Karena Dia Rei (Part 3)

Akhirnya aku merasakan juga yang namanya patah hati.

Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan.

Aku melihatnya.

Bersama orang lain.

Bergelayut manja dan bercanda akrab.

Dada ini rasanya sesak. Seolah butuh oksigen tambahan. Seperti ada bambu runcing yang menusuk-nusuk. Perih. Aku menyentuhnya. Terasa seperti remuk di dalam.

Malam itu malam amal untuk menggalang dana bagi anak-anak jalanan. Dan aku kembali ikut menjadi panitia di sela-sela jadwalku yang padat agar dapat lebih dekat dengannya.

Tapi aku mendapati hal lain.
Malam itu dia menggandeng seseorang yang tidak kukenal, tapi mereka terlihat sangat akrab.

Aku nyaris muntah. Entah karena melihat kemesraan mereka atau karena mengasihani diri sendiri.

Seharusnya aku sadar diri.

Memangnya siapa aku ini?

Aku bukan siapa-siapa dibandingkan dirinya.

Aku hanyalah Poppy Maharani. Juara umum dan murid teladan se-Jakarta. Hanya finalis Abang-None Jakarta. Hanya vokalis band The Purple Puppet yang sedang naik daun.

Sedangkan dia jauh lebih berharga dari itu.

Tapi aku punya hak untuk mencintai orang lain, kan?


Biarlah perasaan ini tidak berbalas. Begini saja sudah cukup. Aku harus merasa puas. Untuk kali ini tidak boleh serakah.

Tidak lebih karena dia Rei.



-------------------------------------------------------------------------------------

Mungkin rasa ini salah. Mungkin seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya. Mungkin aku yang telah lancang mencintainya dengan perasaan terkutuk ini.

Seharusnya aku sadar. Dia tidak akan mungkin mencintaiku. Tidak. Dia tidak akan mungkin mencinta orang sepertiku.

Lelah terus kucoba membunuh rasa ini.

Walaupun berkali-kali kucoba sadarkan hati, tapi yang ada aku hanya menangis sendiri. Meratapi kebodohanku.

Harus dengan cara apa lagi kuhilangkan rasa ini?

Sakit. Rasa ini menyiksa. Seperti orang yang diamputasi tanpa dibius terlebih dahulu.

Aku ingin melupakannya. Tapi bayangnya terus bermain di benakku.

Tidak pernah sebelumnya kurasakan cinta yang segila ini.

Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya.

Apa aku memilih untuk bertahan?

Berharap suatu saat nanti ia akan menyambut perasaanku dan merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.

Tapi apa itu mungkin?

Kulihat dirinya di seberang sana. Tertawa lepas dengan seseorang di sebelahnya. Menikmati setiap detik kebersamaan mereka.

Dan aku disini sendiri. Menggigit hatiku agar perih yang ada tidak kian kentara terasa. Mencekat leherku agar gejolak cemburu tidak tersembur keluar. Mengunci rapat mulutku dan mengatupkan rahang agar amarah yang memuncak tidak lantang terdengar.

Aku duduk disini sendiri.

Tersiksa dengan perasaan ini.

Hanya karena dia Rei.

Reishavani Putri.

Hanya karena itu.

Aku harus memendam cintaku dalam-dalam.


-THE END-

Karena Dia Rei (Part 2)

Perasaan ini begitu dahsyat. Rasa cintaku kepadanya di luar ekspektasiku selama ini. Begitu berkobar dan besar. Dia adalah satu-satunya di antara sekian banyak laki-laki yang bisa membuatku begini kesusahan. Rasanya seperti orang yang kehabisan oksigen jika sehari saja mataku tidak menangkap sosoknya.

Maka ketika aku bertemu Ega, pacar pertamaku, kembali di sebuah acara reuni SMP aku sama sekali tidak menggubrisnya. Tidak terbayangkan dulu aku begitu tergila-gila padanya hingga rela menjadi pacar keempatnya dan hanya mendapat giliran kunjungan malam mingakun sebulan sekali. Nelangsa sekali nasibku saat itu.

Dia masih dengan pesonanya dan senyum khasnya yang menggoda. Tapi sayangnya jampi-jampi itu tidak mempan lagi padaku. Rei sudah mengisi hatiku. Mendudukinya penuh sehingga tidak ada ruang yang tersisa untuk laki-laki manapun. Termasuk Ega, yang pernah hampir 4 tahun bertahta di hatiku walaupun di saat yang bersamaan aku juga menyukai laki-laki lain. Tapi tidak dengan Rei. Tidak ada satu laki-laku pun yang bersama-sama bertahta di hatiku. Semuanya utuh untuknya.

