Malam belum begitu larut. Namun, Suratsih sudah duduk manis di atas tempat tidur kayunya. Menunggu suaminya selesai mandi. Suratsih membenarkan letak dasternya. Sudah senyum-senyum ia sedari tadi. Pasalnya ini kali pertama dia akan melayani suaminya lagi setelah kecelakaan dua bulan lalu. Tergelincir di kamar mandi. Lantai kamar mandi yang hanya disemen halus licin akibat lumut yang tumbuh. Selama sebulan Suratsih dirawat di rumah sakit dan sebulannya lagi dirawat di rumah oleh sang suami.
Pun tidak dapat mengingat apa-apa tentang suaminya, bahkan tentang dirinya, Suratsih merasa sangat dekat dengan pria yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ itu. Maka, tak elak ia percaya begitu saja bahwa Mas Hendro adalah suaminya. Tidak ada suatu keraguanpun. Walau Mas Hendro terlihat jauh lebih tua darinya. Ah, bukan suatu keanehan memiliki suami yang umurnya terpaut jauh, pikir Suratsih.
Di awal Suratsih menanyakan siapa dirinya, terdapat raut kaget di wajah Mas Hendro. Namun, perlahan raut itu mengendur. Sedetik kemudian senyum Mas Hendro tersungging sembari berkata, “Aku suamimu, Sih.”
Langkah kaki terdengar semakin jelas mendekati kamar Suratsih. Dag-dig-dug seeeer jantung Suratsih. Pipinya bersemu merah jambu. Merasa seperti malam pertama. Mungkin karena sakit amnesianya, ia merasa asing.
Pintu kamar bergeser lalu tampaklah sesosok lelaki paruh baya berperut buncit dan hanya dililit handuk sepinggang. Ia tersenyum pada Suratsih. Perempuan itu membalasnya, namun tidak dapat dipungkiri ada rasa grogi menyelusup. Perlahan Mas Hendro mendekati Suratsih, naik ke atas tempat tidur lapuk yang banyak berderit.
Sepasang mata Mas Hendro mulai jelalatan ke atas tubuh Suratsih yang masih dibalut daster. Lelaki itu meraih pundak Suratsih dan mulai menanggalkan daster Suratsih. Diam, Suratsih mematung. Lalu Mas Hendro mulai menikmati tubuh Suratsih. Diam, Suratsih masih mematung. Ia merasakan perutnya bergolak hebat. Dan tiba-tiba ia merasa sangat pusing.
Suratsih mengaduh, namun Mas Hendro acuh. Dipikirnya Suratsih menikmati apa yang sedang terjadi. Pusing itu semakin menjadi, kini Suratsih merasa kepalanya akan copot. Tak ayal Suratsih mendorong Mas Hendro ke sisi tempat tidur. Aduhannya semakin keras. Sakit sekali.
Mas Hendro bingung. Setengah ketakutan. Tidak tahu ada apa dengan istrinya. Baru saja foreplay, kenapa Suratsih sudah kesakitan begini?
Panik, Hendro lalu mendekati Suratsih. Diguncang-guncangkannya pundak Suratsih hingga perempuan itu tergeletak.
“Kamu kenapa, Sih?! Kenapa?!”, tanya Hendro penuh khawatir.
Suratsih memegang kepalanya. Masih mengaduh. Dibukanya matanya perlahan lalu ia menangkap sosok Mas Hendro tengah mengangkanginya. Juga dirinya yang sudah tidak berdaster.
Dengan kaget ia berseru, “Bapak?!”
0 komentar:
Posting Komentar