Perempuan mana yang nggak seneng dikatain cantik oleh lawan jenis? Apa lagi kalo itu lawan jenis adalah tambatan hati. Melting sampe bercecer kemana-mana, mungkin. Oh, ada, keponakan saya yang baru berusia 3 tahun, ogah dikatain cantik.
“Talitha gak cantik! Talitha jelek!”, berseru dengan nada tinggi pertanda marah.
Well, baru satu perempuan yang saya temukan tidak senang dikatakan cantik.
(Sampelnya nggak bener)
Balik lagi ke pujian cantik ini. Walaupun mungkin, sebagian besar perempuan sadar, tampilan fisiknya tidak cantik, tapi tak pelak jika yang menyanjungkan pujian tersebut adalah pujaan hati, sudah tentu-pasti-absolutely entah keberanian dari mana kita langsung meyakini bahwa kita……cantik.
Nggak ada yang salah.
Itu kan kayak kata pepatah yang baru-baru ini aja beken.
Bukan titik yang membuat tinta
Tapi tinta yang membuat titik
Bukan cantik yang membuat cinta
Tapi cinta yang membuat cantik
Dengan kata lain, cinta itu bisa ngubah apa aja yang kurang bagus menjadi sangat bagus. Termasuk dalam penilaian tampilan fisik.
(saya nggak tau banyak yang setuju soal ini atau nggak)
Tapi gimana dengan pujian……manis?
Cantik dan manis, berbedakah?
Kata temen saya kala itu, “Beda. Cantik itu ngebosenin. Tapi manis nggak. Manis itu udah pasti cantik. Cantik belum tentu manis.”, gitu katanya. Saya manggut-manggut.
Terus saya tanya lagi ke temen lain soal cantik dan manis ini. Paling suka dipuji apa.
“Manis. Tapi kalo dipanggil sama pacar, sukanya Cantik. Panggilan Manis kok kayak abegeh-abegeh gitu yah rasanyah.”
Dan beberapa teman lain pun berpendapat sana, lebih senang dipuji manis untuk ukuran fisik ketimbang cantik.
Maka saya simpulkan cantik itu stratanya di bawah manis.
Tapi pegimane ceritanye kalo-kalo kita yang udah sering dipuji manis ini denger sang pujaan hati muji perempuan lain cantik?
Marahkah?
Kenapa? Kan kita dapet pujian paling tinggi, yaitu manis.
“Banyak perempuan cantik. Tapi sedikit yang manis.”, gitu alibi seorang laki-laki ketika pacarnya marah gara-gara ia mengatakan seorang perempuan cantik.