Dan inilah aku. Perempuan tak berhati yang sedang mencoba bergantung pada hati seseorang yang sudi.
“Dengan apa kamu hidup? Hati atau logika?”
Kala itu kamu bertanya, ingat? Saat amarahmu memuncak, memunculkan sebuah tanya lalu memuntahkan sebuah persepsi.
“Kamu berlogika.”
Entah sebuah kebanggaan atau sebuah ejekan yang kudapat. Yang jelas, aku tidak mengelak pun mencoba berkelit.
Dan inilah aku. Perempuan yang sudah begitu lama mematikan hati, kamu tau aku apakan dia? Kubakar saat darahnya masih segar. Bau gosong itu…aku sungguh menikmatinya, saat ia tertikam panas membara, meronta, lalu terkulai tidak berdaya. Mati.
Tidak lagi ada hati di setiap langkah yang kusemai dalam hidup. Tidak ada lagi hati di setiap senyum yang menghias demi rupa seseorang. Aku ini perempuan. Dan hati bukan lagi milikku.
Satu per satu terjadi, aku diam membalut luka, membebatnya dengan kasa pasrah bercampur alkohol kekalahan. Perih? Jangan tanya seperti apa rupaku saat itu. Diam menangis dianggap tertawa bahagia. Sendu mengisak dianggap derai gelak canda.
Ini bukan soal cinta. Mematikan hati tidak melulu soal patah hati. Ini adalah seperti apa kamu membunuh semua yang mungkin, asa, harapan, cita-cita, apa saja. Bahkan kesempatan. Cinta itu baru sekali kubuai, walaupun berakhir dengan luka sambit karena kepalsuan, bukan karena itu aku, perempuan, memutuskan membakarnya hidup-hidup.
Maka, inilah aku, perempuan tak berhati yang sedang memasang pengait harapan di hati seseorang. Agar langkahku tidak lagi pincang. Agar mimpiku tidak lagi kesepian. Juga mengumpulkan kepingan kepercayaan.
Menyedihkan? Aku tahu, tak perlu kamu mengangguk.
0 komentar:
Posting Komentar