Karena Dia Rei (Part 2)

Perasaan ini begitu dahsyat. Rasa cintaku kepadanya di luar ekspektasiku selama ini. Begitu berkobar dan besar. Dia adalah satu-satunya di antara sekian banyak laki-laki yang bisa membuatku begini kesusahan. Rasanya seperti orang yang kehabisan oksigen jika sehari saja mataku tidak menangkap sosoknya.

Maka ketika aku bertemu Ega, pacar pertamaku, kembali di sebuah acara reuni SMP aku sama sekali tidak menggubrisnya. Tidak terbayangkan dulu aku begitu tergila-gila padanya hingga rela menjadi pacar keempatnya dan hanya mendapat giliran kunjungan malam mingakun sebulan sekali. Nelangsa sekali nasibku saat itu.

Dia masih dengan pesonanya dan senyum khasnya yang menggoda. Tapi sayangnya jampi-jampi itu tidak mempan lagi padaku. Rei sudah mengisi hatiku. Mendudukinya penuh sehingga tidak ada ruang yang tersisa untuk laki-laki manapun. Termasuk Ega, yang pernah hampir 4 tahun bertahta di hatiku walaupun di saat yang bersamaan aku juga menyukai laki-laki lain. Tapi tidak dengan Rei. Tidak ada satu laki-laku pun yang bersama-sama bertahta di hatiku. Semuanya utuh untuknya.

Jadi saat Ega iseng-iseng mulai merayuku lagi kali ini dengan tegas dan sedikit sinis aku menolaknya mentah-mentah. Ada segurat keterkejutan tergambar di wajahnya. Dia tidak menyangka sihirnya telah sirna dan aku tidak bisa dibodohi lagi. Aku sudah berada jauh dari jangkauannya. Dia berusaha keras dan berulang kali mencoba menghidupkan kembali pesonanya. Tapi sayang perasaanku tidak bisa ditawar lagi. Karena sekarang aku memiliki Rei di dalam hatiku.

Tapi hanya di dalam hati.

Karena pada kenyataannya aku tidak mungkin memilikinya.

Alasannya simple.

Dirinya adalah Rei.



------------------------------------------------------------------------------------

Aku melihatnya. Di lapangan basket. Sedang men-drible bola.

Tubuhnya basah kuyup karena keringat yang membanjir dan rambutnya yang pendek kini lepek. Tapi itu tidak juga menyurutkan pesonanya bagiku. Dia terlihat begitu berkilau. Di antara teman-teman laki-lakinya yang lain, dia terlihat begitu macho.

Aku menyentuh dadaku. Berdegup sangat kencang. Nafasku naik-turun gak karuan.

Ini mungkin yang namanya sindrom jatuh cinta. Lutut jadi lemas dan pandanganku hanya tertuju padanya.

Bel istirahat selesai berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah.

Rei melempar bola di tangannya ke temannya lalu menghampiri bangku pemain dan meraih sebotol air. Dengan mudah dia membuka segel tutup botol itu. Menenggaknya terburu-buru sehingga sebagian cairan bening itu mengalir menuruni lehernya.

Saat dirasanya dahaga telah terpuaskan, dia menutup kembali botol itu dan berjalan meninggalkan lapangan. Saat itulah dia melihatku yang berdiri sendiri seperti orang bego di pinggir lapangan.

Dia menghampiriku.

“Ngapain kamu bengong disini?”, tanyanya.

Aku meneguk ludahku sendiri. Kenapa tiba-tiba rasanya kerongkongan kering-kerontang begini, ya?

“Itu....Nggak...Cuma....”

“Ngeliatin Fadhil?”, tuduhnya tanpa seizinku.

Fadhil? Palyboy itu? No way!

“Dia kan idola gadis-gadis.”, ujarnya dengan senyum menggoda.

“Ahh...Nggak...”, hanya kata itu yang mampu aku ucapkan sebagai pembelaan.

“Oh iya, mobil kamu gimana? Udah ada yang ngurusin? Kalau kamu gak tau mau pulang naik apa, bareng aku aja. Aku anter selamat sampe tujuan.”

Saat aku akan menjawab ‘boleh’, saat itulah pengganggu datang.

Dan pengganggu itu bernama Fadhil.

Dengan santai dia menggantungkan lengannya di pundak Rei.

“Eh, Pop, kalau enggak kamu pulang bareng Fadhil aja. Kebeneran rumah kalian kan searah.”

Mukaku langsung lesu. Sumpah. Seakan nyawaku ditarik setengah dari ragaku.

“Kamu mau kan, Sob?”, yang ditanya langsung mengiyakan kegirangan plus menyumbangkan senyum-paling-lebar-nya sedunia. Membuat perutku mual.

“Kita duluan, Pop.”, dia tersenyum padaku sebagai salam perpisahan.

Tapi dia berhenti sejenak saat melintas di depanku.

“Fadhil udah lama naksir kamu. Have fun, ya!”, dan dia menepuk pundakku dua kali.

Have fun? How can I? Aku cintanya sama kamu! Bukan sama playboy cap Kodok Bangkong kayak dia!

Ingin rasanya aku berteriak detik itu juga padanya. Perasaan ini begitu menyiksa. Tidak dapat kuungkapkan.

Itu karena dia Rei.



-----------------------------------------------------------------------------------


0 komentar:

Posting Komentar