Malam yang larut. Saya sedang mengobrol via facebook chat dengan salah seorang teman. Awal obrolan kami adalah saya yang ingin menyampaikan bahwa sore kemarin saya bermimpi teman saya itu akhirnya punya pacar lagi. Pacarnya cantik. Ya. Saya tahu ketidakpentingan mimpi saya itu untuk diceritakan. Hanya ingin membuka obrolan dengan orang lama yang sudah sangat-amat lama tidak saya dengar kabarnya langsung, kecuali dari status-statusnya.
Well, tanpa disadari, obrolan kami berlanjut ke topik yang lebih serius. Yaitu tentang kesendirian. Teman saya itu sudah lumayan lama menjomblo. Dia berkata hidupnya jauh lebih mudah sekarang saat ia sendirian. Setidaknya dia tidak perlu memikirkan pihak lain jika ingin mengambil sebuah keputusan. Cukup melibatkan dirinya saja. Dan dia menikmati itu.
Namun, setiap orang butuh partner. Dia berujar. Tidak menampik bahwa sebenarnya ia ingin punya seseorang. Hanya saja waktu belum memungkinkan dan Tuhan belum mengizinkan. Saya masih ingat saat kuliah dulu, sebelum ia bekerja, tidak pernah sekalipun ia membahas mengenai rencana dan masa depannya. Just let the life flows to where it has to. Tapi sekarang ia punya rencana, punya keinginan untuk hidupnya di masa depan. Maka, ia butuh seseorang yang bisa mengikuti jalannya, menyejajarkan langkahnya.
Hanya saja, sosok itu belum ia temukan. Maka, ia mencoba bertahan dalam kesendirian. Sembari terus berharap, somewhere, somewhen sosok itu akan muncul dan kesendirian itu akan segera berakhir.
“Hanya itu alasan yang kupunya untuk bertahan seperti ini.”
Saya tersenyum membaca sederet pernyataannya itu. Senyum simpul. Hanya saja dia tidak mungkin bisa melihat.
“Kamu?”
Saat ia bertanya itu, saya tahu sudah waktunya pembahasan mengenai kesendirian ini ditujukan ke saya.
Saya tersenyum. Sekali lagi.
Motif untuk tetap mempertahankan kesendirian berbeda-beda bagi setiap orang. Namun lupakan soal motif yang beragam itu. Toh, konklusi akhirnya tetaplah sebuah kesendirian. Mau beralibi sedemikian rupapun tetap saja sendirian. Itu nyata. Memangnya siapa yang peduli dengan alasan kenapa kesendirian menjadi sebuah pilihan saat melihat kamu sendirian saja di tengah keramaian? Tidak ada. Mereka cenderung tidak peduli dan melempar pandangan kasihan penuh keibaan. Seakan orang yang sendirian saja itu memang tidak punya pilihan lain di hidupnya. Seakan kamu memang dikutuk untuk selalu sendirian. Seakan mereka sudah hebat karena selalu berkoloni.
Alasan saya sendirian? Cukup simple saja sebenarnya. This loneliness makes me addicted. Percaya atau tidak, itu terserah kalian. Tapi kesendirian itu memang candu. Dan saya belum bisa lepas.
Saya selalu makan bakso di warung bakso yang sama dan di setiap saya datang, si Abang bakso selalu menanyakan satu pertanyaan yang sama:
“Temennya mana?”
For God sake, segitu hinanyakah menikmati semangkuk bakso sendirian? Saya punya uang, punya waktu, punya kesempatan untuk makan bakso. Maka, saya makan. Ada atau tanpa teman, semangkuk bakso itu tetaplah terasa bakso. Hanya saja minus obrolan. Hanya itu. Mungkin orang-orang di sekitar akan menatap heran dan nanar melihat seorang perempuan makan bakso sendirian saja. Namun, jika untuk hal sesepele makan bakso pun harus bersama teman, sedangkan waktu yang ia punya belum tentu sama dengan yang saya punya, apa iya harus mengorbankan keinginan saya untuk makan bakso lantaran tidak ada teman yang bisa menemani saya?
Manusia memang diciptakan untuk berpasang-pasangan. Saya tidak sedang mencoba mematahkan teori itu. Saya belum butuh, mungkin itu alasan bodohnya. Memang nyata hidup saya baik-baik saja tidak bisa saya pungkiri menjadi salah satu alasan kuat kenapa kesendirian ini belum siap untuk saya akhiri. Dan keinginan untuk punya seseorang? Saya tidak munafik, kadang rasa itu memang muncul. Namun, saya berpikir logis. Butuh seseorang, hanya di saat-saat tertentu, sangatlah tidak bijak untuk mulai menjalin hubungan dengan orang lain. Menurut saya.
Bukannya saya tidak pernah mencoba untuk lepas dari candu ini. Pernah. Namun dalam hitungan hari saya sudah bosan dan menginginkan kesendirian saya kembali. Nyata bahwa saya hanya belum rela melepaskan apa yang saya miliki sekarang. Yaitu kebebasan.
Itu alasan saya. Terkesan naif? Silahkan berpikir demikian. Namun yang jelas, saya memilih kesendirian bukan karena tidak tersedia pilihan lain.
Belum menemukan sosok yang bisa menjadikan alasan untuk mengakhiri kesendirian membuat teman saya terus mempertahankan kesendiriannya. Itu pilihan hidupnya.
Belum merasa perlu untuk mengakhiri kesendirian ini membuat saya terus mempertahankan kesendirian saya. Ini pilihan hidup saya.
Somewhere and somewhen, saya yakin saya akan membutuhkan, menemukan, orang yang bisa membuat saya merasa bahwa kesendirian adalah sebuah aib. Nanti. Bukan sekarang. Untuk sekarang biarlah saya menikmati kesendirian ini sendirian saja.
"Deciding to be alone is a choice that you have to choose among so many options in your life. Not the last option you have."
0 komentar:
Posting Komentar