"People do have their own pain, their own scar. They do get hurt. But I don't wanna talk about mine."
Luka. Siapa yang enggak punya itu? Everyone does. Semua pasti tunjuk jari.
Kebijakan Tuhan membuat kita mempunyai luka dengan perih berbeda. Tapi membandingkan luka yang kita punya dengan punya orang lain sama sekali enggak etis. Enggak bijak. Tuhan tahu benar kepada siapa luka terberat akan diberikan. Tuhan tahu benar kepada siapa luka paling ringan akan disematkan. Maka, tidak perlu begitu khawatir untuk tidak bisa terlepas darinya. Pun mesti merangkak-terseok-menangis darah.
Saya, seperti orang lain, juga punya luka. Luka dari masa lalu yang begitu perih, untuk ukuran saya. Tapi saya tahu benar luka ini enggak untuk diceritakan kepada setiap orang. Enggak untuk dipergunakan membentuk sebuah koloni yang memiliki luka serupa. Luka ini ada untuk saya ikhlaskan dia terbengkalai disana. Enggak perlu buru-buru sembuh. Tapi seenggaknya saya enggak mempergunakannya untuk mendapat begitu banyak empati dari individu yang memiliki luka sejenis. Lalu mulai saling membicarakan luka masing-masing. Kapan hidup saya bisa lebih baik?
Saya sudah lama enggak melagukan luka karena saya tahu semakin saya mendendangkan luka saya dengan irama dan lirik syahdu, semakin saya enggak bisa keluar hidup-hidup. Luka itu memang enggak saya tuntut untuk sembuh total. Tapi seenggaknya saya ingin dia merasakan bagaimana perihnya sendirian diabaikan disana, berhenti dipuja dan diagungkan. Saya ingin dia tahu siksaan yang sudah ia berikan kepada saya bertahun-tahun itu sungguh perih. Saya ingin balas dendam. Lalu dia hanyalah sebuah label bertuliskan “luka” dari masa lalu. Perihnya berkurang.
Enggak ada luka yang sama. Percaya saya. Yang ada hanya prolog yang sama, namun coba teliti baik-baik, cerita setelahnya enggak pernah sama dan perihnya juga enggak terasa sama. Kita hanya mendeskripsikannya dengan rasa perih. Namun enggak pernah benar-benar berhasil membuktikan bahwa kadarnya sama besar. Saat orang bilang, “Ya, aku tahu rasanya.”, mereka sebenarnya hanya tahu sebatas yang pernah mereka rasa. Siapa yang bisa menjamin perasaan mereka benar-benar tepat sama seperti yang kita rasakan? Enggak ada yang bisa.
Maka, sudah lama sekali saya berhenti mencari orang yang mempunyai luka yang serupa. Berharap dia mengerti dan memahami. Berharap dia merasa senasib. Hingga saya dan dia bisa terus saling bertukar cerita, tentang luka ini, tentang perih ini. Saling mengiyakan. Saling menimpali. Saling menyumpahi. Kapan ini semua habis? Karena tidak ada luka yang sama. Yang ada hanyalah sama-sama merasa perih.
Karena ganjil itu enggak genap. Ganjil dan genap memang sama-sama kelompok angka. Tapi mereka berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar