Dulu 28. Sekarang 30.


Well, sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis ngalur-ngidul kesana-kemari naik-turun gunung Kidul dengan kepala gundul dan perasaan amburadul.

Hari ini, saya niatnya mau ke rumah sahabat saya jam 9. Teng. Namun, apa daya kupu-kupu tak mampu kutangkap, saya ngaret setengah jam. Begitu nongol di rumah sahabat saya itu, dengan tampang sangar dia langsung berujar, “Heh, bilang jam 9!”, sambil tangan kanannya memegang gelas berisi ekstrajos. Dia sungguh terlihat seperti kuli-kuli di iklan itu yang menghiasi televisi di sela-sela sinetron Kupinang Kau Dengan Bismillah yang ditonton ibu saya di kala malam merajai hari dan remote tv dikuasai beliau.

Ya. Saya adalah korban tak kasat mata dari sinetron-sinetron yang dicekoki oleh Ibu saya lewat mata saya.

Lupakan itu.

Lalu, saya dan dua sahabat saya berangkat menuju kampus, RKU* 1, tepatnya. Untuk apa? Biasa, kuliah. Itu kan kerjaan mahasiswi baru angkatan 2011?

#dilemparin bata

Saya mau daftar untuk wisuda tanggal 24 besok. See? Akhirnya saya lulus juga! Hurrraaaay….!!!!

Maafkan, ini hanya euphoria sementara sebelum menghadapi realita setelahnya bahwa saya adalah pengangguran terbaru di tahun ini. Cih. Miris sekali.

Tapi ternyata, saya belum bisa mendaftar. Alasannya? Yah, itu cukup menjadi rahasia saya dan petugas itu. Cukup.

Jangan tanya lagi! Yang jelas saya punya uang. Juga selembar pas foto ukuran 4x6 yang menjadi syarat untuk mendaftar.

Akhirnya, karena ke-geje-an itu, saya dan dua sahabat saya memutuskan untuk duduk sejenak di kantin kampus. Sekedar menghilangkan penat sembari mengobrol. Sudah lama sekali rasanya ketika terakhir kali kami duduk bersama dan mengobrol soal ini-itu.

Ya. Mereka adalah sahabat saya semenjak di bangku SMU. Tepatnya sejak 2003. It’s been a long time that we’ve been together. Yup. I love them so.

Umur sudah 20-an. Sudah selesai kuliah. Pembahasan tidak akan jauh-jauh dari pernikahan, mahar, dan pekerjaan. Ah, pembahasan yang dulunya, tepatnya setaun lalu masih sangat-amat saya hindari, kini harus saya hadapi. Gimanapun, suka atau enggak. Waktu terus bergulir dan kita akan menua. Itu pasti. Maka, saya pun mulai mencoba menikmati pembahasan ini yang sudah sedari bertahun-tahun lalu selalu menjadi topik terhangat di antara sahabat-sahabat saya itu. Antuasisme yang luar biasa dari mereka di kala SMU, seingat saya, ketika membahas mengenai pernikahan.

“Aku di umur 23 pengennya.”, saya lupa siapa yang mengungkapkan itu, mungkin Fannia.

“Sama, aku juga pengennya di umur segitu.”, timpal Eva, mungkin.

“Aku 24 dong!”, celetuk Ika semangat.

Fannia udah. Eva udah. Ika udah. Dan jam istirahat masih lama selesai.

“Kamu, Len?”

“28”, santai saya jawabnya.

“Apa-apaan? 28 itu udah ketuaan.”

Lalu satu persatu mulai menasehati saya. Tepatnya menyadarkan saya karena mereka menganggap saya sudah tidak waras.

Lalu, waktu bergulir. Membawa kami ke babak hidup yang berbeda. Ke fakultas yang berbeda. Ke teman-teman yang berbeda. Hidup sudah tidak lagi sama. Tidak ada lagi PR yang bisa saya salin atau jawaban ulangan yang bisa saya contek.

Tiba-tiba, kami sudah duduk disini, saya lupa dimana tepatnya. Mungkin di dalam mobil Fannia saat itu. Yang jelas kami membahas ulang topik itu. Pernikahan dan umur.

“Ah, aku kayaknya nggak mau kalo 24. Kecepetan. Ini aja baru selesai kuliah. Kan pengennya kerja dulu, nikmatin duit sendiri dulu. Kalo udah puas, baru mikirin married. Kayaknya 26 atau 27 deh.”, sahut Eva  di kala itu.

“Iya, Va, aku juga deh kayaknya. 26 pas itu. Ini kan masih 23 dan baru tamat, abis ini cari kerja. 3 taun dirasa cukuplah untuk nikmatin waktu sendiri.”, Ika menimpali.

“Fannia juga. Tapiii…masih pengen sih nikah muda.”

Lampu lalu-lintas berganti merah. Fannia menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Fokus mereka terpusat, ke arah saya. Dunia terasa akan kiamat.

“Kamu…Len?”, saya lupa siapa yang bertanya, namun ada penekanan di setiap katanya.

“30”

“Naik lagi?”, Fannia histeris.

“Len, 28 aja, kenapa?”, Ika membujuk.

Eva geleng-geleng pasrah.

Saya? tersenyum simpul sambil memandang ke luar jendela mobil.

Lalu satu persatu dari mereka mulai menasehati saya lagi. Tepatnya MEMAKSA saya untuk sadar dari ketidakwarasaan yang menurut mereka semakin parah saya alami.

Matahari begitu terik dan banyak kendaraan lain berseliweran.


Inti dari tulisan ngalur-ngidul ini adalah:
“Marilah telat menikah.


*Ruang Kuliah Umum



0 komentar:

Posting Komentar