Kelapa Muda Si Okto Nomor 10


Kamis lalu, setelah selesai dengan urusan tetek-bengek wisuda yang datangnya baru minggu depan, di saat saya merasa sangat lelah juga bau –harus mengantri tepat di bawah terik matahari yang menyebabkan badan saya keringetan juga hari yang sudah kesiangan dimana berarti wewangian yang saya pakai pasti sudah berkurang aromanya-, saya memutuskan menginginkan sebuah kelapa yang masih muda yang airnya bisa saya seruput untuk melegakan dahaga dan dagingnya yang masih lunak bisa saya ciduk untuk meredakan secuil rasa lapar saya yang membahana seantero perut.

Saat pantat saya sudah nemplok di kursi plastik berwarna hijau, seorang pria paruh baya menghampiri saya, menanyakan pesanan saya. Maklum, dia tidak hanya menjual kelapa muda, namun juga es campur, es dawet, es rumput laut, juga minuman menyegarkan lainnya.

Saya memesan kelapa muda tanpa tambahan sirup atau gula, hanya sedikit perasan jeruk nipis. Juga es batu terpisah agar bisa saya taruh sendiri sesuai selera. Setelah menunggu tidak lebih lama dari mengantri di KFC saat sedang jam makan siang, pesanan saya datang. Sebuah kelapa muda yang masih bulat, hanya bagian atasnya yang dipotong agar bisa diseruput airnya dan diciduk daging lunaknya, datang. Namun, bukan si Bapak yang mengantar pesanan saya, melainkan seorang bocah lelaki.  Seorang bocah lelaki memakai jersey merah tim sepakbola Indonesia. Di punggungnya tertera nama pemain asal Jayapura –Okto- dengan nomor punggung 10.

Mari saya ceritakan sedikit perawakan bocah lelaki ini.

Bocah ini berjenis kelamin laki-laki. Dari mana saya tahu? Jangan asal nuduh, saya nggak sampai menodongkan pisau dan memaksanya buka celana. Usianya mungkin 10 tahun, berkulit gelap, berkepala plontos, tinggi badannya kira-kira satu meter. Dia datang dengan berjinjit karena takut kepala yang dipegang dengan kedua tangannya itu tumpah. Mungkin sebuah kelapa untuk bocah berumur 10 tahun masih terbilang berat. Begitu dia sampai di meja saya, dengan hati-hati dia meletakkan kelapa muda itu. Perlahan. Lalu, setelah kelapa muda itu sukses didaratkannya di atas meja saya, tanpa melirik, dia langsung pergi.

Lagi, dia datang menghampiri meja saya, meletakkan piring tersebut, namun kali ini, sebelum dia pergi, dia melirik saya sekilas. Saya mengucapkan terima kasih, namun dia tidak membalas. Bahkan segaris senyum saja tidak saya dapatkan sebagai balasan.

Di sela-sela saya menikmati kelapa muda yang sudah saya perasi dengan jeruk nipis dan saya tambahkan sedikit es batu, saya memerhatikan bocah lelaki itu. Dia masih sibuk mengantar pesanan-pesanan pelanggan lainnya, masih tanpa senyum tersungging. Entahlah, mungkin ia hanya terlalu lelah harus membantu bapaknya berjualan. Saya masih terus mengedarkan pandangan mengikuti kemana bocah lelaki itu melangkah. Ada rasa yang beragam memenuhi rongga hati saya. Kagum, terenyuh, menyesal, mengutuk, memuji.

Kagum, untuk semangatnya mengantar berpuluh-puluh pesanan dengan sangat hati-hati ke setiap meja yang terisi.

Terenyuh, untuk anak seusianya dapat merelakan waktu bermainnya berkurang demi membantu sang ayah berjualan.

Menyesal, untuk saya yang sudah begitu manja selama ini.

Mengutuk, untuk saya yang selalu merutuk setiap Ibu meminta saya melakukan sesuatu. Bahkan, hanya untuk sekedar merapikan tempat tidur saya sendiri.

Dan memuji, untuk setiap keikhlasan tanpa senyum yang ia tunjukkan pada saya. Mungkin juga pada pengunjung lain.

Hari beranjak sore. Badan sudah sangat bau. Saya tahu saya harus pulang. Maka, saya bangkit dari kursi yang saya duduki, berjalan menghampiri si Bapak yang tengah membelah kelapa muda, menanyakan total yang harus saya bayar. Si Bapak kemudian meminta anaknya mengambil uang kembalian di laci gerobaknya. Saat saya menyerahkan selembar dua puluh ribu, lalu bocah lelaki itu menyerahkan selembar sepuluh ribu sebagai kembalian, saya mengucapkan lagi, “Makasih ya, Dek.”, dengan sejumput senyum, memasukkan uang kembalian ke dalam dompet. Tidak berharap.

Tanpa aba-aba, tanpa saya duga, segurat senyum tergambar di wajahnya. Lalu, dengan tatapan malu-malu dia berujar, “Iya.”

Ah, ntah kenapa, adem hati saya rasanya.


0 komentar:

Posting Komentar