“Aku mau kamu. Cuma kamu yang selalu ada saat aku butuh. Egoiskah?”
Saya diam di tengah hiruk-pikuk manusia. Menelan ludah. Namun berusaha terlihat seolah it’s not a big deal. Ya. Saya berusaha ucapannya barusan bukanlah hal spektakuler yang butuh eskpresi terkejut sebagai sebuah respon.
“Namun ini bukan cinta.”, dia melanjutkan, dengan tatapan nanar menusuk saya.
Lagi-lagi saya menelan ludah.
“Cinta itu bukan aku. Dan aku tidak yakin ada cinta di diriku.”
Sebuah garpu yang tadinya saya pakai untuk menciduk omelet daging saya tergeletak tidak berdaya di atas piring. Jika saja, jika saja melepas emosi dengan cara sadis dilegalkan secara agama dan hukum, saya yakin saya sudah menusuk mata kirinya dengan garpu itu. Garpu berlumuran saos cabai. Lalu dengan tenang saya akan menjawab:
“Okay, let’s do this.”
Namun nyata saya merasa diperdaya juga tidak bisa menahan saya untuk mengulurkan tangan, menyapu air matanya, membiarkan ia bertumpu pada pundak saya. Nyata saya sedang di-gambling dengan perempuan lain juga tidak bisa membuat saya benar-benar pergi darinya.
“Tapi jangan gambling saya!”, I wish I could say that. Tapi itu semua tercekat di tenggorokan. Saya tidak punya cukup kekuatan untuk mengatakannya. Saya tahu dia. Cukup tahu dia. Cukup tahu seberapa hebat lukanya dan seberapa mengerikan perihnya. Terus dihantui bayang-bayang masa lalu dan tidak pernah bisa lepas bukanlah pilihan hidup yang diinginkannya.
“Will you?”
“Promise me you’ll never leave me. Again.”
Dalam tarikan nafas, saya mengangguk pelan.
4 Hari Lalu
“You’re avoiding me!”, suara di seberang telpon menjerit, memekakkan telinga saya. Saat itu saya tengah menonton bagaimana cara berang-berang Amazon menangkap ikan untuk santapan makan siang.
“After all, after all, you abandoned me!”
Saya tidak menyangka responnya akan sebegini cepat. Padahal baru lima hari saya mengacuhkannya. Membatasi komunikasi kami. Namun, dalam lima hari dia sudah bisa mengetahui bahwa saya sedang berancang-ancang untuk hengkang dari hidupnya.
“Saya enggak pergi. Enggak ninggalin kamu. I just need some time alone.”, berdalih adalah satu-satunya cara untuk mengontrol keadaan saat itu, menurut saya.
“Sejak kapan kamu mulai enggak bisa membagi fokus kamu untuk masalah kamu dan masalah orang lain?”
Sejak saya tahu kamu meng-gambling-kan saya. Sejak saat itu saya muak dan ingin pergi segera. Namun apa daya saya? Katakanlah saya bodoh. Tertawalah karena saya begitu naïf. Pun saya benar-benar ingin pergi, saya tetap tidak bisa pergi. No, I just can’t leave you alone like this. Karena saya sangat tahu gimana rasanya benar-benar butuh seseorang.
“Kamu kenapa? Nightmare lagi kah?”, saya mencoba membelokkan pembicaraan. Lagi pula suaranya memang terdengar mengenaskan.
“Need you right now.”
“Okay, just hold on. Kamu dimana?”
Setengah jam kemudian saya sudah duduk berhadapan dengannya. Tidak saling bicara. Bisu di tengah keramaian. Yang biasanya kami lakukan adalah saya memasukkan berlembar-lembar tisu pada gelas minuman saya yang tinggal setengah, mengaduknya hingga bercampur menjadi seperti bubur. Terus saja seperti itu. Sedangkan yang dilakukannya adalah memutar-mutar kotak rokoknya.
Karena tidak ada yang tersisa untuk dibicarakan. Mimpi itu selalu menghantuinya hampir setiap malam. Mimpi yang sama yang berulang terus-menerus. Dia sudah begitu lelah untuk terus menceritakannya dan saya sudah begitu bosan untuk terus mendengarkannya. Maka yang terjadi ya seperti ini. Duduk dan tidak saling bicara. Bukan lagi kata-kata yang menjadi sebuah ketenangan, tapi sebuah kehadiran. Mendapati ada satu orang yang peduli benar-benar dapat menenangkan. Dan itulah yang sedang saya lakukan untuknya.
