Via sesenggukan di sudut tempat
tidur. Disesapnya rokok dengan tergesa.
“Gue gak bisa, Rin…”, tangisnya
pecah. Abu rokoknya berhamburan ke lantai. Aku beringsut mendekatinya.
“Dulu…dulu itu, indah banget! Everything was so perfect! Ben itu
laki-laki yang paling cocok, yang paling bisa bikin gue bahagia. Dia…dia…”,
tersengal, nafas Karin diiringi batuk oleh sesaknya asap rokok.
“Setelah gue hamil, he said he wasn’t ready. Fuck. Gue
ngerasa tolol saat itu. But damn, I can’t
stop loving him, Rin… Dia…dia tinggalin gue gitu aja. Gue coba tegar. Gue
harus tetep hidup demi anak itu. I love
him so much, Rin. And I love his baby too…”
Aku meraih pundak Via dan
menariknya ke pelukanku. Kubiarkan kepalanya di pundakku dan isak tangisnya
pecah.
“Lu tau apa, Rin? Lu tau…”, Via
mengangkat kepalanya. Ia menyeka air matanya.
“Setelah 2 bulan, gue
keguguran…gue keguguran, Karin! Tapi Ben tetep gak mau balik sama gue.” Kutatap
lekat sepasang mata Via yang sembab dan berair. Sudah tidak tidur beberapa malam,
sepertinya.
“Dia bilang gue sampah. Iya.
Sampah. Semua perempuan yang udah pernah dia tidurin dan dia buang, gak akan
sudi dia kutip lagi. Bego ya gue, Rin?”
Aku masih menatap lekat sepasang
mata coklat Via.
Dan diam.
“Gue hancur, Rin…gue pengen mati.
Tapi gue terlalu takut…”
Tirai jendela yang masih tertutup
rapat. Cermin yang telah pecah menjadi kepingan.
Sekali lagi aku menatap sepasang
mata coklat milik Via. Sembari tersenyum, meraih isi tasku. Lalu memberikannya
pada Via.
- - -
“Siapa, Ben?”, tanyaku saat Ben
menolak panggilan masuk di ponselnya.
“Via.”, sahutnya singkat.
“Dia gak ngerti kata ‘gak mau’
kayaknya ya. Berkali-kali aku bilang, aku udah gak suka sama dia. Masih aja
neror aku.”
Aku diam.
“Sahabat kamu itu psycho kayaknya. Kemarin…” kalimat Ben
terputus saat ponsel kembali berdering.
“Anjing! Kamu liat kan? Liat?
Perempuan kayak gini nih yang bikin laki-laki jadi kasar. Nanti dikasarin,
salah, dibilang lah gak menghargai perempuan. Shit!”
Aku diam.
Ben memutar stir ke kiri.
“Sayang? Kamu kok diem aja?”, Ben
menoleh.
“Oh, nggak kok. Aku gak
apa-apa.”, aku menjawab cepat, tersenyum.
“Kalo gitu lakuin sesuatu dong ke
sahabat kamu itu. Kamu apain kek. Supaya dia gak ngejar-ngejar aku lagi. Kalo
perlu kamu matiin sekalian.”
Mobil melaju melambat dan
memasuki area parkir.
“Hayuk, Sayang? Bahas si Via, sahabat
kamu itu, bikin mood aku jelek. Kalo
udah kayak gini aku males ngapa-ngapain. Nanti kamu yang harus ekstra bikin aku
semangat.”
Ben turun dari mobil dan
membukakan pintu untukku.
Kami berjalan beriringan masuk ke
lobi hotel. Dengan tangan Ben melingkar di pinggangku.
- - -
Desau angin menerpa kulitku. Aku
berdiri, memandangi gundukan tanah di hadapanku.
“Minum ini dulu.”, kuberikan
sebotol bir pada Via. “Setelah lu mabuk, lu pasti punya keberanian lebih buat
minum ini.”, lalu kuberikan ia sebotol obat serangga. “Ini, gue juga udah
siapin ini, supaya keberanian lu lebih besar lagi.”, aku menyerahkan foto-foto
Ben bersama perempuan-perempuan lain.
Ponselku berdering pendek. Sebuah
pesan masuk.
Sayang, kamu dimana? Aku udah di
hotel. Jangan kelamaan dong.
Aku beranjak dari area pemakaman,
namun sebelum benar-benar pergi, sekali lagi kuintip makam Via dari balik
pundak.
Aku juga sangat mencintainya.
Namun aku tidak setolol kamu, Via, mengakhiri nyawamu sendiri. Jika Ben
nantinya juga akan meninggalkanku seperti ia meninggalkanmu, aku pastikan, Via.
Aku akan kuat dan berani untuk menghabisi nyawanya dengan kedua tanganku.
Seperti aku menghabisi nyawamu.