Fenomena Doa dan Media Social


Saat saya menulis ini, saya bener-bener baru bangun. Saya ngidupin laptop untuk mencari driver laptop saya, iseng, saya online sebentar ke salah satu media sosial. Dan saya kembali harus mengernyitkan kening dan menahan kemuakan saat menemukan lagi-dan-lagi seseorang berkicau doa di sebuah media sosial. Fenomena macam apa ini?

Allah tidak punya facebook, twitter, email, atau apapun lah itu yang sekarang ini sering kita pakai untuk menyuarakan isi hati kebanyakan curhat. Allah tidak pernah minta nama-Nya di-tag di salah satu status di facebook kita atau di-mention di twitter. He doesn’t ask that. So why should we?

Atau hanya sekedar pamer kalo kita saban menit inget sama Sang Maha Pencipta? So, go to your mosque, praying, and asking anything you want. Mesjid semakin banyak dan besar, namun semakin sepi.

Mengumbar-umbar doa itu menurut saya malah gak barakallah. Karena apa? Coba tanya ke diri kamu sendiri, saat kamu mengumbar kicau doa di media sosial, pasti ada sedikit saja –secuil saja- keinginan untuk menampakan pada orang-orang bahwa kamu sedang mempunyai masalah atau ingin memberi tahu dunia bahwa kamu tipe orang yang rajin bersyukur. Atau….hanya sekedar mengharapkan jempol atau re-tweet dari orang-orang karena memang ternyata terbukti ampuh menarik simpati orang dengan kicau doa ini. Come on, itu riya. Ada maksud terselubung lain selain meminta pada Allah. Apa Allah suka orang yang riya? Ah, saya tidak perlu menjawabnya.

Apa? Berdalih bahwa “Ini akun, akun saya! Status, status saya! Kenapa kamu yang sibuk?! Gak suka gak usah baca!”. Nope, I will. I will always read, because all of you are my friends. Saya cuma nyoba ngelurusin jalan pikiran kamu yang mulai plintat-plintut itu.

Masih nyolot juga bilang “Masalah buat elo?!. Okay then, you ask for it. I’ll remove you or unfollow you. Or what ever it has to take to keep you feel safe to pray in your social media.

"Yang namanya berdoa itu gak perlu pake perantara, cukup panjatkan dalam hati dan tujukan ke Maha Pencipta, niscaya bakal didengerin kok.”



Floating City


H-25


Ini Kamis? Kita tidak banyak berbicara hari ini. Namun merinduimu itu sudah menjadi hal yang gampang untukku. Mengingat bayangmu dalam jelas alam sadarku saja sudah bisa meluluhlantakkan  konsentrasi. Belum lagi jika harus merindui harum tubuhmu. Sudahlah, jangan membahas hal-hal itu. Perintilan-perintilan kecil itu…sepele namun memabukkan. Mabuk? Anggap saja itu pemilihan kata yang tepat.

Bagaimana kabarmu hari ini? Lelahku menghadapi segala hal baru di kota baru? Rindukah padaku dan kebiasaan kita? Tersenyumkan kamu saat mengingat kenangan kita? Tertawa kecilkah kamu saat mengingat hal-hal lucu yang pernah terjadi?

Saat aku menuliskan ini, kamu belum juga membalas pesan singkatku. Kantukku hilang. Dan menunggumu seperti menjadi sebuah keharusan bagiku.

Sudah terlelapkah kamu di malam selarut ini?


H-26


Tetap semangat, Lelakiku…

Aku yakin apapun yang terjadi padamu disana, tidak akan menyurutkan sedikit pun semangatmu untuk menyelesaikan semuanya. Aku yakin kamu bisa. Aku yakin kamu mampu. Karena apa? Karena kamu adalah lelaki pilihanku, the one and only. Aku memilihmu bukan tanpa alasan atau pertimbangan logis. Aku memilihmu dengan begitu banyak checklist. Aku menghitungnya secara kalkulatif, objektif, dan transparan. Aku mencoba realistis pada semua harapan.

Jika shalatmu rajin, doa-doamu tulus, Allah pasti menjanjikan yang terbaik untuk semua masalahmu. Percayalah. Kamu tahu mengapa aku begitu yakin? Karena aku selalu berdoa diberikan cinta yang tulus dari seorang lelaki yang penyayang dan sabar. Ia haruslah lelaki yang dapat menghormatiku sebagai perempuannya, yang dapat memberikanku rasa aman, juga nyaman, yang memberikanku keyakinan bahwa aku layak diperjuangkan, yang mati-matian berusaha dan membuktikan cintanya. Dan Allah mengirimmu dalam bentuk nyata –yang dapat kusentuh tidak hanya diangankan.

