Sudah 2 jam aku menunggu, duduk
di salah satu sudut pagar, melipat tangan, menyaring pandangan pada motor-motor
yang berlalu-lalang. Setiap melihat satu motor di tikungan dari jauh sana, aku
berharap itu jemputanku tiba. Tapi 2 jam sudah berlalu dan entah motor ke
berapa yang sudah berlalu dan satu pun bukan jemputanku. Kuputuskan berjalan
sedikit ke salah satu wartel di sudut sana. Dengan sisa uang jajan sekolah pagi
tadi, aku menelpon rumah.
“Apa? Abang? Abang kan udah pergi dari tadi? Apa? Belum dijemput? Sebentar.”
Tidak lama kemudian.
“Abang masih tidur ternyata. Tunggu aja ya
disana?”
Dan aku kembali duduk di sudut
pagar itu. Kembali menghitung kendaraan yang lewat, sembari berharap itu
jemputanku. Akhirnya? Aku berjalan pulang sendirian.
~
Kata teman-temanku, ia juga
menyukaiku. Tanpa sadar kusungging segaris senyum tanda senang. Cinta pertama. Dan
aku memiliki tanda-tanda bahwa ia juga mempunya perasaan yang sama. Aku
menunggu, dalam bahagia juga cemas. Lambat waktu berjalan, dan aku semakin gila
dibuatnya. Tidak terbayang bagaimana saat aku memberanikan diri menelponnya
hanya untuk meminta kepastian perasaan darinya. Hal gila. Ya. Aku gila saat
itu. Tapi penantian ini cukup menyiksa. Dan saat telpon dijawab, suara di
seberang sana mengatakan dia sedang tidak di rumah.
Padahal itu suaranya.
~
Tiga jam lebih kuhabiskan di
sebuah kafe. Sudah minuman ke-3 mungkin. Semenit sekali kulirik jam di ponsel. Berharap
aku belum menunggu selama itu. Kusapu pandangan ke sekeliling. Setiap ada orang
yang masuk ke dalam, aku berharap itu dia. Tapi bukan. Kuputuskan mengirim
sebuah sms. Lama kunanti tak berjawab. Kucoba menelpon, tidak ada sahutan. Setelah
menunggu kehadirannya begitu lama, sebuah pesan masuk.
Baru bangun. Mandi dan makan dulu ya? Mungkin
nyampe kesitunya agak telat. Soalnya nungguin ada yang nganter.
Sejam setelah itu.
Gak ada yang nganter. Besok aja ya?
~
Lelakiku berkata, ia akan sangat
sibuk hari ini. Kuputuskan menerimanya dengan lapang dada walaupun sulit. Lalu yang
terjadi selanjutnya? Aku menggila, berusaha mematikan pikiran tentangnya,
memangkas keinginan untuk memeluknya, mencoba sedikit saja lebih sabar dan
menerima. Perlahan waktu berganti, senja memunggungi, aku semakin tidak bisa
menahan diri. Tapi aku tahu, penantianku akan berujung manis. Pasti ada sedikit
saja waktunya untuk memelukku. Aku girang bukan kepalang. Mencoba tetap tenang
walau hati bersorak gembira ketika malam tiba. Dan malam memang benar-benar
tiba, tapi sebuah pesan menghancurkan segala euphoria yang ada.
Dia tidak akan memelukku malam ini.
~
Aku selalu menunggu, merasa lelah
terkadang, bukan masalah. Tapi yang paling menyakitkan adalah di antara semua
orang yang kutunggu, tidak ada satu pun yang mengucapkan kalimat,
“Maaf, telah membuatmu menungguku terlalu
lama.”
Walaupun jawaban akhirnya
tetaplah tidak bisa, tak mengapa. Karena mungkin manusia memang ditakdirkan
untuk saling menunggu.
0 komentar:
Posting Komentar