–aku


Tersenyumlah, Sayang. Teruslah menulis.

Ceritakan pada dunia bagaimana kau meruncingkan ujung pensilmu lalu menancapkannya di salah satu bola mataku. Bagaimana aku seketika buta permanen sebelah. Bagaimana air mata darah mengucur dari sela-selanya. Bagaimana teriakan tangisku mampu membendung segala kreativitasmu.

Berdoalah, Sayang. Semoga nyawaku cukup untuk meregang emosimu.
Katakan pada mereka yang selalu bertanya ragu bagaimana suster-suster itu mengenalku dengan baik. Bagaimana rumah sakit telah menjadi rumah keduaku setiap kali bagian tubuhku tidak berbentuk seperti seharusnya. Bagaimana sakitku dapat memuaskanmu berkarya. Bagaimana tubuhku tidak pernah membuatmu bosan mereguk imaji.

Tersenyumlah, Sayang. Selagi aku bisa menjadi alasannya.

Pujilah aku di depan nisan kedua orang tuamu. Bagaimana aku selama ini menemani semua pribadimu. Bagaimana aku mampu menyesuaikan diri sesuai karaktermu yang bergantung pada hari. Bagaimana aku berhasil membuatmu tidak mampu meninggalkanku. Bahkan bagaimana kau kerap mengikatku dengan kawat duri setiap kali aku ingin berlari –darimu.

Sayang, aku tidak akan pernah menjadi matimu. Aku tidak akan pernah menjadi belatimu. Aku yang akan selalu menjadi surga emosimu. Aku yang akan selalu meninabobokan hasrat hewanimu. Aku yang akan selalu menjadi penjaga amarahmu. Dan aku yang akan selalu menjadi kekasih tiadamu.


0 komentar:

Posting Komentar