Saya tidak tahu kalimat pembuka yang pantas untuk tulisan
ini. Tapi yang jelas ini tentang perbedaan persepsi karena perbedaan gender.
*ecek-eceknya serius*
Lelaki dan perempuan. Selalu melihat sesuatu dari sudut
berbeda namun pada akhirnya akan selalu mencari simpang persamaan dimana mereka
dapat berdiri di keyakinan masing-masing. Mungkin memasabodohi perbedaan. Atau mungkin
mengutukinya? Apapun bisa.
Semasa SMU dulu, pasti ada satu-dua perempuan yang
mensyaratkan calon pacarnya adalah laki-laki non-perokok. Percaya saya, tapi
jangan mengimani, dulu syarat seperti itu akan sangat dianggap keren oleh teman
perempuan yang lain dan akan dianggap unik sebagai seorang perempuan di mata
kaum adam. Lagipula, memacari seorang lelaki non-perokok sudah terjamin kehalalannya. Karena merokok itu makruh.
Saya. Saya adalah dari berjibun perempuan yang mensyarati
demikian. Dari dulu.
Sampai sekarang. Sayangnya…
Lalu ada yang berujar seperti ini,
“Perempuan yang mensyarati calon pacarnya non-perokok atau bahkan menyuruh pacarnya untuk berhenti merokok adalah sebenar-sebenarnya alasan yang dibuat-buat.”
Lalu saya berpikir, lama sekali. Seperti tersentil. Karena saya
termasuk ke dalam golongan perempuan tersebut.
Saya memang terlahir di keluarga yang sedari saya ada memang
bebas dari asap rokok. Bapak saya –dulunya- seorang perokok, semasa lajang. Namun
setelah berkeluarga dan punya seorang anak, beliau berhenti.
“Syarat jangan merokok? Bisa sebenernya. Bisa aja kami
berpura-pura gak ngerokok. Hanya di depan kalian. Soal bau? Itu bisa diilangin
dengan menyikat gigi. Itu bisa.”, lanjutnya menambah kekuatan argumennya.
Saya gak mau kalah dong.
“Berenti ngerokok itu nunjukin komitmen kalo kalian serius
mau ke arah pernikahan.”, gitu saya ngomong, sedikit nyolot memang. Karena saya
sudah tersentil di awal argumennya.
Dia terkekeh.
“Kalo kayak gitu jalan ceritanya, oke. Kami akan berenti
ngerokok setelah kami menikah. Bisa kan?”
Gampang. Sangat gampang dia memuntahkan argumen saya. Sial.
Dan saya kembali terhenyak.
Apa yang ia katakan benar. Jangan-jangan saya juga cuma buat-buat
alasan supaya dianggap unik?
Lalu, secuil dari harga diri saya terlepas dari bingkainya. Jatuh,
membentur lantai. Berserakan. Tidak lagi saya pungut. Karena apa? Saya merasa
tertampar dengan semua argumennya.
Lama saya mikirin hal ini. Sampe di satu titik saya
tersadar.
Iya. Saya kemudian nyadar, alasan saya mensyarati pacar
adalah non-perokok tidak lain dan tidak bukan berasal dari keluarga sendiri.
Iya lagi. Keluarga saya gak menginginkan saya bersuamikan
seorang perokok.
Ya. Tiba-tiba saya merasa keren lagi. Harga diri yang secuil
udah berserakan dan ogah saya pungut itu tiba-tiba menyatu kembali ke
bingkainya.
Ini jelas bukan soal keren-kerenan atau unik-unikan.
Ini soal kebiasaan.
How your behaviour will show the truly you.
Gimane? Pade ngarti kagak?
Intinya sih gini. Saya mending nyari aman dengan macarin
seorang non-perokok karena kalo-kalo salah seorang anggota keluarga saya
ngeliat pacar saya entah dimana dengan sebatang rokok di tangan padahal di
depan keluarga saya dia ngakunya bukan perokok malah bakal kacau jadinya.
No, Baby. I won’t take that risk.
No, Baby. I won’t take that risk.
Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah:
Don’t give a damn to this shit and you just waste your time
to read this.
Adios!
0 komentar:
Posting Komentar