Tetap semangat, Lelakiku…


My Wishes List #2

Kalau aku tidak salah mengingat, kita sedang di dalam mobil, melaju membelah jalanan Banda Aceh. Ya. Kita berempat. Kala itu bahasannya masih sama seperti sebulan lalu.

Pernikahan.

Hanya saja yang membedakannya adalah sub pokok bahasan. Yang kita bahas waktu itu adalah siapa yang berpotensi menikah pertama kali di antara kita berempat. Dan serempak menjawab, Ika.

Well, lalu tercetuslah ide, siapapun yang menikah, wajib membelikan kain dengan warna atau motif serupa untuk dipakai di saat acara. Seragam, kalo bahasa umumnya.

Tetapi ketika melihat foto ini…

Aku tidak tahu kapan akan menikah, namun jika aku menikah, aku akan menghadiahi kalian –bukan bakal kain- kets merah ini untuk dipakai saat resepsi pernikahanku.

Pretty cool, huh? onion-emoticons-set-6-142



H-27


Aku pernah mengimajikan memiliki sebuah keluarga kecil, tinggal di pedesaan, mengurusi kebun kecil di pekarangan rumah yang ditanami berbagai macam kebutuhan dapur, menikmati sejuknya udara dan ketenangan, tidak banyak yang perlu dikhawatirkan. Anak-anakku akan tumbuh dalam kebebasan berteman dengan alam, pasti akan lebih cerdas dari anak-anak di kota. Mereka juga akan lebih sadar, bahwa alamlah yang menjaga kita tetap hidup dan sudah seharusnya kita balik menjaga keutuhannya.

Di saat anak-anak kita sekolah, kamu akan menemaniku memanen tomat, cabai, bawang, juga sayur-sayuran. Aku akan mulai memasak kemudian, kamu akan duduk di meja sembari memperhatikanku yang tengah sibuk meracik bumbu. Sesekali kamu tersenyum, menyadari betapa bahagianya keluarga ini. Sesekali aku akan menoleh padamu, karena dalam detik pun aku tidak bisa menghalangi rindu yang memaksaku untuk tidak menuntaskannya. 

Kita akan menua bersama, melihat anak-anak kita tumbuh besar, dewasa, memiliki cucu. Tidakkah imajiku sangat indah?

Di hari ketiga kamu pergi, aku cemburu. Cemburu karena kamu sedang disana, menikmati sejuknya hawa pedesaan. Tanpa aku. Juga lingkar tanganku memeluk manja pinggangmu. Ini bukan soal keterpaksaan yang memaksamu kini tiba disana, atau tuduhanmu aku tidak mampu mengerti. Ini hanya cerita, imajiku yang kucoba bagikan denganmu, juga perasaanku. Bukan untuk memaksamu kembali ke kota ini dan meninggalkan tugasmu. Bukan untuk menuntutmu mengiyakan yang kamu sangka mauku. Ini hanya cerita, imajiku yang coba kusampaikan padamu.

Hey, bukankah di awal kenal dulu yang kita lakukan hanya bercerita? Mengapa sekarang sudah jarang kita lakukan? Aku hanya ingin membagi apa yang kupunya denganmu.

Aku cemburu. Bukan soal rindu atau perempuan. Ini tentang…
 
J a r a k.

Masih 27 hari lagi. Haruskah aku mulai menyegel mulutku?


H-28


Ada sesuatu yang kurasa nyata menjelma. Apa itu, belum bisa kudeskripsikan. Tapi ia semakin kuat saja.

2 hari telah berlalu. Tidak banyak yang dapat kutulis hari ini di saat emosi masih bermain pelan namun menyisa. Aku hanya berharap......

–kamu cepat kembali.


H-29

Masih 29 hari lagi hingga kepulanganmu. Hari ini berhasil kulalui dengan memalingkan pikiran tentangmu, aku memikirkan apa saja yang bisa meniadakanmu dalam ingatku. Kamu tau hal lucu apa yang terjadi? Ternyata jam dinding begitu pongah hari ini untuk bergerak memutar ke arah kanan. Aku memelototinya, sedikit mengancam agar ia mengayuh jarumnya sedikit agak cepat mengarungi detik demi detik. Hah, tapi ia begitu tau diri di kala seperti ini. Sengaja dilambatkan ayunan tangannya. Malah aku mendengar ia terkekeh geli menyaksikanku yang terdiam tidak bergeming terus-terusan menatapnya. Berharap hari segera malam, berharap kantuk cepat datang, berharap memimpikanmu dalam senyap yang menghantarkanku menuju esok pagi.

