“Kenapa kamu mencintaiku?”
Kamu bertanya di siang yang panas
juga warung yang sesak dengan pengunjung. Mereka jelas tidak peduli pada
obrolan kita, namun sepasang kupingku berusaha menangkap suaramu yang tertelan
bisingnya keramaian.
Kenapa?
Aku lalu tertegun, seperti menyadari sesuatu. Memangnya kenapa?
“Bukankah manusia itu cenderung
akan jatuh cinta pada manusia yang memiliki kesamaan dengannya?”
Lalu kita apa?
Sepasang manusia dari dua latar
belakang berbeda, mencoba menjalin benang marah yang sama. Mungkinkah?
Narcissus, seorang pria Yunani –anak dari Dewa Sungai, Chepissus- yang memiliki ketampanan tiada tara dan membuat begitu banyak perempuan menggilainya. Ia begitu sombong dengan ketampanannya sehingga merendahkan semua orang yang menyukainya karena ia menganggap tidak ada yang mampu menandingi kesempurnaan parasnya.Suatu hari Narcissus berjalan-jalan di hutan dan bertemu dengan Echo –peri hutan. Echo dengan serta-merta langsung jatuh hati pada paras Narcissus yang tampan, ia lalu menyatakan perasaannya pada Narcissus. Namun, sangat hancur hati Echo ketika Narcissus menolaknya. Dewi Aphrodite yang mendengar hal ini ingin memberi Narcissus sebuah hukuman. Maka diperintahkannya Cupid untuk memanah Narcissus saat ia sedang minum di sebuah kolam. Terlepasnya panah Cupid dan menancap pada Narcissus saat ia merunduk hendak minum, maka dilihatnyalah bayangannya sendiri. Panah telah tertancap, Narcissus jatuh cinta pada wajahnya sendiri yang terpantul di permukaan air.Narcissus mati dalam penantiannya untuk dapat menyentuh pantulan wajahnya sendiri di permukaan air.
Setiap manusia, ya, setiap
manusia pasti mempunya sifat narsis di dalam dirinya, hanya saja kadarnya yang
berbeda. Tidak heran mengapa begitu banyak manusia mencari dirinya sendiri di
dalam diri orang lain. Maka, hal yang wajar jika seseorang jatuh cinta pada
orang yang memiliki kesamaan dengannya. Bisa soal hobi, selera makan, klub bola
jagoan, atau bahkan luka yang sama.
Tapi mengapa kita tidak?
Kita benar-benar berbeda.
Mengapa aku mencintaimu?
Cinta bagiku itu objektif, aku
bisa menilai seseorang yang pantas untuk kucintai. Cinta itu juga selektif, aku
bebas memilih pada siapa aku harus memberikan cintaku. Namun tidak halnya
dengan perasaan nyaman. Aku tidak bisa memaksa diri pada siapa aku merasa
nyaman.
Maka, ketika kamu bertanya mengapa
aku mencintaimu, aku bisa menuliskan beribu alasan di berlembar-lembar kertas. Tapi
ketika kamu menanyakan mengapa aku bisa nyaman berada di dekatmu……
–aku tidak punya jawabannya.
Kita bukan mereka. Dan tidak perlu menjadi seperti mereka. Ketika persamaan itu tidak jua kita temui, mengapa tidak mencoba mengalah pada perbedaan? Mengalah untuk saling menerima bahwa kita memang berbeda.
Bagiku, cinta itu selektif dan
objektif, namun rasa nyaman itu subjektif.
0 komentar:
Posting Komentar