Nikah Cepet dan Nikah Lama


Di sebuah warung kopi di persimpangan jalan.
“Kenapa cepatnya kau nikah, Boy? Usiamu masih 25. Nikmatilah dulu kebebasan. Foya-foya dengan gajimu sendiri. Nanti sudah nikah, gajimu pun tak bisa lagi kau pegang.”
“Tak sangguplah aku, Dit. Pulang kerja capek, inginnya ada yang layani. Pusinglah aku begitu pulang masih harus ngurusi tetek-bengek yang makanlah, baju kotor lah, inilah itulah. Bah. Enaknya pulang bisa langsung istirahat, tak lah aku dipusingkan sama urusan-urusan sepele seperti itu, ada istri yang melayani.”



Di sebuah café bernuansa teduh.
“Nungguin apa lagi sih, Win? Umur kamu sebentar lagi menginjak 27 loh. Gak kepikiran buat married, apa?”
“Entahlah, Ne…mikirin married. Mikirin tugas dan kewajiban nantinya. Ngurusin ini ngurusin itu. Pulang dari kantor udah capek, masih harus ngelayanin suami. Belum masak, urusan rumah, tagihan ini-itu, apalagi kalo udah punya anak. Masih pengen bebas, Ne. Masih pengen nikmatin gaji sendiri. Masih pengen travelling kesana-sini. Pokoknya masih pengen hidup bebas.”



Inilah zaman di saat pernikahan dianggap suatu pelengkap oleh kaum laki-laki dan akhir dari segala bentuk kebebasan oleh kaum perempuan.


Zaman ketika kepercayaan pada Tuhan mengenai jodoh dibungkus ego rapat-rapat. Jodoh dapat ditawar seenak jidat. Jodoh juga bisa dicadangkan – menolak yang ini, besok juga bakal ada yang lain –pastinya dengan pertimbangan yang tidak matang.


Inilah zaman. Bergerak seiring akal manusia.




0 komentar:

Posting Komentar