Jadi saat Ega iseng-iseng mulai merayuku lagi kali ini dengan tegas dan sedikit sinis aku menolaknya mentah-mentah. Ada segurat keterkejutan tergambar di wajahnya. Dia tidak menyangka sihirnya telah sirna dan aku tidak bisa dibodohi lagi. Aku sudah berada jauh dari jangkauannya. Dia berusaha keras dan berulang kali mencoba menghidupkan kembali pesonanya. Tapi sayang perasaanku tidak bisa ditawar lagi. Karena sekarang aku memiliki Rei di dalam hatiku.

Tapi hanya di dalam hati.

Karena pada kenyataannya aku tidak mungkin memilikinya.

Alasannya simple.

Dirinya adalah Rei.



------------------------------------------------------------------------------------

Aku melihatnya. Di lapangan basket. Sedang men-drible bola.

Tubuhnya basah kuyup karena keringat yang membanjir dan rambutnya yang pendek kini lepek. Tapi itu tidak juga menyurutkan pesonanya bagiku. Dia terlihat begitu berkilau. Di antara teman-teman laki-lakinya yang lain, dia terlihat begitu macho.

Aku menyentuh dadaku. Berdegup sangat kencang. Nafasku naik-turun gak karuan.

Ini mungkin yang namanya sindrom jatuh cinta. Lutut jadi lemas dan pandanganku hanya tertuju padanya.

Bel istirahat selesai berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah.

Rei melempar bola di tangannya ke temannya lalu menghampiri bangku pemain dan meraih sebotol air. Dengan mudah dia membuka segel tutup botol itu. Menenggaknya terburu-buru sehingga sebagian cairan bening itu mengalir menuruni lehernya.

Saat dirasanya dahaga telah terpuaskan, dia menutup kembali botol itu dan berjalan meninggalkan lapangan. Saat itulah dia melihatku yang berdiri sendiri seperti orang bego di pinggir lapangan.

Dia menghampiriku.

“Ngapain kamu bengong disini?”, tanyanya.

Aku meneguk ludahku sendiri. Kenapa tiba-tiba rasanya kerongkongan kering-kerontang begini, ya?

“Itu....Nggak...Cuma....”

“Ngeliatin Fadhil?”, tuduhnya tanpa seizinku.

Fadhil? Palyboy itu? No way!

“Dia kan idola gadis-gadis.”, ujarnya dengan senyum menggoda.

“Ahh...Nggak...”, hanya kata itu yang mampu aku ucapkan sebagai pembelaan.

“Oh iya, mobil kamu gimana? Udah ada yang ngurusin? Kalau kamu gak tau mau pulang naik apa, bareng aku aja. Aku anter selamat sampe tujuan.”

Saat aku akan menjawab ‘boleh’, saat itulah pengganggu datang.

Dan pengganggu itu bernama Fadhil.

Dengan santai dia menggantungkan lengannya di pundak Rei.

“Eh, Pop, kalau enggak kamu pulang bareng Fadhil aja. Kebeneran rumah kalian kan searah.”

Mukaku langsung lesu. Sumpah. Seakan nyawaku ditarik setengah dari ragaku.

“Kamu mau kan, Sob?”, yang ditanya langsung mengiyakan kegirangan plus menyumbangkan senyum-paling-lebar-nya sedunia. Membuat perutku mual.

“Kita duluan, Pop.”, dia tersenyum padaku sebagai salam perpisahan.

Tapi dia berhenti sejenak saat melintas di depanku.

“Fadhil udah lama naksir kamu. Have fun, ya!”, dan dia menepuk pundakku dua kali.

Have fun? How can I? Aku cintanya sama kamu! Bukan sama playboy cap Kodok Bangkong kayak dia!

Ingin rasanya aku berteriak detik itu juga padanya. Perasaan ini begitu menyiksa. Tidak dapat kuungkapkan.

Itu karena dia Rei.



-----------------------------------------------------------------------------------


Karena Dia Rei (Part 1)

Entah sejak kapan rasa ini ada. Mengisi setiap relung hati dan membuat jantungku berdetak tiga kali lipat lebih cepat. Meminimalkan nafsu makanku dan menyita hampir dua pertiga memori otakku.

Mungkin sejak aku terlibat di pentas seni sekolah kami bulan lalu. Sebagai ketua OSIS, dia menampilkan wibawa yang mampu membuat nafasku tercekat. Dia begitu berkharisma. Tutur katanya sopan dan senyumnya tulus. Membuatku meleleh seketika. Dirinya begitu indah.

