Syarat: Gak Merokok



Saya tidak tahu kalimat pembuka yang pantas untuk tulisan ini. Tapi yang jelas ini tentang perbedaan persepsi karena perbedaan gender.
*ecek-eceknya serius*
cool onion head

Lelaki dan perempuan. Selalu melihat sesuatu dari sudut berbeda namun pada akhirnya akan selalu mencari simpang persamaan dimana mereka dapat berdiri di keyakinan masing-masing. Mungkin memasabodohi perbedaan. Atau mungkin mengutukinya? Apapun bisa.

Semasa SMU dulu, pasti ada satu-dua perempuan yang mensyaratkan calon pacarnya adalah laki-laki non-perokok. Percaya saya, tapi jangan mengimani, dulu syarat seperti itu akan sangat dianggap keren oleh teman perempuan yang lain dan akan dianggap unik sebagai seorang perempuan di mata kaum adam. Lagipula, memacari seorang lelaki non-perokok sudah terjamin kehalalannya. Karena merokok itu makruh.
crazy monkey 020*garing 



Saya. Saya adalah dari berjibun perempuan yang mensyarati demikian. Dari dulu.

Sampai sekarang. Sayangnya…

Lalu ada yang berujar seperti ini,

“Perempuan yang mensyarati calon pacarnya non-perokok atau bahkan menyuruh pacarnya untuk berhenti merokok adalah sebenar-sebenarnya alasan yang dibuat-buat.”

Lalu saya berpikir, lama sekali. Seperti tersentil. Karena saya termasuk ke dalam golongan perempuan tersebut.

Saya memang terlahir di keluarga yang sedari saya ada memang bebas dari asap rokok. Bapak saya –dulunya- seorang perokok, semasa lajang. Namun setelah berkeluarga dan punya seorang anak, beliau berhenti.

“Syarat jangan merokok? Bisa sebenernya. Bisa aja kami berpura-pura gak ngerokok. Hanya di depan kalian. Soal bau? Itu bisa diilangin dengan menyikat gigi. Itu bisa.”, lanjutnya menambah kekuatan argumennya.

Saya gak mau kalah dong.

“Berenti ngerokok itu nunjukin komitmen kalo kalian serius mau ke arah pernikahan.”, gitu saya ngomong, sedikit nyolot memang. Karena saya sudah tersentil di awal argumennya.

Dia terkekeh.

“Kalo kayak gitu jalan ceritanya, oke. Kami akan berenti ngerokok setelah kami menikah. Bisa kan?”

Gampang. Sangat gampang dia memuntahkan argumen saya. Sial.

Dan saya kembali terhenyak.

Apa yang ia katakan benar. Jangan-jangan saya juga cuma buat-buat alasan supaya dianggap unik?
Lalu, secuil dari harga diri saya terlepas dari bingkainya. Jatuh, membentur lantai. Berserakan. Tidak lagi saya pungut. Karena apa? Saya merasa tertampar dengan semua argumennya.

Lama saya mikirin hal ini. Sampe di satu titik saya tersadar.

Iya. Saya kemudian nyadar, alasan saya mensyarati pacar adalah non-perokok tidak lain dan tidak bukan berasal dari keluarga sendiri.

Iya lagi. Keluarga saya gak menginginkan saya bersuamikan seorang perokok.

Ya. Tiba-tiba saya merasa keren lagi. Harga diri yang secuil udah berserakan dan ogah saya pungut itu tiba-tiba menyatu kembali ke bingkainya.

Ini jelas bukan soal keren-kerenan atau unik-unikan.

Ini soal kebiasaan.

How your behaviour will show the truly you.

Gimane? Pade ngarti kagak?

Intinya sih gini. Saya mending nyari aman dengan macarin seorang non-perokok karena kalo-kalo salah seorang anggota keluarga saya ngeliat pacar saya entah dimana dengan sebatang rokok di tangan padahal di depan keluarga saya dia ngakunya bukan perokok malah bakal kacau jadinya. 

No, Baby. I won’t take that risk.

Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah:

Don’t give a damn to this shit and you just waste your time to read this. crazy monkey 039

Adios!
crazy monkey 105



0 komentar:

Posting Komentar