Every Woman Deserve To Be Pretty




Perempuan itu, setelah lama tidak bertemu, akhirnya aku melihatnya lagi di sebuah pagi yang akan segera beranjak siang. Masih dengan wedges 5 sentinya, ia berdiri di dekat pintu masuk, ada sesuatu yang dia tunggu. Ntah apa itu. Kucoba menghampirinya.

Perempuan itu, senyumnya masih saja sama seperti pertama kali aku bertemu. Masih selebar dan setulus dulu. Namun, ada yang berbeda kini. Ah, iya, bibirnya telah bergincu. Gincu berwarna oranye, serasi dengan kulitnya yang sawo matang. Kucoba mengajaknya ngobrol.

Perempuan itu, kutatap lekat matanya, masih saja ia mencurahkan seluruh fokusnya pada lawan bicaranya, membuatku merasa dihargai dengan tatapan lembutnya di sepasang mataku. Samar kulihat kelopaknya telah berwarna merah muda sekarang. Terakhir kali kulihat, hanya dibingkai celak hitam legam. Kucoba mengajaknya duduk.

Ia masih bercerita, juga menjawab semua tanyaku dengan riang. Tidak kutemukan semangat yang pernah surut dari senyumnya, gelak tawanya, juga gestur tubuhnya. Ia begitu istimewa kurasa. Seorang perempuan istimewa yang sangat menghargai dirinya sendiri. Seorang perempuan yang percaya diri.

Ia tidak cantik, tubuhnya tidak tinggi semampai, kulitnya tidak putih memukau. Namun, ada semacam rasa percaya bahwa “perempuan manapun berhak tampil cantik dan mengenakan apapun yang ia inginkan” dari dirinya.

Aku melihat matanya yang kini memerah muda di bagian kelopaknya. Kudapati bibirnya yang telah bergincu. Dulu, satu polesan pun tidak dapat kutemukan melekat di wajahnya. Wajah kusamnya, juga tundukan malu itu kadang membuatku iba.

Aku melihat jilbabnya yang dililit trendi ala sekarang. Kudapati ia telah sering memakai banyak warna. Dulu, aku hanya melihatnya memakai tiga warna, hitam, coklat, juga abu-abu. Juga baju-baju kedodoran.

Dan saat aku hendak berjalan pulang dan memunggunginya, sempat kulihat sepatunya. Cantik. Wedges - yang sampai saat ini belum berani kupakai, masih kusimpan rapi di dalam kotaknya, tapi ia dengan berani memamerkannya. Dulu, hanya ada sepatu flat seadanya, kadang dengan warna yang tidak sesuai.

Ia berubah, seperti ulat yang mengepompong ketika tiba masanya sebelum menjadi kupu-kupu yang cantik. Begitulah siklus hidupnya. Dari seorang perempuan kampung yang pemalu dan rendah diri, menjadi seorang perempuan kota yang cantik dan percaya diri.

Ia tidak cantik. Namun, aku menemukan makna ‘cantik’ yang sebenernya dari perempuan ini.

Aku mengaguminya. Sekaligus iri.

Kagum, untuk keberaniannya.

Iri, untuk kepengecutanku menjadi seberani dirinya.

Dan perempuan itu kupanggil Uli.

0 komentar:

Posting Komentar