Nggak Boleh Ngeluh, Len

Kadang saya pengen ngeluh. Amat-sangat pengen ngeluh. Untuk hal-hal pribadi yang terjadi di hidup saya. Untuk hal-hal yang orang-orang lihat hanya sebatas jarak pandang mereka. Tapi seringnya saya takut. Takut untuk ngeluh. Saya takut disalahkan Tuhan. Saya takut Tuhan mengira bahwa saya mengejek skenario-Nya untuk hidup saya. Padahal bukan itu. Saya hanya mengeluh. Tidak lebih.

Kadang saya pengen bilang ke teman-teman saya betapa saya, yang selama ini hanya diam, ingin sekali berbagi sepatah-dua patah kata dari lubuk hati saya yang paling dalam. Sepenggal-dua penggal cerita yang saya tahan sekuat tenaga untuk tidak tersembur keluar saat saya bersama mereka. Tapi saya takut itu malah membuat saya semakin lemah. Saya menjadi ketergantungan. Karena jika sudah sepenggal-dua penggal cerita, saya yakin esoknya pasti menjadi sebaris-dua baris lenguhan.

Saya enggak maksud ngeluh. Sumpah. Apalagi untuk hal-hal pribadi yang terjadi. Untuk hal-hal yang tidak bisa, sebenarnya bisa saja jika saya muka tembok, saya ceritakan ke sembarang orang. Hal-hal yang menurut saya di luar nalar, namun harus tetap saya batasi dengan koridor logika. Hal-hal yang membuat saya menggigit lidah saya sendiri. Hal-hal semacam itu. Harus saya tahan, walaupun saya ingin muntah.

Saya pengen ngeluh, bukan berarti saya enggak bersyukur. Tapi kalau saya ngeluh, saya kelihatan seperti tidak bersyukur. Untuk apa yang sudah digariskan di hidup saya. Untuk semua yang memang harus terjadi di hidup saya.

Saya enggak boleh ngeluh. Untuk apa-apa yang terjadi di hidup saya. Untuk semua yang digariskan di hidup saya. Saya enggak boleh ngeluh. Enggak. Karena ini bukanlah apa. Hanya skenario Tuhan. Yang enggak boleh saya cela, apalagi saya sumpahi.


0 komentar:

Posting Komentar