Besok mungkin aku akan berjalan-jalan sebentar, bisa saja bersama mereka. Atau mungkin hanya seorang diri. Apapun, apapun akan kulakukan untuk tetap dapat merasa ringan bernafas seperti saat kamu ada.

Jangan tanyakan itu. Aku merinduimu dalam gila. Bahkan ini baru sehari.


Analogi Lampu Merah


Istilah move on sedang booming di media sosial. Istilah ini amat lekat konotasinya dengan kata “galau”. Gak galau, gak gaul. Udah galau, susah move on.

Arti move on ini sendiri secara harfiah adalah bergerak meja, namun makna yang sebenarnya ditujukan dalam pemakaian istilah move on ini adalah melupakan masa lalu dan melangkah meraih masa depan. *baku sekali ya?*

Move on ini biasanya dihubungkan dengan patah hati, putus dari pasangan, pokoknya urusan cecintaan yang kerap menguras emosi juga dompet. *nah lho?*

Memang orang cenderung akan terus terbawa suasana masa lalu yang indah dan tidak rela jika harus berakhir. Bukan tidak sedikit, banyak, orang-orang yang stuck dan memilih hidup di masa lalu dengan terus dirundung kesedihan yang tidak berkesudahan ketimbang menatap masa depan, karena apa? Karena kita merasa belum tentu ada hal-hal yang lebih indah terjadi di masa depan seindah yang terjadi di masa lalu. Skeptis atau pesimis? Mungkin keduanya.

Waktu yang dibutuhkan tiap orang untuk move on juga berbeda-beda, ada yang sebulan, dua bulan, empat bulan, bahkan berbulan-bulan. Bahkan mungkin tahunan? Mengenang sebulan dua bulan bisa dibilang hal yang wajar, namun jika separuh umur dihabiskan hanya untuk stuck di masa lalu, wajarkah? Memang ada yang berakhir indah kembali menjalin hubungan dengan mantan pasangan, bahkan sampai menikah. Namun jika yang tidak?

Bagi saya, salah satu ciri orang yang susah move on yang paling gampang dideteksi itu ialah saat ia berkendara. Orang yang suka ngelanggar lampu merah itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang susah move on. Mengapa oh why? Gini, dari jauh dia ngeliat lampu lalu lintas masih ijo, dia kebut, mikirnya pasti kebagian ijo dan gak harus berhenti. Eh, pas 5 detik lagi mau lewatin lampu, udah berubah ke kuning, tapi dia gak peduli. Dia tancep juga gas, makin kenceng malah. 2 detik sebelum berhasil lewatin batas jalan, lampu udah merah, dia gak peduli. Menurut dia, dia masih kebagian hak buat jalan. Karena dia udah liat lampunya ijo dari ujung sana.

See? Orang-orang kayak gini gak terima kenyataan kalo lampu yang tadinya ijo yang mereka liat di ujung sana udah berganti merah ketika mereka mendekat. Sama kayak hidup, mereka gak akan terima kenyataan bahwa apa yang terjadi sekarang udah gak sesuai sama yang mereka harapin dulu. Akhirnya apa? Mereka akan terus tancap gas merasa masih punya hak untuk jalan lalu menghidupkan klakson sekenceng mungkin untuk menyuruh orang lain yang berhak jalan berhenti.

Susah melangkah dan meninggalkan apa-apa yang di belakang kadang juga bisa bikin hidup orang-orang di sekitar kita terganggu stabilitasnya. Percaya atau gak, orang-orang yang sayang sama kita pasti jadi punya beban pikiran lebih gimana caranya supaya kita bisa bangkit (move on).

Dan tau apa? Semakin banyak saja orang yang melanggar lampu merah dan itu berarti……

Apa kamu juga salah satu dari mereka?




Why Do I Love You?


“Kenapa kamu mencintaiku?”

Kamu bertanya di siang yang panas juga warung yang sesak dengan pengunjung. Mereka jelas tidak peduli pada obrolan kita, namun sepasang kupingku berusaha menangkap suaramu yang tertelan bisingnya keramaian.

