ke kehidupan masing-masing.



0 komentar:

Posting Komentar