Hujan. Masih teringat jelas di benak saya, kala kecil dulu. Hujan adalah euphoria untuk dinikmati bersama kedua abang saya. Ya. Apalagi kalau tidak berlari-lari di bawah guyuran hujan –mandi hujan, begitu disebutnya, berguling-guling di kubangan air hujan –main becek, begitu istilahnya. Hujan dapat menjelma menjadi rasa suka cita dan senyum selebar lapangan bola karena ternyata hari ini tidak perlu ke sekolah.
Namun, pernahkah hujan dianggap berkah yang disambut dengan rasa syukur dan kegembiraan yang tiada tara di usia seperti ini? Di saat beban pikiran semakin menumpuk, masalah yang datang tidak lagi sekedar bisa diselesaikan dengan sebuah kata “maaf” atau dilupakan begitu saja. Hujan bukan lagi sebuah euphoria yang diiringi teriakan kegirangan.
Hujan dapat menjadi alasan untuk sesal yang tiba-tiba mencuat karena janji yang tidak bisa dipenuhi.
Hujan dapat menjadi emosi mengupat-merutuk-memaki karena planning yang sudah diatur sedemikian rupa berantakan jadinya.
Hujan dapat menjadi cemas-resah-gelisah karena tidak dapat berjumpa dengan kekasih.
Bahkan belakangan, hujan dicurigai menjadi penyebab utama tingkat kegalauan seseorang. Baru gerimis saja sudah galau. Mengapa harus mengaitkan hujan dengan sebuah perasaan yang tidak jelas seperti itu? Ah, saya tidak ahli dalam menjabarkan hal itu.
Well, ini hujan. Saya sedang tidak memiliki janji dengan sesiapapun, sedang tidak emosi karena planning saya hancur berantakan, sedang tidak cemas karena tidak dapat berjumpa dengan kekasih. Bahkan, yang paling penting, saya sedang tidak galau.
Walaupun dari balik jendela, saya akan menikmati hujan kali ini, mengenang masa kecil saya.
Tapi, somewhen, saya akan mengulanginya. Somewhen. With someone. :)
yuk mandi ujan..
BalasHapus:D