Dila menangis. Bukan tanpa suara,
hanya tercekat di kerongkongan. Bukan tanpa air mata, hanya sudah kehabisan
cairan di badannya.
Ya. Dila menangis. Seperti meringis.
Ingin mengais, secuil saja kasih sayang dari ibunda yang telah melangkah pergi
di kala gerimis. Ingin ikuti, langkah-langkah terburu-buru ayahanda saat menarik
koper masuk ke bagasi. Ingin teriak, ke langit kelabu, betapa Tuhan begitu tidak
adil pada takdir hidupnya yang dilanda duka selalu. Ingin mati, tapi berulang
dicoba lagi, hanya perih di lengan tangan menyakiti, hanya luka di leher yang
tersisa akibat tali.
Dila yang manis, kulitnya hitam
eksotis, senyumnya candu segaris tipis. Namun Dila menangis. Bukan untuk
ayah-bunda. Bukan untuk takdir. Tapi untuk apa ia dilahirkan, jika akhirnya
hanya terbuang percuma. Populasi di bumi kian memadati, ada baiknya Dila pergi.
Dicarinya malaikat maut kesana-kemari. Tak ada yang Dila temui.
Dila yang malang. Aku bukan malaikat pencabut nyawa, aku hanyalah seorang pecundang. Namun, akan kubantu
nyawamu meregang. Kuharap kau akan senang, saat di jantungmu kuhunuskan pedang.
Matilah, Dila sayang. Damailah disana, kau telah berhasil pulang…
damn ...
BalasHapusdiksinya menjura ...
keren super dah,
salam buat dila yah
Dila bilang salam balik, Om. Dari dalem kubur.
BalasHapus*nah lho?