Let's talk about childhood...
Masa kecil saya terbilang cukup indah. Lingkungan saya pada saat itu masih hijau dan mempunyai banyak tanah kosong untuk bermain, termasuk halaman rumah saya sendiri. Saya termasuk ke dalam golongan anak-anak kecil yang masih bisa menikmati indahnya kartun di pagi Minggu dan bermain permainan tradisional di tiap sore hari, seperti engklek, lompat tali karet, kelereng, patok lele, krim, sembunyian, main godok, bongkar pasang, dan masih banyak lainnya –yang sekarang tergantikan oleh bermacam alat canggih dan kadang menurut saya sebenernya…useless untuk anak-anak.
Masa kecil saya terbilang cukup indah. Lingkungan saya pada saat itu masih hijau dan mempunyai banyak tanah kosong untuk bermain, termasuk halaman rumah saya sendiri. Saya termasuk ke dalam golongan anak-anak kecil yang masih bisa menikmati indahnya kartun di pagi Minggu dan bermain permainan tradisional di tiap sore hari, seperti engklek, lompat tali karet, kelereng, patok lele, krim, sembunyian, main godok, bongkar pasang, dan masih banyak lainnya –yang sekarang tergantikan oleh bermacam alat canggih dan kadang menurut saya sebenernya…useless untuk anak-anak.
But, time has changed brutally.
Anak-anak sekarang dicekoki
dengan segala keinstanan yang bisa dengan mudah mereka dapatkan. Dari mulai
bubur sampai kedewasaan.
Di antara sederetan masa kecil
saya yang indah, ada yang paling saya rindukan, yaitu buah-buahan yang dulu
mudah saya dapatkan di sekeliling saya. Tinggal manjat. Paling lecet-lecet dikit.
Apa saja? Here they are....
Jambu Mawar
Saya gak tau apa bener namanya. Dulunya
ada dua pohon jambu mawar di halaman rumah saya. Batangnya tinggi sehingga asik
untuk dipanjat dan berbuah sangat lebat. Jambu ini berwarna merah muda (pink)
dan rasanya sedikit asam, namun akan sangat manis jika ada yang berwarna merah
hati –tapi ini jarang dan biasanya yang berwarna seperti itu adanya di pucuk
pohon.
Jambu Air
Rasa buahnya manis dan agak kelat. Akan sangat
manis bila buahnya sudah berwarna merah tua kecoklatan. Sesuai dengan namanya, jambu ini
kandungan airnya banyak. Sehingga bisa menyebabkan perut kembung kalo makan
kebanyakan.
Jambu Air Putih
Pohonnya masih ada di belakang rumah. Tapi sayang
udah jarang berbuah karena usianya yang sudah tua. Pohon jambu ini sudah ada sejak zaman Bapak saya masih kecil.
Jambu Bol
Buahnya sangat asam namun jika sudah berwarna
merah hati akan berubah menjadi sangat manis. Letak pohon jambu ini di dekat
pagar depan rumah. Saya paling suka bunganya, warnanya meriah.
Jambu Botol
Letak pohonnya di sebelah jambu bol. Buahnya putih
dan asam, kadang-kadang jika sudah sangat tua, bisa sangat manis.
Jambu Biji (Guava)
Pohonnya tepat di depan teras rumah saya. Buahnya
besar-besar dan daging buahnya berwarna putih. Rasanya manis. Tapi sayang tiba-tiba saja mati.
Jambu Monyet
Adanya di halaman tetangga depan rumah saya :))
Pohonnya besar namun landai jadi enak buat dipanjatin sambil gelantungan
duduk-duduk sama temen. Saya kurang suka buahnya karena rasanya kelat.
Rambutan Hutan
Saya rasa anak yang lahir di era 90-an gak mengenal
buah ini. Dulu, buah ini gampang saya temui pada semak-semak di lahan kosong
ataupun di pagar rumah. Gak jelas kenapa dinamai rambutan hutan ketika isi
dalamnya lebih mirip markisah. Saat muda warnanya hijau dan akan berubah
kuning/oranye saat tua. Rasa buahnya manis.
Kersen
Dulu saya menyebutnya ceri. Iya, ceri. Saya kira
ini ceri yang sering dijadiin hiasan di kue-kue ulang taun itu. Lalu saya
bertanya dalam hati, menerka-nerka, kalaulah memang ini ceri yang di kue-kue
ulang taun itu, kenapa ukurannya kecil dan kenapa ceri yang di kue-kue ulang
taun itu harganya mahal? Kenapa gak petik aja di pohon? Kenapa harus beli? Dan kenapa-kenapa
yang masih banyak lagi. *iye, absurd emang anak kecil udah mikirin begituan*
Tapi ketika dewasa saya harus menghadapi
kenyataannya, bahwa nama asli buah ini adalah kersen. Rasanya manis dan terasa seperti berpasir di lidah karena bijinya yang banyak dan berukuran sangat kecil.
Mangga
Seinget saya ada 5 jenis pohon mangga dulunya
di halaman rumah saya -golek, cengkeh, gadung, dan dua lagi yang saya gak tau namanya. Yang buahnya akan dijual ke pedagang mangga. Pohonnya besar-besar
dan tinggi-tinggi. Yang kalo malem terlihat sangat menakutkan.
Ara
Ini bukan kakak Agil di lakon Keluarga Cemara
yang sontreknya “Selamat pagi, Emak. Selamat pagi, Abah.” itu. Tapi nama buah. Iya,
buah ara ini ternyata bisa dimakan, tapi sayangnya saya telat nyadar dan
pohonnya udah keburu dipotong. Dulunya tumbuh di halaman belakang. Pohonnya besar
dan berbuah sepanjang musim.
Sekian dulu postingan rindu buah
masa kecil -yang lebih mirip artikel majalah Trubus. Kalo saya pengen buah-buahan itu sekarang, saya terpaksa
mendapatkannya dengan uang –iya, beli di pasar tradisional. Nyak-nyak disana
kadang ada yang menjualnya dengan jumlah terbatas. Maksudnya jumlah terbatas, kadang
hanya ada sekantong kecil, itu juga dari kebun sendiri.
Ada yang juga rindu buah di masa
kecil? Boleh di-share :)