Kenapa? Aku lalu tertegun, seperti menyadari sesuatu. Memangnya kenapa?

“Bukankah manusia itu cenderung akan jatuh cinta pada manusia yang memiliki kesamaan dengannya?”

Lalu kita apa?

Sepasang manusia dari dua latar belakang berbeda, mencoba menjalin benang marah yang sama. Mungkinkah?

Narcissus, seorang pria Yunani –anak dari Dewa Sungai, Chepissus- yang memiliki ketampanan tiada tara dan membuat begitu banyak perempuan menggilainya. Ia begitu sombong dengan ketampanannya sehingga merendahkan semua orang yang menyukainya karena ia menganggap tidak ada yang mampu menandingi kesempurnaan parasnya.

Suatu hari Narcissus berjalan-jalan di hutan dan bertemu dengan Echo –peri hutan. Echo dengan serta-merta langsung jatuh hati pada paras Narcissus yang tampan, ia lalu menyatakan perasaannya pada Narcissus. Namun, sangat hancur hati Echo ketika Narcissus menolaknya. Dewi Aphrodite yang mendengar hal ini ingin memberi Narcissus sebuah hukuman. Maka diperintahkannya Cupid untuk memanah Narcissus saat ia sedang minum di sebuah kolam. Terlepasnya panah Cupid dan menancap pada Narcissus saat ia merunduk hendak minum, maka dilihatnyalah bayangannya sendiri. Panah telah tertancap, Narcissus jatuh cinta pada wajahnya sendiri yang terpantul di permukaan air.

Narcissus mati dalam penantiannya untuk dapat menyentuh pantulan wajahnya sendiri di permukaan air.

Setiap manusia, ya, setiap manusia pasti mempunya sifat narsis di dalam dirinya, hanya saja kadarnya yang berbeda. Tidak heran mengapa begitu banyak manusia mencari dirinya sendiri di dalam diri orang lain. Maka, hal yang wajar jika seseorang jatuh cinta pada orang yang memiliki kesamaan dengannya. Bisa soal hobi, selera makan, klub bola jagoan, atau bahkan luka yang sama.

Tapi mengapa kita tidak?

Kita benar-benar berbeda.

Mengapa aku mencintaimu?

Cinta bagiku itu objektif, aku bisa menilai seseorang yang pantas untuk kucintai. Cinta itu juga selektif, aku bebas memilih pada siapa aku harus memberikan cintaku. Namun tidak halnya dengan perasaan nyaman. Aku tidak bisa memaksa diri pada siapa aku merasa nyaman.

Maka, ketika kamu bertanya mengapa aku mencintaimu, aku bisa menuliskan beribu alasan di berlembar-lembar kertas. Tapi ketika kamu menanyakan mengapa aku bisa nyaman berada di dekatmu……

 –aku tidak punya jawabannya.

Kita bukan mereka. Dan tidak perlu menjadi seperti mereka. Ketika persamaan itu tidak jua kita temui, mengapa tidak mencoba mengalah pada perbedaan? Mengalah untuk saling menerima bahwa kita memang berbeda.


Bagiku, cinta itu selektif dan objektif, namun rasa nyaman itu subjektif.

Inget Gak Dulu


Inget gak dulu kita sering nyari sarapan sebelum akhirnya nginjekin kaki di kampus? Nyobain dari mulai nasi gurih di warung-warung kecil hingga cuman makan kue di bawah pohon.

Inget gak dulu kita sering menyamakan urusan yang sebenernya berseberangan? Apa-apa mesti dilakuin sama-sama, walaupun kepentingannya nggak sama. Nggak jarang menghabiskan sore di kampus karena salah satu dari kita belum selesai urusannya.

Inget gak dulu kita sering bingung nentuin makan siang padahal perut sudah bergolak kencang? Sebenernya bukan karena kurangnya variasi jajanan, hanya saja selera kita yang begitu sulit disejajarkan. Kita tidak ingin ada salah satu yang merasa terpaksa mengikuti keinginan yang satunya lalu terpaksa menahan lapar.

Inget gak dulu akhirnya pilihan makan siang kita lebih sering jatuh ke semangkuk bakso? Kadang itu bakso tahu, kadang mie bakso. Bisa jadi jika sedang merasa kenyang, pilihan kita jatuh ke bakso tok.

Inget gak saat kita sedang sama-sama melarat? Kita makan bakso goreng sebungkus berdua. Juga dengan air minum kemasan yang dibagi dua. Duduk di bawah pohon. Dengan segala letih juga hasrat ingin mandi karena peluh yang membanjiri.

