Untuk Mamakku tercinta,
Sepucuk surat ini kutulis untuk mewakilkan gemuruh perasaanku sebagai seorang anak bungsumu. Putri semata wayangmu.
Aku tahu zaman tidak lagi seperti dulu. Keadaan ekonomi tidak lagi sekondusif dulu. Hidup semakin dihimpit oleh keadaan yang sulit. Jikalau memang Engkau mulai merasa kesulitan untuk mengurusiku, membiayai hidupku, aku ajukan diriku untuk dinikahkan. Tidak mengapa, Mak. Aku rela. Pasrah. Asalkan beban hidupmu sedikit terangkat, sedikit meringan.
Aku tahu uang saat ini tidaklah seperti dulu. Dua-tiga lembar seratus ribu dapat habis hanya dengan sekali menghempaskan pantat di sebuah tempat makan mahal. Mungkin Engkau sudah mulai kewalahan menuruti nafsu makanku yang semakin tidak terkontrol. Tidak mengapa, Mak. Nikahkan saja aku. Tapi tolong jangan meminta calon dariku. Karena aku tidak punya sesiapapun untuk dicalonkan.
Maka, dengan sampainya surat ini, aku ingin meminta kebijaksanaan dan kemurahan hatimu untuk mencarikan calon yang pantas untukku. Calon yang menurutmu dapat mengikuti nafsu makanku yang membabi-buta. Siapa saja. Bahkan yang sekampung denganmu pun aku bersedia. Tak mengapa, Mak. Aku benar-benar ikhlas. Jikalau nantinya anak bungsumu ini harus mengikuti suaminya pindah ke pucuk gunung dan bekerja di ladang. Asalkan Engkau bahagia dan kesehatanmu bisa lebih terjaga. Tidak lagi syok melihat deret angka di buku saldomu yang semakin berkurang.
Mak, aku tahu, mempunyai seorang anak perempuan tidaklah semudah membesarkan dua orang anak laki-laki sekaligus. Jika anak lelaki, di umur 17 tahun mereka telah bisa Engkau bebaskan untuk mencari uang sendiri. Sedangkan anak perempuan tidak, Engkau menjaganya dengan sangat hati-hati. Terlebih jikalau anak perempuan itu seperti diriku. Aku memang tidak butuh emas bermayam-mayam, tapi aku perlu banyak makan setiap harinya. Dan itu menghabiskan uang lebih banyak daripada membelikanku sebatang-dua batang emas. Maka, nikahkan saja aku, Mak.
Jikalau Engkau merasa kesusahan mencarikan jodoh yang tepat untukku. Jodoh yang berasal dari kampung yang sama denganmu, cobalah berkoalisi dengan Mak Wo. Aku tahu dia mempunyai cukup stok untuk dipilih. Cobalah, Mak. Pakai saja hapeku untuk menelpon Mak Wo. Tapi pulsanya tinggal 10 ribu. Jikalau sekiranya di tengah-tengah percakapan terputus, sudilah kiranya Engkau mengisi sendiri pulsanya. Tapi jika Engkau tidak bersedia, cukuplah dengan menulis sepucuk surat kepada Mak Wo, lalu belilah merpati pos di toko hewan di seputaran Setui. Niscaya suratmu akan segera sampai ke Darussalam dalam hitungan hari.
Namun, ingatkan Mak Wo untuk tidak membalasnya karena aku yakin burung malang itu langsung mati terkapar saat ia tiba. Perjalanan dari rumah kita ke Darussalam memang tidak jauh, tapi kawat listrik yang bersangkutan berantakan aku yakin ada dua-tiga yang karet pembungkusnya sudah gundul. Jika saat pergi ia masih selamat, pasti saat perjalanan balik nasib baik tidak akan lagi memihaknya.
Mak, sudah nyaris habis kata-kata yang ada di sanubariku untuk kutuangkan di surat ini. Aku terlalu galau. Maka, aku akan menutup surat ini sampai disini saja. Semoga Engkau dapat segera menemukan jodoh yang memenuhi kriteriamu untuk dijadikan menantu sekaligus suamiku. Jangan menantu berbeda, suami juga berbeda. Anak perempuanmu hanya satu, Mak.
Sekian surat ini kutulis dengan jiwa yang gelisah dan raga yang lelah.
Salam sayang selalu dan kecup manis-manja-grup hanya untukmu
Putri semata wayangmu
0 komentar:
Posting Komentar