“Mungkin, kamu juga harus mengingat ini.”
Saat itu senja sedang pekat. Bukan jingga. Bukan juga kemerah-merahan setelah seminggu hujan tidak turun seperti bulan lalu. Ini senja. Dan ia gelap.
Aku sedang bersamanya. Wajahnya samar, tertutup kabut serta merta ketiadaan cahaya. Suaranya asing, tidak berat, tidak juga ringan. Namun berbaur antara keterserahan dan keterpasrahan, dengan sedikit keangkuhan. Aku mengenalnya hanya dari tutur kata serta tatap mata tak saling berbalas.
“Tidak semua ikan dapat ditangkap dengan cara yang sama.”, sayup kudengar lirih bicaranya. Lirih, namun emosi sedikit menekan lidahnya. Jarak kami tidak begitu jauh, namun entah mengapa tidak dapat kudekap keakraban nyata bersamanya.
Aku sedikit tercenung.
Pernah sekali waktu kudengar kalimat itu. Keluar dari mulut Lelakiku. Di saat itu badai bergemuruh dan tangan kami hampir terlepas. Di saat itu, Lelakiku berkata, “Karena tidak semua ikan dapat ditangkap dengan cara yang sama.”
Lalu badai menghening.
Kusungging senyum namun dengan helaan nafas yang tentu saja tidak terlihat dan tersamar. Pekat senja semakin meraja, bahkan sekarang desahan nafasnya tidak lagi bisa kuraih dalam angin yang bergelung panas.
“Maaf, dengan segala hormat yang kupunya, aku tidak bisa menerima kalimat itu.”
Memang badai terhenti setelah Lelakiku membisikkan kalimat itu pada gemuruh angin. Dan seharusnya aku bersyukur. Kalimat itu menyambung genggaman tangan kami.
Tapi, pantaskah aku bersyukur jika kalimat itu terpatri untuk keyakinanmu?
“Mengapa?”, sebuah tanya mencuat serta-merta diamku memaku. Tidak seberapa lama.
Gegap-gempita dunia menghantarkan kami kesini, bersedia dipeluk senja bertajuk pekat. Ada kedamaian dalam hening panjang sebelum hari menuju malam. Ada lelah terhapus dalam selimut hampa ruang tak bersekat. Dalam senja. Pekat. Gelap. Namun menenangkan.
“Dalam imajimu, mana yang kamu pilih, menjadi penangkap atau ikan yang ditangkap?”
“Ikan. Aku menunggu penangkap.”
Aku tahu, serta-merta, mengapa aku tidak dapat menerima kalimat itu kali ini. Karena kamu ingin menjadi ikan yang berenang terbatas di kolam, menunggu hingga seorang penangkap yang tepat tiba. Melepaskanmu dari keruh air, membawamu ke lautan luas, lalu kamu dapat berenang bebas, mengarungi samudera.
“Pesimis”, aku mematut menatap bayangannya. “Bahkan ia sendiri sebenarnya tidak begitu yakin dapat berhasil melakukannya.”
Lalu bayangnya semakin jelas terlihat di antara permadani dedaunan gugur. Aku tahu, senja sudah menghilang, seiring nyanyian malam mulai menyendu di balik pepohonan.
Kini, mulai dapat kutatap gurat-gurat keraguan terselip di antara keyakinan yang sengaja ia bangun menipu diri. Agar langkahnya lebih gagah, agar tegap badannya terbusung sempurna, agar tahu, hidup ini masih menyisakan sedikit kesempatan untuk digenggamnya.
Sekali lagi kucoba menatapnya dengan jelas.
“Penangkap ke berapa yang akan kamu izinkan untuk menangkapmu? Penangkap yang seperti apa?”
“Seperti Lelakimu.” Dan aku terpatung.
“Aku menunggumu Lelakimu datang, menyelamatkanku.”
Lalu bayangnya di antara permadani dedaunan gugur memerah, nyanyian malam memekik. Ia terkulai. Aku terengah. Lalu bulan menghilang. Setelah ia melihat sebilah pisau terhujam.
“Dia Lelakiku. Dan kamu tidak lagi harus menunggunya.”
Aku meludah.