Inget gak saat kita marahan awal-awal deket dulu? Aku ngerasa kamu gak sepenuhnya ngerti aku. Begitu juga sebaliknya. Kita saling mengeluarkan kata-kata tajam nan menusuk. Namun, setelah diam yang sejenak, kita akhirnya tau, ada rindu yang mengalahkan ego. Lalu semua kembali seperti apa adanya.

Inget gak saat akhirnya kita nemuin selera makanan yang sama? Euphoria itu sangat terasa, seperti akhirnya kita merasa komplit, bahwa kita satu. Bahkan akhirnya kita dapat menyantap satu menu yang sama di satu meja dan satu waktu. Ya. Itu steak.

Inget gak di kala sore aku sering menjemputmu di kantor? Walau hanya sekedar ngopi, kita tetap menyempatkan untuk bertemu. Walau waktu yang tersedia sebenaranya tidaklah cukup untuk kita menumpahkan cerita juga rindu yang dirasa.

Inget gak di kala kita berjalan kaki keliling kota?  

Saat-saat itu sedang kurindukan. Disini, berdiri, sendiri. Di tempat yang sama yang dulunya pernah kita tapaki bersama. Disini, tanpamu, hampa. Di tengah suasana semaraknya dunia. Disini, namun sepi. Di kelilingi oleh wajah-wajah yang sama, namun tak serupa.

Saat-saat itu sedang kunikmati. Dalam khayal. Semoga akan segera terulang. Dalam waktu dekat. Walau di tempat berbeda.



Bola. Perempuan. di antaranya_

EURO udah mulai. Yang punya pacar dan pacarnya gila bola udah bisa siap-siap dianggurin selama sebulan. Apalagi yang baru-baru jadian dan masih anget-angetnya pelukan, tiba-tiba harus dilepas dan didinginin. Hiiiiy….horor. Tapi yang lebih horor yang masih di-pedekate-in terus dan gak dijadi-jadiin, mau cemburu gak bisa, gak cemburu, bisa-bisa kena lever. Hiiiiiyy….

Bola dan perempuan memang selalu jadi momok yang menakutkan. Dimana bola bisa nyingkirin prioritas perempuan di hati laki-laki. Hiiiiy…horor bagi perempuan, biasa aja bagi laki-laki. Tapi bisa jadi gak biasa buat laki-laki saat perempuan mulai berdemo meminta persamaan strata dengan bola di hati mereka (laki-laki). Ini yang mulai bikin pusing, sering memicu pertengkaran, dan bisa-bisa ujung-ujungnya putus.

Saat perempuan meminta perhatian laki-laki tetap konstan bahkan di saat ada pertandingan bola, bagi perempuan itu adalah pembuktian. Namun, saat laki-laki harus membagi perhatiannya saat sedang fokus menyaksikan jalannya pertandingan, bagi laki-laki itu adalah derita tiada akhir.

Solusinya? Pinter-pinter gimana ber-deal aja. Tawar-menawar itu penting. Jadikan bumi ini lebih go green.

You may say that’s a curse. But for me, it’s a sacrifice.


–kita


Keadaan yang meniadakanmu dalam hujan bergemuruh angin semalam. Ada ranting-ranting harap yang patah terpaksa saat doa-doaku tidak terpanjat sempurna. Ada bias air terselip dingin beku saat tempiasnya menghantam ruangku. Ada kamu dalam kesunyian yang begitu lama dan mengendap. Bahkan di malam sesunyi ini mimpi-mimpiku tetap saja merangkak nyata.

Ketakutan. Kedinginan. Lara tak berkesudahan. Aku baru saja tahu apa makna bahagia tatkala sepasang matamu menghempas semua ragu ke ujung sana. Aku baru saja tahu bahwa hujan tidak serta-merta mengantarmu padaku dalam kalut. Aku baru tahu, Tuhan menyisakan cinta untuk kunikmati bersamamu.

Namun jalannya renta, rapuh disana-sini. Kadang tidak tahu harus berpegang dimana, hingga hanya bisa berdiri diam mematung menyeimbangkan diri agar tidak terperosok. Kadang harus berpegang pada ranting kecil rentan goyangan dan hentakan, tidak bisa bergantung menumpu setengah beban diri –takut putus lalu tergelincir ke dalam jurang. Kadang juga, harus rela memasrahkan diri pada takdir saat tidak ada yang bisa diandalkan, menekatkan diri terus melaju menerka potongan kayu mana yang masih cukup kuat untuk dipijaki. Kadang angin menggoyangkan semua yang ada, menggoyahkan keyakinan juga asa yang masih terpahat basah.