Ketika dia memimpin rapat, dapat kurasakan sihir yang dia tebarkan bekerja. Tidak hanya padaku, tapi pada semua panitia. Semua bersimpatik padanya.

Aku masih ingat dengan jelas suaranya yang lantang berorasi di depan kami untuk menaikkan semangat panitia yang mulai jatuh, pujiannya yang terdengar sangat tulus ketika hasil kerja kami memuaskan, dan sikap tegas yang ditunjukkan untuk mengatur panitia yang hanya sekedar numpang nama saja. Semuanya menunjukkan jika dia adalah pemimpin sejati.

Lalu saat ada masalah menjelang hari H pensi kami, dengan cekatan dia mampu menyelesaikan semuanya sehingga acara berjalan lancar-lancar saja. Mengundang decak kagum tidak hanya dari panitia yang terlibat langsung tapi juga pihak sekolah.

Bukankah dia begitu hebat?

Dan aku jatuh cinta.

Dengan segenap jiwa dan raga.

Tapi aku tahu rasa ini seharusnya tidak ada.

Karena dia Rei.



-------------------------------------------------------------------------------------

Sebenarnya ini bukan pagi yang indah untuk memulai hari.

Dengan keterlambatanku bangun dan ban mobil yang bocor di tengah jalan, hariku praktis nyaris hancur. Pasalnya di jam pertama ada ulangan Sejarah yang menunggu.

Tapi kemudian Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untukku.

Tiba-tiba ia sudah ada disana. Bertengger di atas motornya dengan jaket kulit hitam kesayangannya.

“Kenapa, Pop?”, ia bertanya padaku.

“Ini....Bannya bocor....Mana aku ada ulangan Sejarah lagi jam pertama....”, harap-harap cemas aku menunggu apakah dia akan mengajakku berangkat bersama.

“Ya udah, naik sama aku aja. Nanti kamu bisa suruh orang rumah kamu ngurusin mobil kamu itu.”

Akhirnya....What a fine day?

Aku bersorak dalam hati. Tapi tidak menampakkan reaksi kegiranganku. Hanya sebuah senyum simpul dan muka yang berseri-seri.

Thank’s ya, Rei!”, aku berseru seraya mkamumpat ke atas motornya.

“Pegangan yang kenceng.”, ucapnya sambil menurunkan kaca helmnya ke posisi semula.

Ketika motornya mulai melaju, dalam hati aku berdoa, semoga ini tidak cepat berakhir.

Ini adalah perasaan jatuh cinta yang paling indah yang pernah kurasakan. Tapi setiap kuingat kenyataannya, hatiku perih.

Hanya karena dia Rei.


-------------------------------------------------------------------------------------

Mengawang-Awang....

Gak banyak yang bisa saya lakukan di kantor saat seperti ini. Biasanya saya hanya duduk di depan laptop sembari browsing apa saja yang menarik di mata. Saat-saat seperti ini selalu datang di tiap awal bulan. Saat-saat seperti ini sungguh membuat saya bosan. Ada kerja saat ada uang sebaiknya saya patenkan sebagai pantun baru untuk buruh kontrak seperti saya ini.

Saya menguap. Bukan sekali. Bukan dua kali. Kadang saya malu, ke kantor hanya membuat saya ngantuk, bukannya bersemangat. Mencari-cari dalam tumpukan pikiran, apa kiranya yang bisa saya kerjakan walaupun itu hanya sekedar mengukur dan menggunting.

Lalu saya teringat sesuatu.

Saya bisa menulis kali ini. Untuk membuang penat sejenak, melalaikan pikiran sehingga mata dapat bertahan. Betapa sungguh saya tersadar bahwa tuts di kibor ini sudah lama tidak terjamah selain untuk mengetik laporan. Mungkin saya juga telah berubah menjadi mesin pekerja yang nyawanya hanya ada pada saat deadline. Mesin pekerja yang diburu waktu lalu duduk melongo saat semua tugas telah selesai.

Idealisme yang dulu dipegang erat sepertinya sudah tergerus sedikit demi sedikit oleh beberapa lembar rupiah yang jika dikalikan oleh waktu dan usaha untuk meraihnya serta dikuadratkan dengan biaya hidup yang harus ditanggung saat ini sama dengan minus sekian.

Saya mengerucutkan bibir. Berusaha tidak terusik oleh musik daerah yang sedang bersenandung dari laptop seorang Bapak di hadapan saya. Mencoba menikmati tawa cekikikan Ibu-Ibu di kantor. Berisik, namun saya masih saja mengantuk.

Mungkin saya butuh secangkir kopi. Juga sebuah suasana.