Aku pernah
mengimajikan memiliki sebuah keluarga kecil, tinggal di pedesaan, mengurusi
kebun kecil di pekarangan rumah yang ditanami berbagai macam kebutuhan dapur,
menikmati sejuknya udara dan ketenangan, tidak banyak yang perlu dikhawatirkan.
Anak-anakku akan tumbuh dalam kebebasan berteman dengan alam, pasti akan lebih
cerdas dari anak-anak di kota. Mereka juga akan lebih sadar, bahwa alamlah yang
menjaga kita tetap hidup dan sudah seharusnya kita balik menjaga keutuhannya.
Di saat
anak-anak kita sekolah, kamu akan menemaniku memanen tomat, cabai, bawang, juga
sayur-sayuran. Aku akan mulai memasak kemudian, kamu akan duduk di meja sembari
memperhatikanku yang tengah sibuk meracik bumbu. Sesekali kamu tersenyum,
menyadari betapa bahagianya keluarga ini. Sesekali aku akan menoleh padamu,
karena dalam detik pun aku tidak bisa menghalangi rindu yang memaksaku untuk
tidak menuntaskannya.
Kita akan menua bersama, melihat anak-anak kita tumbuh besar, dewasa, memiliki cucu. Tidakkah imajiku sangat indah?
Di hari ketiga
kamu pergi, aku cemburu. Cemburu karena kamu sedang disana, menikmati sejuknya
hawa pedesaan. Tanpa aku. Juga lingkar tanganku memeluk manja pinggangmu. Ini
bukan soal keterpaksaan yang memaksamu kini tiba disana, atau tuduhanmu aku
tidak mampu mengerti. Ini hanya cerita, imajiku yang kucoba bagikan denganmu,
juga perasaanku. Bukan untuk memaksamu kembali ke kota ini dan meninggalkan
tugasmu. Bukan untuk menuntutmu mengiyakan yang kamu sangka mauku. Ini hanya
cerita, imajiku yang coba kusampaikan padamu.
Hey, bukankah di awal kenal dulu yang kita lakukan hanya
bercerita? Mengapa sekarang sudah jarang kita lakukan? Aku hanya ingin membagi
apa yang kupunya denganmu.
Aku cemburu.
Bukan soal rindu atau perempuan. Ini tentang…
J a r a k.
Masih 27 hari
lagi. Haruskah aku mulai menyegel mulutku?
0 komentar:
Posting Komentar