Ada bahagia di ujung sana. Tanah terjal ini bukanlah apa. Gunung curam ini bukanlah penghalang kita. Genggam tanganku, yakin kubawa dirimu bersama. Kesana.
–kita

Udah Saatnya


Nggak terasa rambut saya udah sepunggung. Pertama kenal kamu rambut saya masih cepak. Masih hobi-hobinya ngegembel, make kaos oblong, jins belel, dan sandal jepit. Masih gunain dompet laki-laki buat ngisiin duit dan beberapa kartu penting. Masih hobi juga flirting-flirting sama perempuan. Intinya saya masih begitu ganteng saat itu.

Kenal kamu, ngelewatin banyak hari, kebersamaan, juga kesempatan. Dan saya berubah. Bukan seperti kstarian baja hitam. Saya mulai ninggalin kets kesayangan, diganti sama flat shoes yang modelnya banyak yang unyu-unyu gitu onion-emoticons-set-6-88 
Saya juga mulai ogah dikatain ganteng, dipanggil Oom sama ponakan. Intinya saya mulai balik ke kodrat.

Dulu saya pernah janji sama sepupu kalo saya gak bakal berubah. Saya mau tetep kayak gitu. Rambut cepak, jins usang, kaos kedodoran. Saya mau konsisten, ogah dikatain mencla-mencle. Ya kalo ada yang suka sama saya, terima saya apa adanya dong. Cetakan udah macho begini, mau diapain? Jangan nyuruh saya berubah, saya ogah berkorban demi cinta. Cinta yang harus berkorban demi saya. *halah*

Tapi kok makin kesini makin sulit konsisten yak?

Makin tergoda aja liat itu sepatu-sepatu cantik yang dipajang di etalase toko, baju-baju unyu yang dipakein di manekin-manekin. Majang foto-foto yang manis-manis di jejaring social. Saya mendapati diri saya makin…

Aneh.

Eh, feminim maksud saya onion-emoticons-set-4-15

Mungkin ini udah saatnya…
onion-emoticons-set-6-39



Ratapan Jomblo


Gini deh, oke, saya suka situ. Trus, ngapa? Kenapa malah saya yang mesti nangis? Kan saya yang punya cinta, situ nggak. Kenapa musti saya yang terisak di sudut kamar saban liat kamu gandengan tangan sama gunduruwo yang rambutnya di-rebonding itu? Atau liat kamu cipokan di ujung koridor mentok sama dinding pustaka sama Sundel Bolong yang bodinya bohay-asoy-geboy itu.

Saya itu kesel. Yah kamu nggak emoh-emoh gitu sama perasaan saya. Saya udah kadung cinta sama kamu. Udah ngesot-ngesot buat dapetin satu aja lirikan mata kamu. Susahnya setengah mampus…

Belon lagi musti saingan dateng paling cepet tiap pagi sama si Kuntilanak yang hobi pake gaun mini itu cuman supaya bisa duduknya deket-deket kamu. Yaelah, gempor juga ni kaki saban pagi musti lari-lari ngejerin angkot yang penumpangnya udah pada penuh sesak sama anak sekolahan. Kepagian soalnya.

Saya itu yah heran sebenernya sama kamu. Lah kok malah nggak pernah gitu ngerasa ces-krenyes-krenyes pas saya flirt. Saya malah udah pake jurus kedip-kedip mata loh supaya situ kesengsem sama saya. Udah pake jurus kejedot dinding trus pura-pura pingsan. Udah sengaja jatuh-jatuhin buku supaya kamunya ngutip trus balikin ke saya. Tapi lah kooooook……?

 Saya abis akal ngadepin kamu. Apa saya jampi-jampi aja ya?


Percakapan Pagi


| Kamu hendak kemana? tanya guling saat dihempaskan ke sudut tempat tidur.

“Mengambil hp. Siapa tau…”, Farah melangkah gontai menuju meja tak jauh dari tempat tidurnya, tempat ia meletakkan ponselnya.

| Siapa tahu apa? Mana mungkin, Farah…. ditertawakan oleh bantal, Farah memilih cuek.

