Dia, Laki-Laki Mungil

Saya masih ingat jelas saat saya mulai ngeh dengan keberadaannya. Sebenarnya sudah terlalu lama saya mengenalnya. Hanya saja selama rentang waktu yang sangat lama itu, ingatan tentang dia tertutup hal-hal lain yang lebih penting.

Saya masih ingat jelas saat saya mulai rajin memperhatikannya. Tidak secara langsung. Hanya mencuri-curi pandang sesekali.

Dan saya juga masih ingat dengan sangat jelas ketika saya akhirnya memutuskan untuk menyudahi apa yang saya rasakan, dengan hati.

Dia, laki-laki mungil, tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Karena kenyataannya saya tidak mengenalnya dengan baik. Hanya sebatas saling bertegur-sapa jika berjumpa. Itu pun belakangan setelah saya mulai mau untuk tersenyum terlebih dulu.

Dia, laki-laki mungil, entah kenapa tiba-tiba saya bisa tertarik. Mungkin memang ada yang salah dengan hati saya. Mungkin. Mungkin benar apa kata teman saya, saya hanya cari-cari kerjaan karena saat itu kondisi saya benar-benar sedang terpuruk. Mungkin benar juga seruan kaget teman saya yang menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap cerita saya. Bahwa saya, yang egonya setengah mati tinggi ini mau dan rela memberikan secuil hati saya yang sangat berharga untuknya. Walaupun tidak pasti akan dikembalikan. Tidak mungkin.

Dia, laki-laki mungil kedua yang saya taksir. Orang-orang bilang saya gila, hilang akal, hilang kendali atas otak saya, sudah tidak waras, kurang kerjaan, hanya iseng, nyari sensasi, cuma untuk bahan candaan, impossible, dan bla bla bla bla lainnya karena saya menaksir seorang laki-laki yang tinggi badannya jauh lebih rendah dari saya. Sangat jauh.

Dia, laki-laki mungil yang sama sekali tidak tahu apa yang saat itu saya rasakan dan apa yang berkecamuk di dalam otak dan hati saya. Dia tidak pernah tahu dan sampai detik tulisan ini selesai, dia tetap tidak tahu. Bahwa, diam-diam, saya pernah berikrar pada diri saya sendiri, untuk belajar menerima, walau orang berkata saya tidak masuk akal. Walau orang-orang di sekitar saya tidak setuju.

Dia, laki-laki mungil, saya masih ingat betul senyumnya ketika berpapasan dengan saya. Saya masih ingat betul setiap percakapan antara kami, karena tidak habis jari tangan untuk menghitung berapa kali kami ngobrol. Tidak sulit untuk tetap mengingatnya.

Dia, laki-laki mungil, tidak pernah sekalipun saya melihat egonya dalam setiap langkah yang ia bawa. Dia tidak berjalan dengan angkuh, namun selalu melihat sekeliling, mencoba membaur. Tidak seperti saya.

Tidak pernah sekalipun, di setiap obrolan kami yang dapat dihitung dengan jari itu, saya menangkap kesombongan dalam tutur katanya. Dia selalu memandang sesuatu dari sisi baiknya. Saya tahu, sangat tahu, itu klise. Tapi saya juga tahu, tidak banyak orang seperti dia yang tersisa di dunia ini. Dan mendapati masih ada orang seperti dia, saya bersyukur. Sembari berharap dalam hati.

Dia, laku-laki mungil, seiring waktu bergulir, saya semakin sadar. Mungkin saya bisa berego untuk menerimanya, mengenyampingkan pendapat orang-orang di sekeliling saya dan membuktikan pada dunia bahwa saya masih punya hati, bukan hanya logika. Tapi mungkin dia tidak.

Lama saya menunggu, untuk sesuatu yang orang-orang bilang keajaiban. Lama saya menunggu untuk dia datang dan berkata bahwa perbedaan ini bukanlah apa. Bahwa ketidaksamaan ini hanyalah perkara biasa. Bahwa dia punya keberanian yang sama seperti keberanian yang saya putuskan untuk saya ambil.

Lama saya menunggu, sembari berpikir. Mengkaji ulang keputusan yang sudah saya ambil, untuk hati saya, untuk harga diri saya, untuk hidup saya. Dan dia tidak kunjung datang hingga akhirnya kami tidak lagi saling bertemu. Lalu saya mendapati, entah dari mana pikiran ini, entah karena asa yang terpatah di tengah-tengah, entah karena kalimat-kalimat orang di sekitar saya semakin jelas terngiang, akhirnya saya mengerti. Bahwa semua tidak semudah yang saya bayangkan. Bahwa semuanya hanyalah ilusi saya belaka. Bahwa dia terlalu jauh dari jangakauan saya. Bahwa imaji tetaplah imaji.

Asa saya dipatahkan oleh logika yang tiba-tiba mencuat dengan gagahnya.

Saya pulang, dengan kekalahan hati dan kemenangan logika. Membuang hati saya ke tong sampah, lagi.


0 komentar:

Posting Komentar