Pernahkah kamu mendengar tentang Gerbang Matahari? Sebuah bangunan kokoh dari batu berusia ratusan tahun. Bangunan asli peninggalan suku Inca.
Aku pernah mendengarnya sekali, tatkala malam mulai beranjak sepi dan kegelapan mulai menguasai. Dalam diam dan hening, aku mendengar Bulan berbisik dalam ceritanya. Mengenai Gerbang Matahari. Aku terkesima. Sajak yang dilantunkannya sungguh indah. Sesekali di sela sajaknya ia menghela nafas, mengatur ritma, dan menggumam doa.
Masih dalam diamku Ia terus bergumam. Bahwa Gerbang Matahari ada untuk siapa saja yang percaya bahwa alam punya ruang tersendiri untuk saling terkoneksi. Sebuah ruang yang mengarah pada sebuah lorong sempit dimana teleportasi diyakini terjadi. Lorong sempit itu dinamai Lubang Cacing. Lorong penghubung antara bumi dengan dimensi lain.
“Jika kamu merasa bumi sudah tidak lagi bersahabat untukmu, maka pergilah ke Gerbang Matahari.”, bisik Bulan pelan.
“Kemana ia akan membawaku?”, sebersit tanya mencuat tanpa aba-aba.
“Venus.”
Hening.
Aku masih mengulum ujung bibir. Namun Bulan tampaknya sudah bosan. Mungkin Ia merasa lelah harus setiap malam mendendangkan syair sebelum tidur kepada orang-orang yang putus asa. Orang-orang yang berharap akan ada keajaiban di ujung sana, sekali saja, untuk hidup mereka. Orang-orang yang berharap bumi bukanlah persinggahan terakhir sebelum mereka mati dan dilupakan. Hanya orang-orang ini yang dapat mendengar sayup-sayup bisikan Bulan.
Maka, kukatakan kepada Bulan, “Beristirahatlah dari sajakmu.”
Kuberikan selimut usangku padanya. “Terlelaplah.”
“Biarkan aku yang melanjutkannya. Agar orang-orang yang kesepian itu tidak pernah kehilangan harapan.”