Ia lalu menekan tombol pembuka kunci, menatap layar ponselnya. Kosong.

| Tidak ada kan? selimut terkekeh. Pastilah ia telah lupa pada pagimu. Pastilah ia kini lebih memilih terbuai mimpi daripada menyambut pagi bersamamu.  

Farah masih saja menatap layar hingga lampunya redup sendiri dan pengunci otomatis bekerja.

| Sudah, kembali saja kesini, kita sambung lagi mimpimu yang terputus karena resah menunggu. kasur mengajak sembari tersenyum.

Farah menghela nafas, meletakkan kembali ponselnya dengan gamang, menuju tempat tidur.

Tidak ada selamat pagi, sudah berhari-hari. Farah membenamkan kepalanya ke bantal.

| “Semoga kali ini aku mendapatkan pagiku bersamamu.”, ujarnya dalam doa sebelum ia kembali terlelap. |


Terbiasa_


Sebuah lagi penghantar tidur yang sudah berulang kali diputar seharusnya sudah dapat melelapkanku. Sudah setengah 1 dini hari, namun mataku masih sehat wal afiat tidak kurang suatu apapun. Mungkin sebentar lagi aku akan bermetamorfosa menjadi siluman kalong. Mungkin.

Sebatang coklat bisa jadi teman yang sangat efektif di saat malam-malam kelaparan. Cukuplah makan dua potong untuk mengganjal perut, tidak perlu takut akan gemuk, dua potong kecil coklat itu akan segera berubah menjadi bakaran lemak saat otakku berusaha mengolah aksara menjadi makna. Sebenarnya coklat ini agak terlalu….manis.

Ini coklat yang berbeda dari yang biasanya kumakan. Niatnya sih ingin mencoba sesuatu yang baru, siapa tahu pilihan kali ini juga tepat, siapa tahu lidahku bisa fleksibel akan beberapa rasa berbeda, siapa tahu…

Tapi yang tahunya, aku merasa kemanisan, manisnya nyelekit hingga membuatku mengernyitkan kening ketika berusaha menelannya. Yang kusukai hanyalah saat sisa-sisa almon di mulut telah luruh dari gumpalan coklat, lalu dapat kukunyah dengan tenang, menelan dengan nyaman. Namun tetap saja, almon ini tidak seenak almon di coklatku biasanya.

Terbiasa. Ya. Apa-apa yang telah terbiasa memang susah dilupa. Sudah melekat hingga sulit dilekang. Manusia, begitulah caranya mereka hidup. Ada dua-tiga yang menyukai dinamika, namun kebutuhan dasar tetap saja sebuah keterbiasaan.

Cinta bisa saja menjadi kebutuhan dasar –terbiasa- atau kebutuhan pelengkap –tidak terbiasa. Cinta bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan ada di hidup seseorang –karena terbiasa- dan ada yang menganggapnya tidak penting –karena tidak terbiasa.

Semua hal yang terbiasa, maka akan menyisakan hampa saat itu tidak lagi bisa menjadi sebuah keterbiasaan.  Semua hal yang tidak-terbiasa, maka akan terus tersingkir tidak digubris keberadaannya.

Putus dari pacar, patah hati, lalu merasa sepi. Terbiasa ada seseorang, terbiasa mencintai seseorang, lalu menjadi tidak-terbiasa tidak ada seseorang, tidak-terbiasa tidak mencintai seseorang. Terbiasa tanpa hampa, lalu menjadi tidak-terbiasa bersama hampa.

Hey, bukankah hidup ini pilihan? Dengan apa kamu ingin hidup. Terbiasakan atau tidak-terbiasakan. Pilihlah salah satu dengan bijak, juga sesuai waktu dan kondisi. Hidup pasti akan menunjukkan jalannya.

Don’t try to find love. Let love find you –sebuah pepatah.


Berani Gak Sih?


Mari berbicara mengenai tinggi badan dan cinta. Bukan bau badan dan cemekam. Tolong dibedakan.

Cinta itu sulit ditebak kapan hadirnya, seringnya nggak bisa milih mau hinggap di siapa. Bisa sih mikir dan nimbang dulu ini-itu sampe akhirnya mutusin dia pantes dikasih cinta dan juga usaha, tapi tetep aja cinta itu gak bertuan, terserah ia mau kemana.

Kadang cinta datang di antara dua orang yang sebenarnya kalau disandingkan berdampingan akan terlihat agak sedikit…..rancu. Jika si Laki-laki lebih tinggi dari si Perempuan, maka itu hal yang lumrah. Namun, jika sebaliknya?

