Berhenti


Maka, disinilah persimpangan kita. Sudah waktunya untuk berpisah –menjaraki mesra. Karena semua telah berbeda. Kamu tidak lagi sama. Bukan tidak lagi, namun ternyata. Asa yang terpecah berserak di hamparan kecewa. Tahu seperti apa rasanya? Saat tanyamu meragukan suasana. Hei, siapa kamu sebenarnya? Masihkah orang yang sama yang kucekoki cerita-cerita? Masihkah ia hafal bagaimana aku meraung menangisi segala masalah yang ada? Kenapa tanya konyol itu yang kamu lempar ke muka? Kenapa? Adakah pikiranmu menguasai logika? Atau memang selama ini kamu hanya berpura-pura?

Berpura-pura mengerti.

Berpura-pura memahami.

Berpura-pura berempati.

Ini sudah entah kali ke berapa kamu sukses memainkan lakon dungu mengejutkanku. Tiba-tiba aku dibuatmu tersentak seperti mati suri untuk beberapa waktu. Kamu begitu lihai mendalami peranmu, yang kadang membuat aku begitu mengagumi segala milikmu, yang kadang membuat aku meyakini kita ini semu.

Kita.

Aku merasa tidak ingin lagi menghabiskan kopi bersama. Di satu meja. Kepulan asapnya sudah tidak menyatu sempurna. Saat ia meluruh di udara. Sudah tak sama. Sudah tidak bisa. Sekian kali aku memaksa, tidak ada yang tertangkap di buku-buku jemari selain hampa yang senyata-nyatanya.

Aku benar-benar meyakini kini. Kita harus berhenti. Berhenti memaksa ini terus dijalani. Berhenti mendoktrin diri. Berhenti.

Maaf…tundukkan kepalaku mungkin tidak pantas mewakili. Tetapi hanya ini yang berani kuberi. Untuk terakhir kali.


0 komentar:

Posting Komentar