Jika air mata
ini jatuh lebih cepat dari langkahmu menumpukan kepalaku di pundakmu, aku
meminta maaf. Bukannya tidak menunggumu datang atau bahkan mengabaikan
kehadiranmu setelah hujan mereda dan mentari menyendu.
“Kita
benar-benar berbeda.”, ucapmu, memunggungiku, menyepak kerikil yang berserakan,
juga mencoba menggapai angin dengan kepala menengadah. Menutup sepasang matamu.
Ada pelangi saat
itu.
Tapi kamu tidak
melihatnya. Kamu terbuai angin, bergumam kecil, menyenandungkan sebuah sajak
berupa-rupa. Berbisik. “Tapi aku sangat mencintaimu.” Di telingaku. Ada geli
yang kurasa di daun telingaku saat desah nafasmu menghantam syaraf-syarafnya,
lalu turun melewati leher dan berhenti di rongga dada. Ada seperti euphoria tak terdeskripsikan sempurna
yang coba memompa laju darahku lebih cepat dan memenuhi paru-paruku hingga
sesak.
Aku terbata.
Menatapmu tidak
lagi bisa kulakukan sambil lalu. Menatapmu sudah perkara lain yang menjadi
semakin mendegupkan, mendegupkan, dan mendegupkan saja. Menatapmu tidak
kusangka bisa sesulit ini. Dan yang jauh lebih sulit, menatapmu sembari menata
perasaanku yang meledak berserakan ke sudut-sudut hati tanpa harus menahan
untuk tidak memelukmu. Erat.
Ada eksploitasi
serotonin dan dopamin di setiap senyummu meneduhkan gundah. Memercik bahagia,
menyerat tawa.
Aih, maafkan
kecengenganku di setiap kamu tiada. Maafkan keluhan di setiap kali kita tidak
bersama.
Aku hanya…anggap
saja, masih terlalu lelah dengan keadaan. Bukan berarti menyerah.
Dan saat hujan
berhenti nanti, mentari menyendu, aku akan menunggumu. Dengan payung itu,
bersender di dinding gang.
Memelukmu,
adalah yang paling ingin kulakukan saat ini. Tertahan. Bukan berarti tidak
akan.
0 komentar:
Posting Komentar