Saya selalu nanya ke setiap laki-laki yang saya temui. Soal momok ini.

Berani gak sih deketin perempuan yang tingginya sangat jauh dari kamu?

Dan semua menjawab, “Berani!”

Saya kagum sama jawaban mereka semua, alasan-alasan yang diberikan pun keren-keren. Tak ayal saya pengen memacari mereka semua. *nah lho?* *lospokus*

Tapi kenapa kenyataannya gak kayak gitu?

Bukan gak ada sih, ada dan gak banyak pasangan yang terbalik seperti itu.

Karena apa? Karena dibutuhin keberanian dan keikhlasan yang besar. Yang laki-laki harus berani dengan tinggi badan seadanya ngedeketin perempuan yang dia taksir, dia harus berkorban harga diri. Harga diri laki-laki adalah aset paling gak ternilai harganya bagi mereka. Kalo gak bulat tekad? Pasti langsung berpaling ke yang sejajar atau lebih pendek, ketimbang diketawain melulu sama temen. Dikatain menggapai harapan palsu.

Sedangkan yang perempuan, ya itu, harus siap dikata-katain oleh orang-orang sekitar mengenai pilihannya yang jatuh pada laki-laki yang jauh lebih pendek darinya. Imbasnya? Kalo gak kuat-kuat iman, bakal goyah, ujung-ujungnya nyerah deh. Lebih milih bunuh perasaan ketimbang mati gengsi diledekin terus.

Kalo ternyata berhasil jadian? Siap-siap aja terus menerus dihujani tatapan aneh oleh orang-orang dan siap-siap aja banyak adegan di film-film romantis yang gak bakal bisa kalian praktekin onion-emoticons-set-6-159

Oh ya, untuk yang perempuan, siap-siap melambai selamat tinggal pada high-heels. Karena teplek adalah sahabatmu kini.


Perempuan Hebat; Aku


Aku tidak pernah bisa berharap dapat memakaikan sepatumu suatu saat, tidak pernah berani berharap dapat membenarkan lipatan kerah kemeja kantormu suatu hari. Aku bahkan tidak berani mengkhayal bahwa suatu saat, akulah yang kau hujani kecupan selamat pagi di pinggir tempat tidur, bergelut di pelukmu. Sekali pun aku tidak pernah berani. Dulunya.

Tapi kau membisakanku, membiasakanku untuk melihat hari itu. Hari dimana ada hangat di sekujur tubuh karena dekapmu, ada geli menjalari syaraf karena kecupmu, juga yang teramat –ada cintamu yang tidak pernah habis menutupi cacatku.

Kau membuatku berani berekspektasi akan ada sebuah keluarga kecil nantinya dimana para malaikat-malaikat kecil itu memanggilku “Ibu”. Kau membuatku berani terang-terangan berimaji tentang suatu hari itu, juga pembagian tugas siapa yang menyuci, memasak, menyetrika, membereskan rumah dan siapa yang mencari uang juga mengantar-jemput peri-peri kecil itu dari sekolah.

“Ngedapetin perempuan hebat itu memang berat. Nggak boleh pernah ngarep dia bakal peduli keadaan kita gimana. Sedang akan mati atau lagi nonton drama.”

Sudah tidak terhitung berapa kali kau lemparkan serapah itu ke mukaku. Seperti sampah yang enggan kau buang tidak pada tempatnya agar tidak terlihat olehku. Bahkan sekarang semakin sering kau menyadarkanku betapa busuknya aku.

Kau tahu apa? Akan kukatakan sekarang.

Aku bukan perempuan hebat. Tidak pantas diagungkan sejajar Tuhan –tidak dapat dipersalahkan dan mutlak. Aku bukan perempuan yang patut kau ukir mukamu dengan sebilah belati bermata ganda, terlihat olehku seolah senyum namun nyatanya darah mengucur dari sudut kedip matamu. Begitu mengenaskannya kah keadaanmu hanya untuk bisa bersanding dengan perempuan sepertiku? Siapa aku? Bidadari dari surga? Atau titisan dewi dari khayangan?

Bukan. Aku adalah perempuan tidak tahu diri yang masih saja terus bergantung pada cintamu. Menuntut ini-itu. Tanpa pernah mau tahu apa kau sedang sekarat dibuai maut atau sedang merintih manja bersama ajal.

Kau tahu kenapa?

Karena memang seperti itulah aku. Di matamu.