Balada Pengendara Motor

“Ngobrol sih ngobrol, tapi enggak di tikungan juga kaleeeee….”
Nggak ada yang ngelarang kamu untuk PDKT dengan pujaan hatimu. Pun sekalipun di jalan. Yak. Di jalan raya. Jalanan beraspal yang kerap dilalui kendaraan bermotor. Nggak salah sama sekali.  Selama jalan itu punya nenek moyang kamu.
Ngobrol di tengah jalan, sudah biasa saya jumpai di jalan seputaran Banda Aceh ini. Saya pun sudah enggak ngambil pusing lagi. Bunyiin klakson untuk orang yang sedang berada di awang-awang seperti itu hanya akan membuat mood saya tambah kacau. Jadi saya diamkan saja. Saya lebih milih melaju dan menyalip jalan mereka.
Itu kalau di jalan rata dan lurus. Tapi kalau di tikungan? Tikungannya nanjak lagi!
Pengen saya tendang. Kali-kali aja nyungsep ke sungai.

“Nelpon sih nelpon, tapi jangan nyiput gini juga kaleeee….”
Nyetir mobil sambil nelpon lalu mengambil jalur kiri jalan dengan kecepatan nggak lebih dari siput ngesot bikin kamu jengah gak sebagai pengendara motor? Mau nyalip ngambil kanan, banyak mobil-mobil lain yang berlaga dengan kecepatan tinggi. Jam kuliah sudah lewat dari jadwal. Diklakson? Bah. Berharap aja dia bakal ngerti. Kalau udah gini? Doain aja dia masuk surga setelah kamu.
Punya mobil. Punya bensin. Punya hape. Punya pulsa. Tapi jalan bukan punya kamu.

“Dikit lagi sih dikit lagi, tapi enggak seheboh itu juga kaleeeee….”
Kamu ngetem di lampu merah. Kenapa kamu ngetem? Ya karena lampunya sedang merah. Kamu ada di garis depan. Artinya orang-orang di belakang baru bisa jalan kalau kamu sudah jalan. Nggak sabaran atau mulai menghargai waktu, saya juga belum jelas soal ini. Ketika lampu merah tinggal 5 detik lagi, mulailah orang-orang di belakang kamu membunyikan klakson seperti kesurupan. Membabi-buta. Kenapa enggak ngepet aja sekalian? Lumayan, dapet duit. Semuanya pada nglaksonin kamu. Maksudnya sih nyuruh kamu siap-siap, jangan bengong karena lampu sebentar lagi hijau. Kamu malah murka. “Memangnya saya buta warna?!”, menghujat dalam hati.
Lalu lampu berganti hijau dan lenguhan klakson semakin panjang.

“Bengong sih bengong, tapi jangan nyangak gitu juga kaleeeee…”
Ini kebalikan dari case di atas. Kali ini kamu berada di baris yang bukan pertama pokoknya.  Di depan kamu ada nangkring seorang ibu-ibu berseragam Visit Aceh 2011 itu. Dia ngetem dengan jumawanya. Asik aja sendiri. Ketika lampu merah berganti menjadi hijau, dia masih juga ngetem dengan segala kenikmatan dunia. Sudah berlalu 5 detik, masih juga ngetem dengan innocent-nya. Mau kamu klakson, emak-emak. Nggak kamu klakson, ikutan keliatan bodoh.
Dilema.
Akhirnya kamu klakson juga. Emak-emak juga manusia. Sama kayak kamu. Pukul rata aja.

“Belok sih belok, tapi enggak dadakan gitu juga kaleeee….”
Kamu lagi santai-santainya menikmati perjalanan singkat kamu, ngambil jalur sebelah kiri lagi. Memang bermaksud berleha-leha. Tapi tiba-tiba ada yang nyalip jalan kamu, tanpa aba-aba, tanpa lampu sen, dia main belok aja, menukik lagi beloknya. Persis Valentino Rossi nyalip. Bujug buset daaaaah…. Ngerem dadakan + makian dengan suara yang enggak gede-gede amat. Kamu melengos. Dan ngelanjutin perjalanan kamu yang udah kehilangan esensinya.
Nasib.

“Ngeludah sih ngeludah, tapi liat tempat juga kaleeee…”
Ngeeeeeng….kamu ngebut ni ceritanya. Ngeeeeeeng….di depan kamu ada seorang bapak yang melaju dengan kecepatan standar. Ngeeeeeeeng…dikit lagi kamu mau lewatin dia. Ngeeeeeng…pas ngelewatin dia, ngeeeeeng….cuih! Kamu diludahin. Bapak itu ngeludah sembarangan. Nyangkut di tangan kamu. Bah. Merinding jijay kamu. Geli. Tapi yang lebih nelangsanya lagi, si Bapak ngelirik sebentar ke kamu. Dan….you know what? Dia melengos pergi. Feeling no guilty at all. Ouwemjeeeeeh….ludahnya masih nangkring di tangan kamu.
Ngenes.

“Ngebut sih ngebut, tapi liat jatah siapa juga kaleeeee…..”
Sudah 92 detik kamu menunggu lampu berganti hijau. Matahari teriknya na’udzubillah. Laper juga karena sudah waktunya makan siang. Haus juga karena panas yang membara. Tapi kamu tetap sabar menunggu lampu hingga berganti hijau. Akhirnya detik-detik itu datang juga. Kamu bernafas lega. Dengan semangat berkobar-kobar dan rasa syukur yang tumpah-ruah, kamu melajukan motor kamu. Namun, tiba-tiba, apa? Sebuah kendaraan dari jalur lain yang jatah lampu hijaunya baru saja habis memotong jalan kamu sehingga kamu mengerem mendadak. Kaget. Jantung kamu cekat-cekot nyaris copot. Rasa-rasanya tadi kamu udah nggak selamat lagi. Tarikan gas selanjutnya, tangan kamu gemetaran.

“Buru-buru sih buru-buru, tapi jangan egois juga kaleeee….”
Wah, tinggal 6 detik lagi! Kamu liat dari kejauhan. Kamu tancap gas. Berharap sempet ketiban lampu ijo yang bentar lagi berganti jadi kuning terus jadi merah. Namun apa hendak dikata, saat sedikiiiiit lagi mau berhasil, lampu sudah berganti menjadi merah. Mendadak kamu ngerem. Soalnya kamu tahu itu sudah bukan hak kamu lagi untuk jalan. Tapi sepertinya cuma kamu yang ngerti tentang hak dan kewajiban demi terciptanya perdamaian dan keselarasan antarumat manusia. Nyatanya, pria bermobil sedan di belakang kamu membunyikan klaksonnya segede sirine buka puasa. Dia kesel karena kamu berhenti. Seharusnya kamu masih melaju dan mempertaruhkan nyawa kamu demi dia bisa lewat juga. Dia mah enak di dalam mobil, palingan kalo nabrak, mobilnya yang bocel-bocel. Nah, ane? Naik motor. Dihantam dari sono, berceceran ane kemana-mana.
Di lain situasi, kamu direpetin sama seorang ibu atau bapak karena ngetem tepat waktu. WDF kan?
Atau pas kamu ngetem, kamu ditabrak dari belakang oleh seorang gadis yang ngebut karena ngejer lampu hijau yang mau abis. Ciiiit….dug! Spakbor belakangan kamu patah. Iyalah, WDF aja. Lain bisa apa?



Itulah balada saya sebagai pengendaran motor dan pemakai jalan di Banda Aceh selama ini. Gimana dengan kamu?  

P.S: Keinget balado...jadi laper.

0 komentar:

Posting Komentar