Menyambung postingan Intan Khuratul Aini soal apa yang seharusnya ada di sebuah toko baju, saya kira juga
perlu dimiliki toko yang menjajakan jilbab. Mengingat beragam-macamnya bentuk
jilbab belakangan ini, atau hijab buat kata gaulnya, saya merasa wajiblah
pekerjanya dibekali dengan skill
memakai jilbab berbagai kreasi. Ini dikarenakan selera dan gaya seseorang
berbeda-beda. Mungkin si A pengen model jilbab yang melintir-melintir hingga
kita yakin pastilah kain meteran yang dipakainya sebagai jilbab dan si B gak
suka yang begitu meilntir-melintir, lebih suka yang simpel cara pakainya tapi
tetap keliatannya njelimet.
Women!
Maka dari itu, perlu sekali yang
jualan di toko jilbab itu menguasai teknik-teknik memuter-muter jilbab
dikarenakan begitu banyaknya jenis dan rupa jilbab belakangan ini. Contohnya,
ada yang namanya pashmina, katun jepang, atau entah apa lagi itu namanya. Dan gak
boleh diskriminasi gender. Mau laki
mau perempuan yang jualan tetep-kudu-harus bisa. Karena pembeli pasti ingin
kepuasan kan?
Nah, di suatu siang yang gak
begitu siang, bertamasyalah saya bersama dua orang teman saya ke pasar Aceh
yang ada AC-nya. Saya sih modal ngences doang, yang belanja itu dua temen saya
ini. Si temen, sebuat aja namanya Eva, ternyata punya tempat jilbab
langganannya. Jangan nanya nama toko, tapi letaknya itu di lantai 2 agak
kebelakangan dikit dua deret dari sudut 45 derajat dengan ketimpangan 67
derajat. Yang jualnya sih laki-laki, masih abang-abang. Cakep. Kalo jilbaban.
Eva mulai menjelaskan model
jilbab yang ingin dikenakan dan menanyakan harus seperti apakah pilihan jilbab
di antara begitu banyaknya jilbab yang dipajang di toko tersebut. Si Abang
terdiam, melihat ke sekeliling toko, lalu menarik nafas panjang dengan tatapan
menerawang. Ketika tarikan nafas itu dilepaskan, si Abang menatap Eva lirih…
Dengan sigap si Abang mengambil
sehelai jilbab. Cap…cep…cap…cep…
Dan voila!
Si Abang sudah jilbaban dengan
anggunnya.
Sayah takjub, Sodarah-sodarah!
Mau nangis rasanya. Saya aja gak
pinter pake gituan. Tapi si Abang itu….Abang itu…
Sungguh melukai harga diri saya!
“Tapi gak suka yang model gitu,
Bang. Yang lain bisa?”, mulut mungil Eva sungguh terkutuk. Saya merutuk. Saya was-was apa yang akan saya liat selanjutnya.
Si Abang nyengir, lalu seperti
ditantang duel , ia langsung membuka jilbab tadi dan membuat model baru. Masih di
kepalanya sendiri
Saya masih melotot, terperangah
tak berdaya. Abang….lihat apa yang kau
lakukan pada harga diriku?! Berserakan di lantai tokomu!
Singkat cerita, saya akhirnya
pulang, setelah selesai memungut kepingan harga diri.
Tapi kalo saya pikir-pikir, perlu
juga kan yak skill semacam itu di
zaman bersaing seperti ini? Seenggaknya dapat memikat calon konsumen yang
merasa tertolong di tumpukan kebingungan karena banyaknya pilihan jilbab. Atau untuk
perempuan-perempuan kayak saya, cukuplah untuk hiburan.
Kayak situ? Yang kayak apa
emangnya, Neng?
haha
BalasHapus