12 Hari Lalu
Seharusnya itu menjadi pagi yang biasa saja untuk saya. Pagi dimana kantuk masih kadang terasa. Pagi dimana saya tidak terbiasa sarapan. Pagi dimana saya sendirian saja.
Namun pagi itu tiba-tiba menjadi tidak biasa terasa saat dua gadis yang satu berjilbab pink dan satunya berjilbab abu-abu duduk di samping saya. Mereka kelihatan lebih muda dari saya. Mungkin junior. Entahlah. Saya tidak pernah benar-benar menggubris hal-hal semacam itu. Saya adalah salah satu orang yang akan tidak nyambung jika diajak bergosip soal kejadian-kejadian di kampus yang objeknya adalah mahasiswa dan mahasiswi sejurusan.
“Dia punya luka yang sama dengan saya.”, ujar seorang gadis berjilbab pink yang duduk tepat di sebelah saya.
“Seenggaknya kita sama-sama dibenci oleh orang tua masing-masing.”
“Dia punya mimpi buruk hampir setiap malam karena adiknya yang meninggal.”
Saya mulai tergelitik. Mulai merasa familiar dengan orang yang sedang dibicarakan gadis berjilbab pink itu.
“Dia bercerita banyak tentang hidup dan lukanya dua hari ini. Dan saya ngerasa kita punya kesamaan. Mungkin kita bisa cocok. Sama-sama terluka. Jadi sama-sama bisa menyembuhkan.”
“Bla…bla…bla…bla…”, she talked a lot.
Dan detik itu juga komik Monika di genggaman saya menjadi seperti sederet huruf Yunani yang tidak bisa saya mengerti. Blank. Otak saya tiba-tiba tidak bisa mencerna apapun. Nafas saya tercekat. Jantung saya berpacu cepat. Dan darah saya menderu hebat.
Lalu muncul semburat perih menjalar ke seluruh nadi dan detik itu saya sadar saya sedang di-gambling-kan. Orang yang gadis itu bicarakan adalah orang yang selalu menelpon saya di tengah malam saat mimpi buruk itu menyergap tidurnya. Orang yang pagi-pagi buta bisa nongol di depan rumah saya dengan muka kuyu dan lingkar mata hitam karena belum tidur hanya untuk berujar dia begitu takut untuk terlelap, begitu takut mimpi itu kembali menghantui. Orang yang selama ini coba saya terima kehadirannya dengan tangan terbuka. Orang yang hampir setahun ini selalu meminta pundak saya untuk menjadi sandaran dan meminta kaki saya untuk menjadi tumpuan.
Dan mendapati orang yang sama sedang dibicarakan oleh gadis yang duduk di sebelah saya, bukanlah sesuatu yang indah. Saya selama ini mencoba menjaga kehadirannya agar tidak diketahui, agar tidak ada satu orang pun yang akan menatap nanar padanya, namun di bibir gadis itu, lukanya dijadikan bahan diskusi untuk pantas atau tidaknya ia masuk ke kehidupan gadis berjilbab pink itu.
Saya memperlakukannya secara special selama ini. Tapi dia memperlakukan dirinya sendiri seperti pelacur. Mengumbar luka terbusuk yang ia punya hanya untuk mendapat empati orang lain.
Saya lunglai. Melangkah gontai meninggalkan jurusan. Menuju parkiran. Sepertinya saya butuh tempat tidur sekarang. Sekaleng kopi instan. Juga kegelapan.
Hari Ini
Butuh kamu.
Sederet huruf tertera di layar hp saya pada jam 6.15 pagi.
Katakan saya bodoh. Katakana saya naïf. Apa saja. Tapi saya hanya tidak ingin ada orang lain yang merasa ingin mati karena begitu kesepiannya. Karena saya tahu seperti apa rasanya.
Maka, saya mengambil jaket dan sepeda. Lalu mulai mendayung menuju Blang Padang. Dengan hidung perih, mata bengkak, dan kepala berat.
Cinta atau tidak. Bukan itu fokusnya.
Saya tidak tahu kapan saya benar-benar bisa pergi. Dari kamu.